Topswara.com -- Apa yang ada di benak kita bila seseorang ingin mendapatkan gelar atau kehormatan? Tentu memerlukan pengorbanan dan waktu yang tidak sebentar. Namun anehnya, di negeri ini untuk mendapatkannya amatlah mudah dan fenomena itu pun sudah bukan rahasia lagi, bahkan sering terjadi.
Seperti belum lama ini, sebuah gelar Doktor Honoris Causa (HC) telah disematkan kepada Staf Kepresidenan, Moeldoko oleh Universitas Negeri Semarang (Unnes), Sabtu, 22 Oktober 2022.
Pemberian gelar ini tentu saja menimbulkan protes keras dari kalangan mahasiswa. Hingga pada saat penganugerahan gelar tersebut sejumlah mahasiswa pun mengadakan unjuk rasa dengan mendatangi Auditorium kampus. Mereka berdiri di teras sambil membentangkan poster yang berisi sejumlah tulisan. Di antaranya, "Lho kok, Obral Gelar HC lagi Sih? "Unnes Ramah Politisi" "Pelanggaran HAM Bukan Teman Kita" dan tulisan lainnya.
Dalam demonstrasi tersebut, mereka menuntut kepada kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi untuk mengkaji semua gelar kehormatan yang pernah diberikan Unnes.
Menurut ketua perwakilan mahasiswa, Randa Fitrisal, agar Kemendikbud mencabut gelar Doktor Honoris Causa (HC) yang diterbitkan Unnes apabila terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundangan yang berlaku.
Mereka juga meminta pimpinan Unnes agar mengklarifikasi secara transparansi untuk pemberian gelar kehormatan serta uji publik dalam anugerah gelar tersebut, tujuannya untuk mempertegas dan memperbaiki marwah kampus. (Tempo.co, 22/10/2022)
Begitulah fakta yang sering terjadi saat ini. Mereka begitu mudah menganugerahi gelar kehormatan kepada para politisi. Padahal ketika memberikan sebuah gelar, mesti melewati beberapa aturan resmi serta mendapatkan persetujuan dari beberapa publik.
Namun nyatanya tidak demikian. Seperti jauh panggang dari api, walaupun sudah ada peraturan yang ketat, tetap saja masih ada pihak kampus yang melanggarnya, mereka dengan ringannya memberikan gelar kehormatan kepada sejumlah orang.
Meskipun penerima gelar belum tentu memiliki peran dalam sumbangsih ilmu kepada negara. Seperti yang dilakukan Unnes sebelumnya, mereka pernah memberikan gelar Doktor Honoris Causa kepada mantan Ketua PSSI, Nurdin Halid. Padahal dia adalah mantan narapidana kasus koruptor dana distribusi minyak goreng dan Bulog.
Namun itulah kenyataannya, maka jangan salahkan publik bila menganggap Unnes dan beberapa kampus lainnya telah mencederai lembaga pendidikan tinggi.
Padahal untuk mendapatkan gelar akademik seorang mahasiswa butuh waktu yang cukup lama. Mereka berkorban bukan hanya waktu, tapi juga wajib menyelesaikan seluruh mata kuliahnya, dan menyusun sebuah penelitian ilmiah sebagai salah satu persyaratan kelulusannya. Belum lagi dengan biaya yang sangat mahal.
Berbeda dengan saat ini, bila ada seseorang yang mungkin dianggap telah berjasa sedemikian rupa bagi kampus tersebut dan masyarakat, mereka berhak mendapatkan gelar kehormatan dengan proses yang tidak rumit. Bahkan terbilang singkat dan cepat. Gelar itulah yang sekarang sedang ramai-ramainya diberikan kepada para politisi. Apalagi menjelang pemilu yang sebentar lagi digelar.
Begitulah, penganugerahan gelar kehormatan kepada para pemangku jabatan di negeri ini dikatakan karena mereka telah mampu melakukan inovasi-inovasi pemecahan dalam menangani segala permasalahan yang terjadi. Atau dengan kata lain, mereka telah banyak berkontribusi dalam kemajuan negeri.
