Topswara.com -- Siapa yang tak kenal sosok sahabat junior Abdullah bin Abbas? Seorang anak muda dengan level keilmuan dan pengetahuan yang membuat para sahabat senior berdecak kagum padanya.
Beliau acapkali dipanggil tuk menjadi kawan dan lawan diskusi karena pendapatnya selalu sarat ilmu dan layak didengarkan. Umar bin Al-Kathab misalnya, selalu memanggil Ibnu Abbas untuk duduk bersama bermusyawarah.
Abdullah bin Abbas lahir tiga tahun sebelum peristiwa hijrah ke Madinah dan sejak usia belia ber-mulazamah kepada Rasulullah SAW. Saking tingginya semangat belajarnya dan baiknya pengabdiannya, sang guru Nabi Muhammad mendoakannya, "Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu."
Saat Rasulullah wafat, beliau masih berusia 13 tahun. Artinya, Ibnu Abbas habiskan masa kanak-kanaknya bersama sosok guru terbaik dan menyelami samudra ilmu darinya. Beliau pun tak sendirian. Kita mengenal pula sosok Ali bin Abi Thalib juga Usamah bin Zaid, dan Zaid bin Tsabit yang di usia kanak-kanaknya sudah berhasrat terjun langsung ke medan jihad.
Bagaimana bisa anak semuda itu sudah mendewasa pola pikirnya dan sedemikian mencintai ilmu bahkan bercita-cita besar membersamai perjuangan Nabi? Tentu karena mereka hidup, dibesarkan, dan dibina dalam kehidupan Islam. Maka, sejatinya anak-anak di masa sekarang pun berpotensi sama, menjadi generasi ‘penerus’ Abdullah bin Abbas. Namun, bagaimanakah kondisi anak-anak umat Islam saat ini?
Dari Generasi ‘Penerus’ Jadi Tergerus dan Mesum
Belakangan beredar viral sepucuk surat cinta yang amat vulgar hingga bernada pelecehan seksual. Si anak penulis surat itu mengajak teman perempuannya berbuat mesum di kamar mandi sekolah. Hebohnya, surat tersebut kabarnya ditulis oleh seorang anak seusia SD. Perilaku anak-anak yang tak senonoh dan menghebohkan negeri ini bukan pertama kali dan jelas belum semuanya. Sebut saja, di 2021 silam ramai berita tentang seorang pelajar kelas V SD di Nganjuk yang mencabuli adik kelasnya yang duduk di kelas 1 SD.
Sekelumit fakta perilaku mesum anak-anak ini tentunya mengarahkan perhatian kepada paparan pornografi pada anak. Dari mana lagi mereka belajar perilaku amoral itu kalau bukan dari media pornografi? Hasil survei Kementerian PPA pada 2017 di delapan provinsi di Indonesia menemukan bahwa sebanyak 97persen dari 1.600 anak kelas tiga sampai enam SD sudah terpapar pornografi secara langsung maupun tidak langsung (www.suarasurabaya.net, 16 Maret 2018).
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Kementrian PPPA tahun 2021 juga mengungkapkan 66,6 persen anak laki-laki dan 62,3 persen anak perempuan di Indonesia menyaksikan kegiatan seksual (pornografi) melalui media daring (online).
Terungkap pula 34,5 persen anak laki-laki pernah terlibat pornografi atau mempraktikkan langsung kegiatan seksual, dan 25 persen anak perempuan. Sebesar 38,2 persen dan 39 persen anak pernah mengirimkan foto kegiatan seksual melalui media daring (www.suarasurabaya.net, 30 November 2021).
Miris nian tunas umat saat ini tergerus fitrah dan potensinya. Alih-alih mencintai aktivitas keilmuan, berakhlak mulia, dan peduli pada sekitar sebagaimana pendahulunya, mereka justru menjadi korban, bahkan pelaku dan penyebar kerusakan.
Tergerus dengan Sistem Sekuler, Terbina dengan Sistem Islam
Realitas perilaku anak-anak di bawah umur yang rusak dan mesum di atas tentunya tidak terjadi dalam semalam, melainkan bentukan multi sebab. Di sistem sekuler yang menjauhkan agama dari kehidupan, keluarga Muslim tak sedikit yang alami disfungsi.
Fitrah anak sulit terjaga sebab pola pengasuhan, penanaman akidah, dan nilai-nilai moral Islam yang lemah. Beban hidup di bawah sistem kapitalisme yang bertubi-tubi menjadikan peran dan fungsi orang tua, terutama para ibu, kian memudar sebab kesibukan mencari tambahan nafkah demi bisa bertahan.
Akibatnya, benteng pertahanan anak pun relatif rapuh saat hadapi tantangan dunia sekuler hari ini. Perspektif mereka sangat berisiko mudah terpengaruh oleh paparan negatif dari luar. Lubang pendidikan dari keluarga ini pun tak mampu ditambal oleh sistem pendidikan sekuler yang hanya memberikan porsi ala kadarnya tuk pelajaran agama. Ajaran agama itu pun kebanyakan diajarkan secara teoretis belaka tuk kepentingan kelulusan, bukan tuk ditanamkan sebagai pola pikir dan pola sikap.
Anak-anak hari ini adalah digital native, mereka tumbuh berkembang di dalam dunia digital. Namun, negara seakan tak berdaya mengontrol dan menjaga agar jagat maya ‘ramah anak’. Betapa banyaknya suplai informasi yang merusak dan tak pantas diakses anak-anak.
Indonesia kerap menyandang peringkat atas sebagai negara pengakses pornografi terbanyak. Kiranya wajar karena tak ada sanksi yang menjerakan dan kebijakan yang tak menumpas akar masalah tak putusnya siklus supply-demand pornografi, yakni liberalisme.
Nasib anak di sistem Islam punya cerita berbeda. Dengan penerapan syariat Islam yang total, tunas umat ini akan mendapat berlapis-lapis penjagaan. Mulai dari institusi keluarga yang menanamkan keimanan yang mengakar kuat, masyarakat atau lingkungan yang saling mengingatkan dalam kebaikan, lembaga pendidikan yang membina kepribadian Islam hingga negara yang menumpas segala hal yang berpotensi merusak fitrah anak.
Sebab itu semualah, sejarah Islam menyuguhi kita dengan potret generasi cemerlang sekelas Abdullah bin Abbas ra. Fenomena degradasi moral generasi tak didapati, kecuali kasuistik saja.
Di bawah sistem Islam, semua hak anak terpenuhi sebagaimana seharusnya, mulai dari hak nafkah, pengasuhan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kasih sayang. Sistem Islam ini akan kembali hadir dengan tegaknya khilafah islamiah. Saat itulah, tunas umat akan terbina menjadi sosok-sosok penerus yang berkualitas sekelas Abdullah bin Abbas ra (sosok pencinta ilmu dan pejuang Islam. Allahua’lam.
Oleh: Arif Susiliyawati, S.Hum
Sahabat Topswara
0 Komentar