Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Pariwisata: Pasar Liberalisasi Sosial Budaya?


Topswara.com -- Saat ini pariwisata dianggap sebagai sektor paling potensial dalam pemulihan kondisi ekonomi pasca pandemi Covid-19. Indonesia menduduki peringkat 32 sebagai tujuan wisata dalam indeks pariwisata dunia. 

CEO Pacific Asia Travel Association (PATA) Purnomo Siswoprasetjo mengutip data dari BPS bahwa terjadi pertumbuhan 90 persen wisatawan yang berasal dari Asia-Pasifik, yang tentu menjadi target pemasaran pariwisata yang sangat menjanjikan. Pada bulan Juli 2022, negeri ini sudah dikunjungi lebih dari 400 ribu wisatawan, dan Bali yang dikenal sebagai objek wisata mendunia kembali dibuka dan membawa pengaruh pada pasar pariwisata. (Voa indonesia, 25/9/2022)

Keindahan pantai, budaya, dan keramahannya membuat Bali sangat digemari hingga menjadi objek wisata percontohan bagi daerah-daerah lain. Pemerintah pun berupaya menggali semua potensi wilayah lain yang ada di Indonesia. Salah satunya di Bandung, Jawa Barat agar melakukan adaptasi, inovasi, kolaborasi antar berbagai pemangku kepentingan untuk menciptakan objek wisata yang inklusif.

Oleh karena itu kemudian diadakan program bimbingan teknis Pemasaran Pariwisata Pasar Asia Pasifik di berbagai daerah. Termasuk di Kabupaten Bandung yang digelar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekaf) bersama Direktorat Pemasaran Pariwisata Regional I bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) pada Kamis (03/11/2022).

Sektor pariwisata diklaim mampu menyumbang 10 persen PDB secara langsung maupun tidak langsung dan dianggap sebagai penggerak sektor ekonomi lain. Yaitu melalui terbukanya lapangan kerja dan produktivitas serta melalui cadangan devisa akibat naiknya permintaan mata uang domestik.

Jika dicermati, pertumbuhan ekonomi yang merupakan pendapatan nasional atau Produk Domestik Bruto (PDB) tidaklah mencerminkan kondisi riil. Karena faktanya hanya berupa nilai rata-rata dari PDB yang dibagi sejumlah penduduk. Sementara kenyataannya, pemasukan yang besar hanya ada pada segelintir orang sementara masih sangat banyak yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Penentuan garis kemiskinan yang ditetapkan pemerintah pun berubah-ubah dan cenderung tidak masuk akal. Karena pada kenyataannya kondisi kebutuhan hidup bukan hanya soal makanan tapi juga mencakup hal lainnya seperti tempat tinggal, listrik, air, transportasi dan lain-lain.

Banyaknya lapangan pekerjaan yang muncul sebagai dampak dari pariwisata seperti adanya toko, restoran, hotel, jasa akomodasi, dan lain-lain yang hanya bisa didirikan oleh orang-orang bermodal besar dengan kemampuan pengelolaan yang mumpuni. Keuntungan besar yang didapat dari usaha tersebut, tentu menjadi target mereka. Sementara takyat hanya bisa menjadi budak korporat dengan gaji kecil dan sumber pendapatan yang tidak seberapa, mislnya dengan mendirikan warung-warung kecil.

Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang melimpah seperti emas, batubara, nikel, minyak bumi dan gas alam, juga memiliki wilayah hutan dan perairan yang luas. Luas hutan negeri ini sekitar 99 juta hektar dengan potensi ikan laut 6 juta ton/tahunnya. 

Bahkan Indonesia menjadi negara kelima terbesar di dunia yang menghasilkan batubara sebanyak 62,1 persen di Kalimantan. Bahkan konon cadangan minyak bumi akan tersedia sampai 9,5 tahun mendatang, dan gas bumi  mencapai 19,9 tahun.

