Topswara.com -- Muslimah muda adalah calon ibu generasi untuk masa yang akan datang. Oleh karena itu, menyesatkan Muslimah pada jalan hidup yang bertentangan dengan Islam, adalah salah satu cara jitu untuk menggagalkan lahirnya calon pejuang Islam. Karena itu Barat menjadikan penyesatan Muslimah menjadi salah satu prioritas kebijakan Barat dalam melemahkan Islam.
Salah satu pemikiran Barat yang digunakan untuk menyesatkan Muslimah adalah kesetaraan gender. Barat menilai perempuan adalah pihak yang paling dikalahkan oleh fundamentalis Islam dan paling tidak diuntungkan dalam penerapan syariah Islam yang kaku di berbagai tempat di dunia Islam.
Barat menilai aturan Islam sangat mendiskriminasikan, membatasi gerak dan merendahkan perempuan. Sehingga barat mengembuskan paham kesetaraan gender dan isu feminisme di kalangan kaum Muslim.
Lewat berbagai cara, agenda kesetaraan gender dan feminisme dilancarkan. Salah satunya lewat pemberdayaan perempuan khususnya dalam bidang politik dan ekonomi. Hal ini dianggap Barat sebagai kunci terselesaikannya berbagai persoalan perempuan.
Cara pikir Muslimah yang terdidik dalam sistem sekuler kapitalisme, tentu menjadi sasaran empuk bagi propaganda Barat ini. Upaya yang tersistem lewat kurikulum pendidikan sekuler menjadikan Muslimah makin mudah terpapar oleh pemikiran yang lahir dari sistem ini.
Apalagi secara sistematis, negara juga menderaskan narasi sesat kesetaraan gender dalam bingkai ‘kemajuan dan kebebasan perempuan’. Didukung oleh media yang menjadi corong aktif sosialisasi ide sesat ini. Menjadikan Muslimah muda terpesona dengan racun berbalut madu ini, sehingga tanpa sadar terbawa arus deras degradasi pemikiran sebagai seorang Muslimah.
Generasi calon ibu ini, dengan bangga menjadi Muslimah berkepribadian ganda. Islam terwujud hanya dalam kehidupan privatnya, namun hilang dalam kehidupan umumnya. Bahkan enggan mengemban peran mulia sebagai ibu generasi.
Jebakan Ide Kesetaraan Gender
Di antara jebakan kesetaraan gender pada Muslimah muda adalah sebagai berikut:
Pertama, pemberdayaan ekonomi perempuan (PEP) sebagai jalan kesejahteraan perempuan.
Narasi yang menganggap perempuan terpenjara dalam tugas perawatan dan pekerjaan domestik yang tidak berbayar, terus diaruskan dengan gencar. Racun pemikiran yang disebarkan lewat narasi jika perempuan bekerja, maka akan produktif, bisa menambah pendapatan, bisa menyejahterakan, dan akan bisa mandiri serta tidak akan menjadi beban seakan mampu menghipnotis calon ibu masa kini.
Sehingga lewat program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan (PEP), perempuan didorong untuk menjadi pengusaha UMKM. Mereka pun dilabeli tulang punggung penyelamat ekonomi negara.
Disebutkan bahwa Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peran strategis dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional setelah dampak pandemi Covid-19, yang terbukti tangguh terhadap guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Maka berlomba-lombalah perempuan terjun ‘memberdayakan diri’ dalam dunia kerja, mandiri secara ekonomi, dan tidak bergantung pada laki-laki.
Padahal faktanya, perempuan dieksploitasi dengan upah murah, menghadapi risiko kekerasan fisik maupun seksual di tempat kerja. Mirisnya lagi, tak sedikit yang terguncang keharmonisan keluarganya, hingga terjadi perceraian, sementara anak terabaikan dan terjerumus berbagai persoalan.
Kedua, mengaktifkan perempuan dalam partisipasi dan kepemimpinan dalam politik.
Barat juga menarasikan bahwa makin banyak anggota parlemen perempuan atau penguasa perempuan, maka makin banyak dihasilkan regulasi yang berpihak kepada perempuan. Sehingga akan menyelesaikan berbagai persoalan perempuan. Maka ditetapkanlah kuota 30 persen perempuan dalam keanggotaan parlemen sebagai syarat verifikasi partai politik.
Bahkan, perempuan juga didorong untuk menjadi penguasa agar bisa melahirkan sebuah kebijakan gender yang membela hak-hak para perempuan. Di Indonesia bahkan dibangun Desa Ramah Perempuan dan Perlindungan Anak (DRPPA) untuk mewujudkan kepemimpinan perempuan sejak tingkat desa.
Faktanya, kebijakan dalam sistem demokrasi bukan lagi di tangan rakyat namun, berpindah ditangan penguasa dan oligarki. Sehingga seberapa banyaknya perempuan yang duduk dalam sebuah partai politik, tidak akan memberi pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan yang bisa menyejahterakan kaumnya.
Sebagai buktinya, apa yang terjadi di Pakistan, Bangladesh dan Indonesia adalah contoh nyata ilusi sejahtera di bawah penguasa perempuan. Mirisnya lagi, klaim perempuan penguasa anti korupsi berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Ketiga, Pemenuhan Hak dan Kesehatan Reproduksi.
Kendali perempuan atas tubuhnya, (Bodily autonomy) menjadi kunci bagi pegiat gender untuk memberikan jawaban terwujudnya kesetaraan gender. Karena menjamin kebebasannya dalam menjalani kehidupannya.
Otonomi tubuh perempuan ini menjadikan perempuan dapat menentukan secara mandiri dengan siapa ia melakukan aktivitas seksual, kapan ia menikah, kapan ia punya anak, berapa jumlah anak, dan hal yang berkaitan dengan kehidupan seksual reproduksinya.
Islam Memuliakan Perempuan
Islam adalah agama yang sangat memuliakan perempuan. Islam sangat menjaga fitrah manusia. Perempuan dalam Islam dimuliakan sesuai dengan kodrat penciptanya.
Perempuan dimuliakan sebagai ibu yang menyiapkan generasi peradaban. Allah SWT. telah memberikan pancaran kasih sayang kepada mereka lebih dari laki-laki, hingga mampu mendidik dan mempersiapkan generasi yang empati dan cemerlang untuk sebuah peradaban yang mulia.
Begitu pula dengan jaminan kesejahteraan terhadap perempuan. Islam telah memberi aturan yang jelas tentang mekanisme sempurna yang menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu rakyatnya. Siapa penanggung nafkah perempuan sudah tergambar jelas dalam aturan Islam.
Dalam sistem politik, Islam bahkan telah memberikan hak politik terhadap kaum perempuan pertama kalinya dalam sejarah peradaban dunia. Yang tentunya masih dalam rambu-rambu yang diatur dalam nash-nash aturan Islam.
Dalam sistem sosial, Islam sangat menjaga martabat perempuan melalui tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Islam menjaga kodrati dan fitrah seorang perempuan, sebagai istri dan ibu generasi agar tertunaikan dengan baik.
Oleh karena itu, umat Islam sama sekali tidak membutuhkan kesetaraan gender untuk menyejahterakan perempuan. Sehingga skenario Barat untuk melemahkan Islam haruslah digagalkan, agar terwujud kesadaran umat akan pentingnya penerapan Islam secara kaffah di segala lini kehidupan.
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah:208).
Wallahu’alam bishawab.
Oleh: Isty Da’iyah
(Analis Mutiara Umat Institute)
0 Komentar