Topswara.com -- Sangat disayangkan, perayaan Halloween yang semula untuk kesenangan belaka justru berujung petaka. Tragedi perayaan Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan yang berlangsung pada Sabtu, 29 Oktober 2022, menewaskan 151 korban jiwa, 86 orang luka-luka, dan ratusan orang dilaporkan hilang.
Insiden ini terjadi akibat membludaknya para pengunjung, sehingga menyumbat gang sempit di distrik Itaewon pada malam itu. Menurut saksi mata, musibah yang terjadi di jantung kota Seoul tersebut dipicu akibat adanya bentrok di tengah kerumunan massa.
Oleh karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan belasungkawa atas tragedi maut di Distrik Itaewon, Seoul, Korea Selatan atau Korsel. Jokowi mengatakan Indonesia bersama rakyat Korea Selatan (Korsel). Pernyataan itu disampaikan Jokowi di akun Twitter-nya seperti dilihat detikcom, Minggu (30/10/2022).
Ucapan belasungkawa itu disampaikan Jokowi dalam bahasa Inggris. Jokowi menyampaikan dukacita kepada mereka yang kehilangan orang yang dicintai. Dia juga berharap mereka yang terluka bisa segera pulih. (Detiknews, 30/10/2022).
Korea Selatan adalah negara yang menganut ideologi kapitalisme. Tragedi ini kembali menyadarkan kita, dampak buruk akibat sistem sekularisme. Pemujaan terhadap gaya hidup liberal (bebas) dan hedonis, membuat generasi muda tidak tahu tujuan hakiki kehidupan, sehingga mereka terjebak gaya hidup bersenang-senang.
Terbukti, perayaan Halloween ini tidak memiliki nilai positif, sebaliknya banyak generasi muda menjadi korban dalam kondisi sedang berpesta pora dan berujung pada kesia-sian. Tragedi Halloween di Itaewon dan tragedi Kanjuruhan di Indonesia seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, betapa kerumunan demi kesenangan semata sangat rentan dengan tragedi mengenaskan.
Tragedi Halloween di Korsel jelas membuat kita prihatin. Namun di sisi lain, kita juga prihatin dengan kepeduliaan penguasa yang rasanya lebih besar ke rakyat negara lain dibandingkan terhadap nasib rakyat sendiri, misalnya pada tragedi Kanjuruhan yang juga memakan korban meninggal dalam jumlah yang besar. Tidak ada pernyataan “pemerintah bersama korban kanjuruhan”.
Tragedi massal yang menewaskan banyak korban tentu mengundang keprihatinan. Niat awal hanya ingin berpesta, namun harus dibayar dengan hilangnya nyawa. Apalagi festival tersebut terjadi di tengah minimnya petugas keamanan dan kontrol kerumunan. Padahal, antusiasme masyarakat Korsel saat itu membeludak setelah dikurung Covid-19 selama tiga tahun. Hal ini sejatinya adalah bentuk kelalaian negara.
Namun, ada hal yang lebih memprihatinkan bagi rakyat Indonesia, yakni besarnya perhatian penguasa terhadap tragedi Itaewon. Sayangnya perhatian tersebut tak sebesar empati penguasa terhadap tragedi yang menimpa rakyatnya sendiri.
Diketahui insiden yang menewaskan banyak orang tidak hanya terjadi di Korea Selatan, tetapi juga terjadi di Indonesia. Sebut saja tragedi Kanjuruhan yang juga menewaskan ratusan orang. Meski memberi ucapan belasungkawa, namun tak ada pernyataan bahwa pemerintah bersama korban Kanjuruhan.
Melihat banyaknya insiden mematikan di tengah perayaan atau festival, seharusnya menjadi perhatian bagi penguasa negeri ini agar tak mengizinkan acara-acara serupa. Sayangnya ada semacam pembiaran oleh pemerintah terhadap berbagai perayaan yang notabene diekspor dari Barat.
Seperti Halloween, V-day, dan lainnya. Padahal, perayaan semacam Halloween yang merupakan budaya asing, sama sekali tidak sesuai dengan karakter bangsa ini yang mayoritas muslim. Selain tidak sesuai, juga tidak memiliki kontribusi dalam membentuk generasi cerdas, taat, dan berkepribadian Islam.
