Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Bencana Banjir, Islam Solusinya


Topswara.com -- Pada saat ini kita memasuki musim penghujan. Banjir pun kerap melanda berbagai kota di Indonesia. Demikian pula halnya yang terjadi di wilayah Bandung Raya hujan yang mengguyur  mengakibatkan banjir di beberapa titik seperti Kecamatan Dayeuhkolot, Kecamatan Baleendah, dan Kecamatan Bojongsoang yang kerap dilanda banjir kiriman dari Kota Bandung atau dari luapan sungai Citarum.

Menurut Aki, warga RW 14 Bojongaasih, hujan mengakibatkan beberapa RW  terendam air kiriman dari Kota Bandung. Bencana yang mulai merendam beberapa wilayah seperti RW 1,2,3,4,5, dan 14. Saat ini ketinggian air masih setinggi mata kaki orang dewasa. Namun, setiap masing-masing daerah memiliki perbedaan, lantaran kontur tanah yang berbeda. Ia juga mengatakan bahwa  hingga kini arus air masih mengarah ke sungai Citarum, artinya air kiriman belum selesai terkirim semua. 

Perbedaan air kiriman dari Kota dan Citarum dapat dilihat dari warna airnya yang  cokelat, Citarum sedikit kuning. Kendati begitu, ia menyebut air kiriman atau luapan yang melanda wilayahnya sekarang sudah tergolong lebih cepat surut. Hal itu disebabkan oleh folder dan pintu air yang sudah dibangun berada di tempat cepat surut, namun ia masih khawatir karena masih berada dekat dengan tanggul sungai Citarum yang sudah ditutup dan berpeluang jebol akibat intensitas hujan yang tinggi. Terlebih, di beberapa RW kondisi tanggul masih menggunakan karung berisi tanah yang belum permanen. (Kompas.com, 8/10/2022)

Banjir biasanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, membuang sampah sembarangan hingga penebangan hutan secara liar. Ketika banjir air kotor dalam jumlah banyak menggenang, masalah kesehatan pun tidak dapat dihindari. 

Beragam wabah gangguan kesehatan lebih mudah menyebar dan menyerang siapa saja, khususnya kaum lanjut usia dan anak-anak. Terjadinya kerusakan pada rumah dan barang-barang yang ada di dalamnya ternyata menimbulkan kerugian ekonomi. Di beberapa daerah yang merupakan tempat strategis bahkan bisa memperlambat perputaran roda ekonomi. Adapun dampak negatif banjir yang paling parah, yakni munculnya korban jiwa akibat terseret arus atau luapan air yang tidak terprediksikan.

Tak dapat kita mungkiri, salah satu sebab berkurangnya kemampuan hutan dalam menjalankan fungsinya, termasuk menyerap air adalah akibat beralihnya fungsi lahan hutan menjadi area industri, seperti perkebunan sawit dan tambang, industri kayu, pembangunan infrastruktur, dan eksploitasi berlebih.

Berdasarkan data Global Forest Watch, Indonesia kehilangan 9,75 juta hektare hutan primer antara tahun 2002 dan 2020. Bahkan, menjadi negara urutan kelima terbesar di dunia yang kehilangan hutan primer tertinggi di tahun 2020. Dari data ini saja, tampak jelas betapa besar  ancaman yang ada di depan mata. 

Namun, pemerintah masih saja buta melihat bahaya ekologis yang menghantui Indonesia. Penguasa justru sibuk menggenjot pembangunan infrastruktur besar-besaran demi ambisi dan keserakahan korporasi. Pemerintah makin mempermudah investasi dengan lahirnya UU Cipta Kerja dan mengabaikan keberpihakan pada nasib rakyat dan lingkungan.

Saat ini, solusi yang ada belum mampu mengatasi kerusakan alam. Hal ini karena kegagalan mendiagnosis dan mengobati akar krisis lingkungan. Inti permasalahan dari semua itu adalah penerapan ideologi kapitalisme yang materialistis. Sistem ini hanya peduli pada manfaat dan keuntungan ekonomi, meski harus mengorbankan lingkungan. Eksploitasi  sumber daya alam akan dibiarkan terus berjalan. Kebebasan kepemilikan juga merajalela tanpa kendali. 

Persoalan banjir, tanah longsor, atau bencana alam lainnya hanyalah efek domino akibat pembangunan kapitalistik. Ada andil manusia dalam kerusakan alam yang kita lihat saat ini, yaitu kebijakan pro kapitalis liberal. Jika pembangunan yang dilakukan tidak ramah manusia dan lingkungan, apa gunanya?

Allah SWT. sangat jelas memberi panduan dalam menjaga lingkungan dan melarang manusia untuk merusaknya. Hal ini termaktub dalam surah Al-Baqarah: 205: 
"Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

Sedangkan jika kita menggunakan hukum Islam, maka syariat telah menetapkan aturan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan, pemanfaatan SDA untuk kemaslahatan umat manusia, serta politik ekonomi berbasis syariat Islam. Khilafah memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana, seperti bendungan, kanal, pemecah ombak, tanggul, reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, serta pengaturan dalam memelihara kebersihan lingkungan.

Adapun dari aspek rehabilitasi, penguasa akan melakukan recovery, yaitu manajemen pasca bencana. Seperti memberikan pelayanan terbaik kepada para korban selama berada di pengungsian; memulihkan psikis mereka agar senantiasa bersabar, tidak stres atau depresi. Kemudian memenuhi kebutuhan vital, seperti makanan, pakaian, obat-obatan, tempat istirahat yang layak, dan layanan kesehatan lainnya. Serta memberi nasihat dan tausiah untuk menguatkan akidah dan nafsiyah, keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT. Sehingga jika timbul  banjir bisa ditangani dengan tuntas.

Wallahu a’lam bish shawab.


Oleh: Irma Dharmayanti
Pegiat Dakwah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar