Topswara.com -- Seperti diumumkan, mulai 1 Desember 2021 hingga KTT Group Twenty (G20) pada November 2022, Indonesia secara resmi didapuk menjadi presidensi (tuan rumah) selama setahun penuh. Hal itu sekaligus menjadikan Indonesia sebagai negara anggota berkembang pertama yang menjadi tuan rumah G20.
Dikabarkan pula, KTT G20, kelompok informal dari 19 negara dan Uni Eropa, serta pewakilan dari International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB), memiliki posisi strategis karena secara kolektif mewakili sekitar 65 persen penduduk dunia, 79 persen perdagangan global, dan setidaknya 85 persen perekonomian dunia.
Pujian dan apresiasi juga sudah dialamatkan kepada Presiden Joko Widodo yang dinilai mampu mendorong dialog guna kepentingan seluruh warga dunia. Salah satunya adalah Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
Presiden Biden menjadi satu-satunya kepala negara yang memberikan gestur hormat dengan mengangkat tangan kanan sejajar kening ketika menemui Presiden Jokowi saat tiba di The Apurva Kempinski, lokasi penyelenggaraan KTT G20.
Lewat Instagram resmi @POTUS berharap dapat terus bekerja sama dengan Indonesia dalam melestarikan aturan berbasis sistem dan kepentingan internasional yang berpegang pada hak asasi manusia. "Indonesia adalah rekan yang aktif dan krusial bagi Amerika Serikat," lanjut Biden.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menyampaikan penghargaan kepada Presiden Joko Widodo atas perannya dalam Presidensi G20. Keduanya telah bertemu di The Apurva Kempinski, Senin siang (14/11).
Beberapa pujian dan apresiasi yang diberikan oleh para petinggih G20 kepada pemerintah Indonesia hanyalah sebagai pemanis bibir para oligarki, agar Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah tidak melepaskan diri dari himpunan forum G20.
Dalam forum G20, AS berkepentingan mempertahankan hegemoninya. Karena itu arah strategi AS dalam penyelesaian krisis keuangan global tidak bertumpu pada perombakan sistem kapitalisme.
AS fokus pada pembiayaan dampak krisis keuangan yang dialaminya dalam bentuk bailout dan stimulus bukan merombak sistem keuangan. Begitu pula AS berupaya agar seluruh dunia terlibat dalam pendanaan dampak krisis sehingga partisipasi internasional dapat meringankan bebannya.
Berdasarkan konstelasi geo ekonomi tersebut, maka pertemuan demi pertemuan para pemimpin G-20 pada dasarnya hanya untuk merealisasikan visi kedua kutub ekonomi dunia ini. Karena itu deklarasi yang dihasilkan pada akhirnya hanyalah berisi poin-poin kompromi kedua belah pihak, bukan menyelesaikan sebab fundamental krisis keuangan global.
Meskipun demikian negara independen seperti Cina dan Rusia juga memiliki kepentingan terhadap G-20. Cina misalnya berkepentingan agar AS dan dunia tetap memiliki kekuatan permintaan dalam perdagangan internasional.
Sebab jika terjadi penurunan permintaan AS dan dunia secara signifikan dan berkelanjutan, maka imbasnya kembali ke negeri tirai bambu tersebut dalam bentuk penurunan ekspor, output, dan tentu saja bertambahnya pengangguran.
Namun, bagaimana dengan Indonesia? Jelaslah, keberadaan Indonesia memiliki peran penting untuk merealisasikan visi AS. Indonesia didesain menyampaikan gagasan-gagasannya secara independen tidak lain hanya untuk memperkuat posisi AS dalam forum G-20.
Harapan agar G-20 memiliki peran yang besar dalam mengatasi krisis global, menciptakan kesetaraan dan keadilan hanya ilusi. Sebab G-20 tidak menjawab persoalan krisis secara subtansial melainkan lebih terarah untuk mempertahankan kapitalisme baik kapitalisme ala Anglo-Saxon (AS dan Inggris) maupun ala Eropa Continental (Jerman dan Perancis). Justru G-20 menjadi sarana baru bagi Barat dalam mempertahankan eksistensi penjajahannya atas dunia.
Pelibatan negara-negara berkembang dalam G-20 dan penataan institusi keuangan global tidak serta merta membuat posisi dunia ketiga terhadap negara-negara maju menjadi setara.
Skenario ini justru semakin menguras sumber daya yang dimiliki negara-negara berkembang untuk membiayai krisis AS dan Eropa. Di sisi lain negara-negara berkembang didesain untuk meningkatkan ketergantungan pada hutang melalui IMF dan Bank Dunia dengan dana yang diambil dari negara-negara berkembang yang kaya seperti Arab Saudi.
Dalam kesimpulannya, forum G-20 adalah bertujuan untuk memperkuat hegemoni nya di negeri-negeri Muslim yang kaya akan sumberdaya alam, sedangkan Indonesia sendiri tidak sadar akan hal itu malahan Indonesia merasa bangga dapat bergabung dengan forum G-20 yang di ikuti negara-negara berkembang.
Krisis keuangan global telah memunculkan G-20 sebagai sarana baru bagi Barat untuk mengatasi dampak krisis sekaligus mengefektifkan penjajahannya atas dunia Islam dan negara-negara berkembang.
Patut disayangkan, Indonesia sebagai negeri Muslim terbesar di dunia bukan saja terperangkan penjajahan Barat tetapi juga menjadi “ujung tombak” AS dalam merealisasikan agenda-agenda imperialismennya. Seharusnya Indonesia menjadi pionir bagi dunia Islam yang berani melepaskan keterikatan dengan ideologi kapitalisme dan menghidupkan kembali sistem khilafah yang pernah memimpin dunia.
Wallahu a'lam Bishshawab
Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
0 Komentar