Pengelolaan kekayaan ini justru akan menghasilkan pendapatan yang jauh lebih besar karena termasuk sumber daya pokok bagi segala macam kebutuhan manusia. Sayangnya, sebagian besar kekayaan negeri ini dikuasai oleh swasta dan asing hingga akhirnya membuat pendapatan kembali pada saku-saku para kapital. Sementara negara hanya  menerima sedikit pemasukan, itu pun sebagian besar  berasal dari pajak.

Di sisi lain, target menjadikan pariwisata yang inklusif akan menjadi ajang liberalisasi sosial budaya. Misalnya, pelegalan miras dan lokalisasi prostitusi. 
Program moderasi beragama pun tidak luput dari sektor pariwisata ini, yaitu melalui pengenalan berbagai agama dan pencampuradukannya dengan budaya lokal. 

Candi-candi dipugar kembali, diperindah untuk menarik wisatawan. Budaya-budaya lokal semisal pakaian adat, tarian, ritual-ritual yang bertentangan dengan Islam tetap dipertahankan dan dipertontonkan menjadi barang dagangan.

Penggenjotan sektor pariwisata dalam alam kapitalisme menjadi berbahaya bagi akidah dan kehidupan masyarakat Muslim. Interaksi penduduk lokal dengan wisatawan asing lambat laun akan membuat masyarakat menerima nilai-nilai demokrasi sekuleristik, ide kesetaraan gender, toleransi yang kebablasan, serta  berbagai kemaksiatan lainnya. 

Semua sah dilakukan demi mengejar perbaikan taraf ekonomi meskipun menabrak rambu-rambu syariah. Dampak lainnya adalah timbulnya kerusakan iklim serta konflik di tengah masyarakat akibat pembukaan lahan bagi usaha lain pendukung pariwisata.

Dalam Islam pariwisata menjadi salah satu cara untuk mengenalkan Islam kepada para wisatawan asing secara efektif. Keindahan alam yang menyejukkan mata menjadi bukti bahwa dunia dan hidup ini diciptakan oleh Allah Yang Maha besar.

“Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang menciptakan langit dan bumi serta yang menurunkan air dari langit untukmu, lalu Kami menumbuhkan dengan air itu kebun-kebun yang berpemandangan indah (yang) kamu tidak akan mampu menumbuhkan pohon-pohonnya? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sebenarnya mereka adalah orang-orang yang menyimpang (dari kebenaran).” (TQS  An Naml: 60)

Penggambaran keindahan budaya Islam sebagai peradaban yang agung akan disyiarkan melalui pemanfaatan objek wisata. Maka dalam pelaksanaannya, pariwisata tidak boleh keluar dari koridor Islam. Fungsi pariwisata adalah sebagai sarana dakwah, tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan pariwisata dalam sistem kapitalisme yang bertujuan hanya sekedar materi.

Dalam Islam pariwisata bukanlah sektor utama dan tidak boleh bersifat eksploitatif dan merusak lingkungan. Islam menjadikan pemasukan negara yang utama dan tetap berasal dari kepemilikan umum seperti sumber daya alam yang melimpah. Mengingat terdapat hadis yang menyebutkan, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Selain itu terdapat kepemilikan negara yang hasilnya akan kembali pada kemaslahatan rakyat seperti kharaj, jizyah, fai, ghanimah, dan lain-lain.

Dengan demikian, pariwisata yang menjadi sektor andalan dalam sistem kapitalisme hanya sedikit manfaatnya dan lebih banyak menimbulkan madharat. Islam dengan keagungan konsepnya akan membuat pariwisata sebagai sarana pendekatan diri kepada Allah dengan menyadari bahwa manusia itu lemah. 

Pariwisata akan diadakan sewajarnya karena bukan termasuk pendapatan utama negara. Negara khilafah akan fokus pada pendapatan tetap yang riil sehingga masyarakat akan tetap sejahtera tanpa harus mengeksploitasi lingkungan serta menggadaikan pemahaman Islam.

Wallahua’lam bi ash-shawab

Oleh: Ulfa Zakiah, SE
Mahasantri Ma'had Khadimus Sunnah Bandung
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar