Topswara.com -- Ratusan ribu warga Korea Selatan dan warga asing memadati gang sempit di Distrik Itaewon dalam acara Halloween (29/10/2022). Sebuah perayaan tahunan yang kembali diadakan setelah tiga tahun lamanya vakum, yakni sejak pandemi Covid-19.
Antusiasme warga pun tak terkendali. Pengunjung yang didominasi remaja usia 20 tahunan memenuhi kawasan hiburan malam Itaewon. Makin malam jumlah pengunjung terus bertambah, hingga sesaat kemudian kawasan itu diwarnai kepanikan diiringi jeritan pilu. Saksi mata menuturkan banyak wajah pucat pasi karena sesak napas, lalu tumbang satu persatu hingga puluhan orang dikabarkan meninggal di tempat.
Dikabarkan, total korban yang meninggal mencapai 151 orang dan 82 orang mengalami luka-luka. Ratusan korban yang tewas dan puluhan yang terluka ini, mengundang perhatian Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol hingga menetapkan hari berkabung nasional.
Yoon menyebut masa berkabung ini akan berlangsung sampai dampak dari tragedi itu dikendalikan. Dia yang bertanggung jawab atas kehidupan dan keselamatan orang-orang dan meminta para pejabat untuk melakukan tinjauan darurat terhadap semua perayaan Halloween dan perayaan lokal lainnya. (Liputan6.com., Ahad, 30/10/2022)
Antara Tragedi Itaewon dan Tragedi Kanjuruhan
Apa yang terjadi di Itaewon mengingatkan peristiwa yang sama di negeri ini awal Oktober lalu. Yaitu tewasnya para penonton dan pendukung Arema Malang di Stadion Kanjuruhan. Bedanya, insiden ini diawali semburan gas air mata yang diarahkan aparat kepolisian kepada supporter yang turun ke lapangan pasca kekalahan Arema Malang melawan Persebaya Surabaya.
Semburan gas air mata juga menyasar penonton yang ada di dalam dan luar stadion hingga menyebabkan mereka panik, lari tunggang langgang mencari pintu keluar. Ada yang jatuh kemudian terinjak, ada yang mengalami sesak napas, dan akhirnya meninggal. Lalu bagaimana sikap penguasa?
Peristiwa di Itaewon jelas mengundang keprihatinan semua pihak, termasuk para penguasa. Namun, jika boleh mengatakan, penguasa negeri ini sepertinya lebih berempati kepada korban Itaewon dibanding korban Kanjuruhan. Dengan bahasa Inggris Presiden Jokowi mengucapkan di akun twitternya (30/10) yang tak pernah beliau ucapkan kepada keluarga korban Kanjuruhan: "Indonesia bersama rakyat Korea Selatan sangat berduka dan berharap korban yang terluka bisa segera pulih."
Meski tak mengucapkan kata serupa terhadap korban Kanjuruhan, seharusnya negara menampakkan perhatian serta tanggung jawabnya melalui pengusutan tuntas dan penerapan sanksi kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas insiden di lapangan hijau Kanjuruhan.
Kepada keluarga korban meninggal, negara turun tangan menunjukkan empati dan bantuan imateril, begitu pula terhadap korban luka-luka. Selain bantuan finansial, optimalkan juga pelayanan kesehatan hingga pulih seperti sediakala.
Karena bagaimana pun peristiwa ini berkaitan erat dengan aturan pemerintah, baik berupa perizinan, mekanisme penyelenggaraan, administrasi, teknisi, serta keamanannya. Dengan kata lain, negaralah yang bertanggung jawab penuh dengan jatuhnya korban.
Selanjutnya, negara akan mengevaluasi serta menerapkan aturan ketat atas penyelenggaraan apa pun yang bersifat kesia-siaan, terutama yang membawa dampak negatif, atau berakhir pada hilangnya nyawa manusia. Apalagi terhadap budaya asing seperti Halloween.
Karena menurut sejarah dan asal usulnya, Halloween merupakan tradisi Kristen yang berasal dari Samhain Night. Di dalamnya terdapat festival yang dilatarbelakangi penyembahan terhadap setan.
Di samping itu, negara berkewajiban menjauhkan budaya kufur ini karena beberapa alasan: pertama, Halloween merupakan budaya pagan yang tak sesuai dengan fitrah manusia. Fitrahnya manusia menyembah hanya pada Tuhannya, bukan selainnya.