Tapi apakah benar demikian? Yang terjadi justru sebaliknya. Kehidupan masyarakat sangat jauh dari kata sejahtera. Lihat saja dengan mahalnya biaya pendidikan, kesehatan. Bahkan saat ini rakyat jauh dari rasa aman. Ditambah keadaan ekonomi yang semakin sulit. Maka apakah wajar di tengah kondisi yang memprihatinkan itu mesti ada penghargaan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa (HC) bagi segelintir orang?
Namun itulah yang terjadi. Dunia kampus yang semestinya mampu berdaulat sendiri, tetapi kini bagaikan tak bergigi, mereka tak memiliki kredibilitas tinggi, apalagi pimpinan kekuasaan tertinggi dalam kampus, yakni Rektor, saat ini dipilih langsung oleh pemimpin tertinggi negeri ini. Maka wajar bila dikatakan publik bahwa kampus telah tersandung politik balas budi.
Padahal kampus yang memiliki banyak akademis dan intelektual tinggi, seharusnya mampu menjadi garda terdepan dalam memberikan saran dan penilaian terhadap kebijakan yang dibuat negara.
Tetapi begitulah, kondisi yang terjadi di dunia kampus saat ini. Mereka kehilangan integritas dan hanya dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan para politikus saja. Dimana ada peluang yang menguntungkan, maka segera diambil. Apakah hal itu menyalahi aturan kampus atau tidak.
Begitulah bila negara masih mengadopsi sistem kapitalisme berasaskan pada manfaat belaka. Demi memuluskan kepentingan orang-orang tertentu, perguruan tinggi rela mengorbankan integritasnya. Maka obral gelar kehormatan pun menjadi alur yang tak terpisahkan lagi dalam ajang balas budi, dan perjanjian politik sebagai wadah pembangunan sumber daya manusia.
Sedangkan dalam Islam, kredibilitas sangat dijunjung tinggi untuk menganugerahi sebuah gelar kehormatan bagi seseorang yang telah memberikan sumbangsih dalam bentuk karya nyata terhadap kehidupan. Sebab, gelar adalah perwakilan keilmuan kelak di akhirat.
Karenanya, kampus atau para ulama tidak akan mudah memberikan gelar. Kecuali bagi mereka yang memenuhi persyaratan tersebut. Bahkan sebuah gelar kehormatan bisa dicopot kembali, apabila yang bersangkutan melanggar syariat dan melukai keilmuannya. Sehingga umat bisa mendapatkan akan banyaknya karya yang telah dihasilkan para ilmuwan Muslim. Para ilmuwan pun dengan amanat gelarnya, semakin istikamah dalam menyumbangkan ilmu mereka demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin.
Negara juga akan memberikan perhatian kepada para ilmuwan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Ja'far Abdullah Ibn Muhammad al-Mansur. Beliau mendistribusikan dana sangat besar untuk rencana penerjemahan karya astronomi dari periode klasik (Yunani-Romawi) untuk kepentingan umat Muslim.
Begitulah Islam memandang bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang wajib diberikan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan dan kapasitas yang baik. Selain itu juga seorang politikus harus mempunyai kepribadian dan tingkah laku, yang sesuai dengan ajaran Islam.
Dengan demikian mereka akan berhati-hati dalam menjalankan amanah kekuasaannya serta mampu melahirkan kebijakan yang penuh kebaikan bagi umat. Apalagi mereka dikawal oleh para ulama dan ilmuwan yang selalu memberikan saran untuk kemaslahatan umat.
Namun semua itu hanya akan terjadi dan menjadi kenyataan, apabila Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan, termasuk pada bidang pendidikan. Maka tidak ada obral gelar kehormatan yang akan mencederai dunia pendidikan.
Wallahu a'lam bish shawab.
Oleh: Nuni Taryuni
Member AMK
0 Komentar