Menjamurnya perayaan yang jauh dari nilai-nilai Islam adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme liberal. Sistem ini telah menciptakan dampak buruk yang luar biasa terhadap generasi muda. Kapitalisme pula yang mengadopsi paham kebebasan dan menjadikan generasi muda sebagai target industrialisasinya.
Pertama, pengagungan terhadap paham kebebasan. Paham kebebasan sejatinya lahir dari akidah sekularisme yang meniadakan agama dalam mengatur kehidupan. Kebebasan tanpa batas yang dianut negara-negara di dunia telah menciptakan berbagai kerusakan akut. Salah satunya adalah menjamurnya pesta pora yang selalu berkelindan dengan berbagai kemaksiatan seperti ikhtilat, minuman keras, narkoba, seks bebas, dan lainnya.
Kedua, target industrialisasi kapitalis. Kapitalisme yang berorientasi materi telah menjadikan generasi muda sebagai target pasarnya. Karenanya para kapitalis menciptakan berbagai industri yang digandrungi generasi muda. Mulai dari pakaian, makanan, termasuk industri hiburan. Generasi muda pun didoktrin agar fokus meraih kesenangan dunia tanpa memedulikan halal dan haram. Walhasil, generasi bentukan kapitalisme minim orientasi akhirat.
Di sisi lain, negara juga tidak mampu menghentikan perayaan-perayaan yang nirfaedah seperti Halloween, V-day, dan lainnya. Hal ini bisa dipahami karena negara sendiri menganut liberalisme yang melegalkan kebebasan.
Liberalisme ini pula yang membuat penguasa abai dalam membentuk karakter pemuda yang akan membangun peradaban di masa depan. Inilah sejatinya pangkal kerusakan yang mendera negara dan rakyat di negeri ini bahkan dunia.
Berbagai kerusakan yang disebabkan oleh sistem harus dibendung pula dengan sistem lainnya. Satu-satunya sistem yang mampu mengembalikan jadi diri generasi muda hanyalah Islam. Dalam Islam, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab melindungi rakyatnya dari berbagai kerusakan. Termasuk melindunginya dari akidah, budaya, pemikiran, dan gaya hidup yang datang dari luar Islam. Selain itu, negara juga berkewajiban membentuk karakter generasi muda agar berkepribadian Islam.
Generasi muda Islam memiliki karakter khas yang membuatnya layak disematkan gelar sebagai agent of change. Hal ini terjadi karena pola pendidikan Islam yang mengarah pada orientasi akhirat. Beberapa pendidikan yang ditanamkan oleh negara adalah:
Pertama, negara menanamkan ketakwaan individu terhadap seluruh rakyatnya. Dengan dasar ketakwaan inilah, generasi muda akan mengetahui tujuan hidupnya. Selain itu, dalam melakukan perbuatan mereka akan menimbangnya terlebih dahulu dari kacamata syariat. Hal ini akan menghindarkan mereka dari berbagai perilaku yang diharamkan.
Kedua, Islam menyuasanakan masyarakat dalam keimanan. Dalam kondisi tersebut, masyarakat akan ikut serta berdakwah melakukan amar makruf nahi mungkar sebagai bentuk penjagaan terhadap individu lainnya. Inilah yang akan menguatkan ukhuwah sesama muslim.
Ketiga, negara akan menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah akan melarang segala sesuatu yang mendatangkan kerusakan terhadap akidah dan karakter rakyatnya. Karena itu tidak akan ada perayaan-perayaan yang berbalut kemaksiatan tumbuh subur dalam masyarakat Islam. Generasinya akan lebih suka mengkaji Islam ketimbang berhura-hura di tempat hiburan malam. Sebab, generasi Islam mengetahui hakikat tujuan hidup yang sesungguhnya.
Demikianlah di antara penjagaan khilafah terhadap seluruh rakyat dari hal-hal yang menjauhkannya dari Islam. Penjagaan paripurna tersebut hanya akan kembali terjadi jika Islam diterapkan secara kaffah dalam kehidupan. Saatnya generasi muda memainkan perannya sebagai agent of change yang merupakan wujud kepedulian terhadap Islam dan kaum muslimin.
Wallahu 'alam
Oleh: Asma Sulistiawati
Pegiat Literasi
0 Komentar