Topswara.com -- Ahli Fikih Islam, K.H. Shiddiq Al Jawi membeberkan kebolehan garansi dalam Islam hukumnya dengan dua syarat yang menyertainya.
"Garansi dalam jual beli barang secara syar'i hukumnya boleh, dengan dua syarat; pertama, akad jual belinya sendiri telah sah menurut syara'. Kedua, syarat-syarat yang tertuang dalam surat garansi tidak bertentangan dengan syara' atau menafikan konsekuensi akad (muqtadha al 'aqad)," tuturnya di acara Hukum Kafalah/Garansi dalam Islam, Ahad (27/11/2022), di YouTube Cinta Qur'an TV.
Mengenai syarat yang pertama, terang pakar fikih Islam tersebut, akad jual belinya telah sah. Didasarkan pada kaidah fikih yang berbunyi :
التابع تابع
At taabi' taabi (perkara cabang hukumnya mengikuti perkara pokoknya).
"Juga kaidah fikih yang berbunyi idza saqatha al ashlu saqatha al far’u (jika perkara pokok telah gugur, maka gugur pula perkara cabangnya)," paparnya.
Kedua kaidah tersebut terdapat dalam Mausu’ah AlQawa’id Al Fiqhiyah karya M. Shidqi Al Burnu, dinilai olehnya bahwa hukum
perkara cabang mengikuti hukum perkara
pokok. Dalam hal itu akad jual beli adalah
perkara pokok, sedangkan syarat-syarat dalam
akad jual beli adalah perkara cabang.
"Maka dari itu, jika jual belinya sah, maka segala syarat dalam garansi sah pula hukumnya. Sebaliknya, jika jual
belinya sudah tidak sah, maka segala syarat dalam garansi juga tidak sah," bebernya.
Kiai contohkan, garansi yang diberikan pada jual beli barang palsu. Maka garansinya tidak sah, karena jual beli barang palsu
hukumnya haram dan tidak sah.
"Garansi barang palsu ini
biasanya adalah garansi yang diberikan oleh toko, bukan garansi yang diberikan oleh pabrik/perusahaan," ungkapnya.
Adapun syarat yang kedua, disandarkan pada hadis yang artinya:
Kaum Muslim bertindak sesuai syarat-syarat di antara mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram. (HR. Abu Dawud no 3557; Tirmidzi no
1352, menurut Imam Syaukani ini hadis hasan, lihat Nailul Authar 5/379). (Yusuf Sabatin, Al Buyu' Al Qadimah wa Al Mu'ashiroh, hlm 19).
"Selain itu syarat kedua tersebut juga didasarkan pada kaidah fikih yang
dirumuskan fukaha dari hadis-hadis, yang berbunyi: Al ashlu fi as syuruuth al muta’alliqah bi ‘aqd al bai’ al ibaahah illa
syarthan khaalafa as syar’a aw tanaafa ma’a muqtadha al ‘aqd. Artinya hukum
asal mengenai syarat-syarat yang berkaitan dengan akad jual beli adalah
boleh, kecuali syarat yang menyalahi syara’ atau menafikan konsekuensi
akad). (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al Buyu’ fi Ad Daulah Al Islamiyah, hlm 28)," tegasnya.
Ia menambahkan, dalil bolehnya garansi dalam jual beli barang, sabda
RasulullahSAW:
المسلمون على شروطهم إال شرطا Øرم Øالال أو Ø£ØÙ„ Øراما
Artinya: Kaum Muslimin menurut syarat-syarat di antara mereka,
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram. (HR.Tirmidzi, Abu Dawud, dan
lain-lain)
"Maka dari itu, selama syarat-syarat dalam garansi tidak bertentangan dengan
syara’ atau menafikan konsekuensi akad (muqtadha al ‘aqad), hukumnya boleh," katanya.
Jika bertentangan dengan syara’, lanjutnya, tidak boleh. Misalnya terdapat klausul dalam surat garansi bahwa barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan. Ini bertentangan dengan syara’, sebab syara’ menetapkan adanya khiyar ‘aib, yaitu
adanya hak opsi (pilih) bagi pembeli untuk meneruskan jual beli atau untuk
membatalkan (fasakh) jual beli itu, jika terdapat cacat (aib) pada barang yang
semula tidak diketahui oleh pembeli.
"Dalam kasus ini, pembeli boleh memilih meneruskan jual beli dan rela atas cacat
yang ada, atau mengembalikan barang kepada penjual dan meminta kembali
uangnya secara utuh. (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 197; Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al Buyu’ fi Ad Daulah Al Islamiyah, hlm. 48)," ulasnya.
Sebelumnya, Kiai mengurai terlebih dahulu mengenai definisi garansi berikut contohnya. Garansi adalah bagian dari perjanjian dalam jual beli, di mana penjual menanggung kualitas barang yang dijual untuk suati jangka waktu yang ditentukan, yaitu apabila barang tersebut mengalami kerusakan atau cacat maka segala perbaikannya ditanggung oleh penjual. Dengan syarat-syarat tertentu yang biasanya ditulis dalam suatu surat garansi.
"Contohnya A membeli hp (handphone) di toko B, maka pihak B memberikan garansi selama satu tahun atas kerusakan atau kecacatan yang terjadi pada hp itu sendiri, yang terjadi bukan karena kelalaian atau kesengajaan dari pihak A. Pihak B akan menanggung semua beban kerusakan yang terjadi pada hp tersebut selama jangka waktu satu tahun," tutupnya.[] Heni
0 Komentar