Topswara.com -- Biasanya, bila sudah memasuki penghujung tahun, atau memasuki musim pemilu, atau (mungkin) saat ingin mengalihkan isu hangat tertentu, maka akan muncullah ‘drama' teroris dan radikalisme.
Drama ini selalu disuguhkan oleh sutradara yang sama dengan pola yang serupa, sampai masyarakat sudah hafal alurnya sebelum berakhir ceritanya.
Seperti yang baru-baru ini terjadi, dilansir dari Suara.com pada Rabu (26/10) – Seorang perempuan bercadar membawa senjata api jenis pistol ditangkap setelah nekat mencoba menerobos Istana Negara di Jalan Medan Merdeka Utara pada Selasa (25/10/2022) kemarin.
Peristiwa itu terjadi pada Selasa pagi sekitar pukul 07.00 WIB di pintu masuk Istana Negara, ketika polisi tengah bertugas rutin pelayanan, penjagaan dan pengaturan di sekitar kawasan Istana Presiden di Pos Bandung 1/oteva.
Kemudian perempuan tersebut berjalan kaki dari arah Harmoni mengarah ke Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat. Saat mencapai pintu masuk Istana, perempuan itu menodongkan senjata api jenis FN kepada anggota Paspampres.
Anggota Satgatur, Aiptu Hermawan, Briptu Krismanto, dan Bripda Yuda, langsung dengan sigap mengamankan perempuan tersebut. Anggota juga disebut langsung merebut senpi dari tangan perempuan tersebut dan langsung diamankan ke Polda Metro Jaya.
Peristiwa ini dengan cepat tersebar di berita-berita online dan sosial media hingga viral dan menimbulkan beragam komentar dari warganet. Uniknya, mayoritas warganet justru berkomentar bahwa kasus ini merupakan ‘gorengan' dan ‘drama' yang sengaja dibuat.
Dugaan warganet tak sepenuhnya meleset, buktinya identitas perempuan bercadar tersebut sudah terungkap hanya dalam hitungan hari. Dari hasil pendalaman sementara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), perempuan bercadar yang mencoba menerobos Istana Merdeka sembari membawa senjata api jenis pistol pada Selasa pagi itu adalah pendukung kelompok ormas Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) dan berpaham radikal. (Suara.com, 26/10).
Padahal beda cerita bila yang ditangani kasus korupsi, ataupun kasus yang melibatkan oknum yang memiliki ‘power', sangat sulit bahkan untuk sekedar mengetahui identitasnya. Inilah yang biasanya terjadi sehingga sudah menjadi sebuah asumsi di tengah masyarakat.
Melihat banyaknya reaksi warganet dan masyarakat yang tidak percaya lagi pada kasus teroris ini, setidaknya ada beberapa poin opini dari masyarakat mengenai peristiwa ini, yakni pertama, isu atau kasus seperti ini sengaja dibuat untuk menyudutkan Islam dan umat Islam dengan framing teroris dan radikalisme.
Kedua, isu atau kasus seperti ini sengaja dibuat untuk pengalihan isu penting yang sedang terjadi, seperti kelanjutan kasus Irjen Ferdy Sambo, kasus Kanjuruhan, hingga kasus narkoba Irjen Teddy Minahasa.
Opini seperti ini tentu tak terbentuk begitu saja melainkan berangkat dari seringnya masyarakat disuguhkan dengan hal yang sama.
Begitu pula 'drama’ seperti ini tak akan ada habisnya selama pemerintahan negeri ini masih mengadopsi sistem demokrasi yang bertentangan dan menentang Islam.
Pemerintahan saat ini dengan sistem demokrasi ala Barat nyatanya mampu menghalalkan segala cara untuk menghentikan kebangkitan Islam di tengah-tengah masyarakat, terutama umat Muslim.
Sudah berapa banyak orang dalam jajanan pemerintahan membuat opini blunder tentang Islam, ajaran Islam, umat Islam bahkan ulama dan para da'i nya. Dan entah sudah berapa banyak korban nyawa dari kejinya fitnah yang dibuat pemerintah ini.
Tentu masyarakat sudah tak asing dengan berita tentang Densus88 salah tangkap tetapi kebanyakan bukan ditangkap dulu melainkan langsung di ‘dor' di tempat, salah satunya adalah penembakan dokter Sunardi oleh Densus88, tragedi km50 dan lainnya.
Maka jelaslah, demokrasi memang tak pernah memihak Islam dan penganutnya yang menginginkan agama ini diterapkan di seluruh sendi kehidupan. Pada hakikatnya demokrasi dan Islam tidak akan pernah bisa sejalan dan akan terus bertentangan, karena asasnya saja sudah bertolak belakang.
Demokrasi lahir dari asas sekularisme yakni pemisahan pengaturan agama (Islam) dari kehidupan. Agama hanya dianggap sebagai ranah privat dan sebatas ibadah ritual semata, sedang dalam urusan politik, ekonomi, sistem pemerintahan maka tak boleh bawa-bawa agama.
Sedangkan Islam asasnya adalah menjadikan syariat sebagai landasan hukum dalam kehidupan manusia. Setiap perbuatan manusia wajib mengikuti hukum syara'. Tidak ada yang namanya hurriyah (kebebasan) dalam Islam seperti halnya yang selalu digaungkan dalam demokrasi.
Maka sudah semestinya masyarakat terutama umat Islam memahami bahwa kehidupan kita tidak akan pernah berjalan sesuai tuntunan agama selama masih diterapkannya sistem demokrasi.
Allahua'lam.
Oleh: Vindy W. Maramis, S.S.
Penulis dan Kontributor Opini Islam
0 Komentar