Kedua, bertentangan dengan adat ketimuran dan akidah kaum Muslim sebagai agama mayoritas di negeri ini. Dimana Islam menegaskan bahwa yang berhak disembah hanya Allah SWT. saja, tak ada yang lain. Ketiga, membuka akses kebebasan yang kebablasan di bawah payung HAM. Ide HAM ini senantiasa dijadikan senjata untuk melawan aturan agama terkait halal-haram.
Aktivitas individu dan kesenangannya tidak boleh dibatasi ataupun dilarang. Oleh karenanya negara harus berupaya untuk tidak membiarkan generasi muda, kelompok masyarakat, serta media ikut merayakan, memeriahkan, mensyiarkan, atau mengenalkannya dalam bentuk apapun semisal sinetron dan iklan.
Namun, cara dan upaya tersebut tidak mungkin ditempuh negara jika aturan yang dijadikan landasan perbuatan adalah demokrasi kapitalisme seperti saat ini. Sebuah sistem pemerintahan yang menjadikan hukum, standar halal-haram, terpuji dan tercela ada di tangan manusia.
Lebih dari itu, sistem ini telah meniadakan aktivitas manusia untuk selalu terikat pada hukum syarak, melainkan menyerahkannya pada keinginan individu. Dengan anggapan bahwa individu berhak atas dirinya dan bebas untuk berperilaku, berbicara, beragama, dan dalam soal kepemilikan.
Islam Agama Sempurna dengan Perlindungan Prima
Islam memiliki cara pandang yang luar biasa terhadap kehidupan. Aturan sempurna yang terkandung dalam syariatnya bertujuan menjaga umat manusia, dunia dan akhirat. Hal ini dibebankan syarak kepada pemimpin kaum muslimin dalam institusi pelaksananya agar ia berfungsi sebagai raa'in dan junnah.
Sebagai raa'in, seorang pemimpin berkewajiban mengatur urusan rakyatnya, memenuhi hak-haknya, dan melayani kebutuhannya, kepala perkepala. Baik dalam urusan primer, sekunder, maupun tersier. Baik berupa kebutuhan personal atau pun komunal semisal pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Sedangkan sebagai junnah, pemimpin umat bertanggung jawab menjaga rakyatnya dari segala hal yang bisa mengancam agama, harta, akal, jiwa, juga kedaulatan negara.
Rasulullah SAW. telah bersabda:
"Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. An-Nasai, At-Turmudzi, dan disaahihkan Imam al-Albani)
Dengan taklif syarak ini, maka sebuah keniscayaan kalau penyelenggaraan unfaedah tidak akan terjadi. Apalagi aktivitas yang dapat melalaikan kewajiban hingga menimbulkan kemaksiatan seperti khalwat, ikhtilat, mabuk, judi, dan sebagainya yang banyak dilakukan masyarakat Barat dan dicontoh masyarakat di negeri-negeri Muslim.
Budaya asing yang bertentangan syariat akan dihapus dan disingkirkan, paham dan ideologi kufur akan dicampakkan. Sementara masyarakatnya yang Muslim akan diarahkan pada kegiatan berfaedah yang bernilai ibadah dan berbuah pahala. Sebagaiamana kaidah fikih berikut:
الاصل في الافعال التقيد بالحكم الشرعي
"Hukum asal perbuatan itu adalah terikat pada hukum syarak."
Dan bagi warga nonmuslim, diberlakukan hal yang sama sebagaimana warga Muslim (dari sisi hak dan kewajibannya), kecuali ranah ibadah, malbusat (pakaian), dan math'umat-nya (makan minum).
Apabila upaya-upaya preventif yang ditetapkan negara tidak diindahkan warga masyarakat, maka negara akan memberlakukan sanksi sesuai arahan syariat. Sanksi yang bersifat mengikat, berefek mencegah (jera), serta menjadi penebus dosa bagi pelakunya. Artinya, jika sudah mendapat sanksi dunia, ia tidak akan dibalas di akhirat. Sanksinya bisa berupa takzir, cambuk, hukuman mati, atau qishash tergantung kewenangan hakim dan jenis hadnya.
Wallahua'lam bishshawab.
Oleh: Siti Ruqiyah, S.AG
Member AMK4
0 Komentar