Topswara.com -- Cendekiawan Muslim Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar mengatakan bekerja itu tidak perlu ijazah tetapi perlu bukti kompetensi.
"Memang benar, untuk bekerja itu tidak perlu ijazah tetapi perlu bukti kompetensi," ujarnya di Multi Channel Live Streaming: Terkait Menteri Tenaga Kerja Sebut Ijazah Bukan Hal Penting, Sekolah dan Universitas Bisa Dibubarkan, Mimbar Tube, Kamis (20/10/2022).
Menurutnya, di Indonesia jadi kacau karena ijazah tidak mencerminkan kompetensi. Kadang asal lulus saja dan banyak orang setelah lulus dapat ijazah orang tidak bekerja sesuai ijazahnya. Ini makin tidak menggambarkan kompetensi lagi.
"Tapi jangan lupa yang namanya sekolah atau kuliah itu tidak semata-mata untuk kerja. Kalau sekolah itu hanya untuk kerja maka kita ganti saja dengan uji kompetensi dengan kursus-kursus itu. Tapi sekolah kan tidak cuma itu, kita tak cuma memupuk kemampuan untuk bekerja tapi kemampuan untuk hidup, memupuk kemampuan untuk berkolaborasi, memupuk kemampuan untuk jadi warga negara yang baik. Kan itu enggak uji kompetensi ya? Siapa yang butuh sertifikasi kompetensi kerjasama? Cara buktikan gimana? enggak ada," ujarnya.
Ia mengatakan, uji kompetensi itu untuk keterampilan yang terbatas atau keahlian intelektualnya, uji ahli fiqih, uji hafiz Qur'an, uji tukang bangunan, dan lain sebagainya. Semua di kompetensi intelektual.
Kalau kompetensi emosional itu sikap di masyarakat, di mana orang bisa sabar, santun terhadap orang lain. Dalam konteks yang lebih luas itu dipupuk di sekolah. Sekolah pun tidak cukup di kurikulum, tetapi di ektrakurikuler, sambungnya.
"Orang yang aktif di senat mahasiswa misalnya, dia punya kecerdasan emosional yang lebih besar dari pada orang yang aktif kuliah yang hanya bermodal kuliah pulang. Ditambah juga kompetensi tidak terukur, kompetensi spiritual ngukurnya gimana? Uji kompetensi itu dimasukkan syarat pekerjaan silahkan, tetapi tidak bisa dimasukkan kompetensi yang terukur," ungkapnya.
Ia mengatakan, sekolah sekarang itu tidak mencapai apa yang di idealkan tetapi tidak harus terus membubarkan sekolah. Harus dipetakan saja mana sekolah yang tidak berhasil kita benahi, apa yang salah, mungkin rekruitmen gurunya yang salah. Jadi harus ditelisik satu persatu mana sekolah yang tidak baik mana yang baik. Mana sekolah yang baik yang harus dibina, mana sekolah yang kurang baik yang harus dibinasakan.
"Saya pernah dengar pengusaha itu mengeluh cari tenaga kerja itu sulit sekali. Padahal lapangan kerja sangat sedikit, banyak pengangguran yang sulit cari kerja, tetapi dunia usaha sulit cari kerja. Karena dunia usaha cari pekerja yang kompeten, yang termotivasi, yang masih dapat dibina," ungkapnya.
"Zaman sekarang ada interview mereka buka lowongan tenaga kerja ditanya syarat lulus SMA dibutuhkan lima orang yang daftar lima ratus orang. HRD pusing akibatnya yang dipanggil interview yang di CV-nya itu menarik, CV yang menguasai beberapa teknologi atau dia bawa sertifikat pendamping," imbuhnya.
Ia melanjutkan, dalam menghadapi revolusi industri 4.0 dimana banyak keahlian baru. Banyak yang berpuluh- puluh tahun dipelajari tiba-tiba hilang tidak dibutuhkan lagi, ada profesi yang sudah mapan tiba-tiba hilang, misalnya penerjemah. Penerjemah tergantikan dengan mesin komputer. Di sinilah sertifikasi kompetensi itu diuji seberapa lama lagi keabsahannya.
"Nantinya yang tidak akan hilang tidak akan tergantikan oleh mesin 4.0 itu adalah attitude (sikap/keteladanan). Sikap terhadap orang lain, hormat kepada yang tua, sayang kepada yang muda, kecerdasan spiritual itu tidak bisa tergantikan, never ending," terangnya.
"Apakah kita akan menjerumuskan pendidikan anak kita dengan robot, robot lebih hafal Al-Qur'an dari kita. Apakah kita, akan merakit ortu dengan robot, robot lebih kuat dari kita. Tapi kita nggak akan dapat pahalanya," tuturnya.
Ia mengatakan, hidup tidak sekadar untuk bekerja tetapi hidup untuk beribadah, taat kepada Allah, beri manfaat pada sesama. Yang dibutuhkan itu generasi yang mau berpikir cerdas, bekerja keras, dan berhati ikhlas. Bukan yang beringas, bukan yang culas.
"Pendidikan tidak cuma dikerdilkan dengan persekolahan, karena seolah-olah mereka yang tak sekolah tak terdidik. Betulkah sekolah itu mendidik? Jangan-jangan sekolahnya hanya berhasil memberikan ijazah tetapi tidak mendidik. Jangan-jangan banyak orang mendapat gelar tetapi tidak pernah berpikir. Bahaya sekali itu," pungkasnya.[] Rina
0 Komentar