Topswara.com -- Sedih rasanya mengikuti berita tentang kematian balita pada kasus gagal ginjal akut misterius. Terbayang wajah-wajah polos yang tak berdosa harus merasakan sesak nafas dan penurunan kesadaran akibat racun yang sudah menjalar ke otak karena penurunan fungsi ginjal dalam menyaring racun. Tak tega juga membayangkan tangan mungil itu harus ditusuk dua buah jarum cuci darah yang besar itu.
Kasus ini bergulir teramat lambat. Beritanya pun update perpekan. Jika pun diberitakan setiap hari, narasi dan informasinya yang itu-itu saja. Perkembangan terakhir di kanal berita online, dari situs cnnindonesia.com (05/11/2022), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat jumlah temuan kasus gangguan gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) di Indonesia mencapai 323 orang. Fatality rate atau tingkat kematian kasus ini mencapai 190 orang.
Dalam konferensi pers Kemenkes, kasus GGAPA ini dipicu oleh tiga senyawa kimia berbahaya yaitu ethylene glycol atau etilen glikol (EG), diethylen glycol atau dietilen glikol (DEG), dan ethylene glycol buthyl ether (EGBE) yang ada di obat jenis sirop. Awalnya pemerintah melarang penjualan semua obat sirup. Kemudian pada konferensi pers selanjutnya diumumkan nama-nama obat sirop yang aman dikonsumsi. Perkembangan terkahir, ada 69 obat sirup dan 5 perusahaan farmasi yang dicabut izin edarnya oleh BPOM.
Konferensi pers BPOM dan Kemenkes masih berputar di obat sirup. Padahal banyak pasien GGAPA yang tak mengonsumsi obat sirup. Namun tak ada penelitian lebih lanjut. Kesan kuat yang terbaca yaitu seperti menggampangkan masalah. Penyakit gagal ginjal bukanlah penyakit yang terjadi dalam semalam atau dalam waktu singkat. Perlu waktu yang lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun menuju kerusakan fungsi ginjal akibat pola hidup dan pola makan yang kurang baik. Memang, pada kasus tertentu, gagal ginjal bisa terjadi seketika, misal pre-eklampsia.
Cara Kapitalisme Mengurus Rakyat
Ada pekerjaan rumah (PR) besar untuk menjaga pola hidup sehat dan pola makan bergizi di sistem kesehatan. Dan PR itu tak pernah diselesaikan dengan tuntas oleh sistem kapitalisme yang saat ini mengatur kehidupan kita. Kasus GGAPA ini bukanlah kasus pertama yang menimpa anak-anak. Sebelumnya ada kasus stunting dan gizi buruk yang juga berhubungan dengan pola hidup dan pola makan.
Mindset sistem kapitalisme adalah mencari keuntungan, hingga semua sektor dikomersialkan, termasuk layanan kesehatan. Negara hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator yang memberikan karpet merah bagi badan usaha ataupun swasta untuk berjualan apa pun.
Perihnya, layanan kesehatan yang katanya dimiliki pemerintah, nyatanya berbayar juga dengan iuran BPJS itu disediakan dengan segala kerumitan administrasi dan "keramahan" pelayanannya. Jika ingin mudah dan pelayanan prima, maka silakan ke rumah sakit swasta yang notabene berbiaya lebih besar. Ini yang membuat masyarakat lebih memilih pengobatan alternatif atau membeli obat luar tanpa resep dokter.
Negara gagal menjamin ketersediaan makanan yang bergizi bagi individu rakyat. Ancaman kelaparan mewarnai krisis pangan dunia akibat perubahan iklim juga konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Pemerintah hanya bisa memberikan usul tentang makanan alternatif tanpa langkah nyata.
Simak saja pernyataan-pernyataan para pejabat negara saat mengomentari kenaikan harga sembako. Ada yang menyuruh menanam cabe, makan keong, makan singkong atau mengganti nasi dengan dua buah pisang. Benar-benar nir empati dan terlihat tak kompeten.
Jangan tanya tentang keamanan produk makanan dan minuman kemasan. Sebagian besar mengandung pengawet, pemanis buatan, penyedap rasa, dan pewarna. Jika dikonsumsi secara intens dan dalam waktu yang lama, bisa membahayakan kesehatan, mulai dari hipertensi, diabetes hingga gagal ginjal. Itu yang sudah lewat BPOM. Masih banyak lagi produk rumahan yang tak lewat pintu BPOM namun terus menerus dikonsumsi anak-anak Indonesia.
Kompleks memang permasalahannya. Di satu sisi ada keluarga yang kurang memahami pola hidup sehat. Di sisi lain ada negara yang tak menjalankan fungsinya sebagai pelayan rakyat. Walhasil, rakyat akan selalu jadi tumbal berlangsungnya sistem kapitalisme ini.
Pelayanan Khilafah Berorientasi Akhirat
Berbeda dengan sistem Islam. Islam mewajibkan negara menjalankan fungsi riayah (melayani rakyat). Tanggung jawabnya di dunia maupun di akhirat. Rasulullah SAW bersabda: "Imam adalah ra'in (pemimpin) dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR. Ahmad).
Beberapa hal yang akan dilakukan khilafah untuk menjamin kebutuhan rakyat termasuk anak-anak. Pertama, khilafah akan menyediakan fasilitas kesehatan yang memadai dan gratis, dengan pelayanan terbaik dan prima. Kedua, menjamin pemenuhan kebutuhan gizi setiap individu rakyat baik miskin maupun kaya. Ketiga, menyediakan pendidikan yang berkualitas dan gratis, baik di desa maupun di kota. Keempat, membuka lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya untuk laki-laki, agar para kepala rumah tangga mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarganya dengan layak.
Sistem ekonomi Islam mampu menopang pendanaan khilafah dalam menyediakan fasilitas publik yang memadai dan berkualitas. Serta menggratiskannya untuk seluruh rakyat, baik kaya maupun miskin.
Khusus kasus GGAPA pada anak, penanganan yang cepat akan segera dilakukan oleh khilafah. Tak menunggu korban meninggal hingga ratusan, cukup satu orang saja maka menjadi perhatian serius bagi khilafah. Khilafah akan segera melakukan riset tentang penyakit. Riset tentang standar pengobatan, instrumen dan obat-obatan untuk kesembuhan pasien. Khilafah juga akan memproduksi instrumen dan obat-obatan kemudian dibagikan secara gratis kepada pasien.
Hanya di sistem Islam maka rakyat akan terjamin kebutuhan hidupnya sebab ada khalifah yang melayani dan melindungi. Wallahu a'lam
Oleh: Mahrita Julia Hapsari
(Aktivis Dakwah Muslimah)
0 Komentar