Topswara.com -- Bergabung dengan Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) bukanlah keinginanku. Kebetulan aku suka keindahan dan ketika berada di alam bebas aku merasakan kedekatan dengan Allah. Apalagi kalau sudah masuk kedalam perut bumi. Aku mengambil devisi caving (gua). Bergelimang dengan guano (kotoran kelelawar) dan merayap di lorong-lorong sempit dengan kerikil-kerikil tajam sampai menusuk ke siku. Hingga masuk dalam lorong yang penuh dengan aliran air. Padahal aku tidak bisa berenang sama sekali.
Di saat itu tiada cahaya kecuali senter sebagai penerang, suasana hening dan tetesan air dari stalaktit ke lantai gua begitu syahdunya. Aku merasakan hanya Allah lah satu-satunya yang aku punya.
Pernah aku dengan team, dua orang perempuan dan tiga laki-laki disaat Operasi Penelusuran Goa Tahun 2001, ditugaskan mendata goa-goa baru. Saat itu, kami terjebak di dalam goa. Ketika kami terakhir menelusuri goa bertemu lorong terputus, yang dibawahnya terdengar seperti suara air sungai yang mengalir deras. Karena sangat gelap dan jauh kebawah, kami putuskan untuk balik kanan.
“Tunggu, kita berhenti dulu. Coba ingat, kita masuk tadi berapa kali melewati jalan ini? Dari awal kita masuk, kita hanya merayap sekali, trus ada ketemu batu besar ditengah-tengah. Jadi, kenapa kita mutar dan merayap sampai berkali-kali disini?” Tanya ketua team kami. Dari nada suaranya terdengar mulai ada rasa cemas dan panik, tetapi, entah kenapa tidak ada diantara kami yang menjawab. Semua membisu, hening.
Pikiranku entah kemana-mana, aku juga bingung, takut dan kenapa semua seperti punya perasaan yang sama. Cahaya senter ku juga yang lain sudah mulai hilang dan tubuhku pun mulai kedinginan karena pakaian yang melekat di tubuh ku basah semua.
“Sekarang, mari kita berdiri merapat. Berdoa dan jika ada diantara kita yang takabur segera minta ampun. Supaya Allah SWT memberikan petunjuk dan jalan keluar.” Ketua tim Nugroho dengan tenang memimpin doa.
Setelah berdoa, Allah langsung menunjukkan kuasa-Nya. Tidak lama berselang, akhirnya kami menemukan jalan keluar pukul 20.00 WIB, kami harusnya sudah keluar pukul 13.00 WIB siang tadi sesuai dengan SOP penelusuran gua, yang tidak boleh lebih empat jam.
Karena baterai senter hanya tahan 4 jam non stop, terus ketika masuk gua tadi, tas yang berisi makanan dan cadangan baterai sengaja ditinggal di pintu masuk gua dan ditutupi dedaunan, karena ide dan keegoisan ku. Aku pikir goanya kecil dan meminta saran kepada teman-teman supaya mengizinkan ku tidak membawa ransel kedalam. Sepertinya guanya kecil kata ku meyakinkan. Padahal sebenarnya aku tidak ingin direpotkan dengan ransel walaupun hanya kecil.
Lain halnya, kalau tidak ada ekspedisi atau kegiatan alam bebas di Mapala. Aku sering ditugaskan di kesekretariatan. Karena waktu itu belum ada pemberlakukan jam malam di kampus untuk mahasiswa.
Aku suka lembur di sekretariat Mapala dan keluyuran naik sepeda keliling kampus bersama Elya teman satu devisi caving, baik siang maupun malam.
“El, enak ya naik sepeda malam-malam..?” candaku pada Elya yang berdiri di atas roda sepeda di belakang. Kami pun tertawa, aku terus mengayuh sepeda sampai pulang. Suasana jalan sudah sepi, dan sekali-sekali terlihat kendaran melintas. Rasanya malam itu, dunia adalah milik kami. Tidak seperti saat ini, dimana-mana sudah rawan kejahatan.
Walaupun aku kos, tetapi aku juga sering menginap dirumahnya Elya, karena dia takut pulang jalan sendiri. Karena hari sudah larut malam. Sampai dirumahnya biasa kami disambut mamanya sambil membuka pintu sambil marah-marah, tidak terima anaknya aktif di Mapala apalagi pulangnya juga hampir tengah malam. Aku sudah menganggap mereka keluarga ku. Jadi bagaimana pun mamanya marah, aku juga siap menerima. Besok pagi-paginya kami langsung cuci piring, bersihkan rumah, dan masak. Baru berangkat lagi ke sekretariat Mapala, kadang ikut pertemuan dengan aktifis pecinta alam dan LSM Walhi dan lainnya.
Dunia saat itu aku rasakan tiada beban. Walapun dompet pas-pasan, kadang tidak cukup untuk makan. Kuliah tinggal kuliah, tetapi kegiatan Mapala selalu nomor satu. Shalat tidak pernah aku tinggalkan, walaupun dilapangan. Begitu juga teman-teman di Mapala. Kami tidak seliar orang lain bayangkan. Menyantuni anak yatim disaat Ramadhan rutin kami laksanakan, juga kegiatan aksi sosial lainnya.
Tetapi, setelah aku mengulang-ulang kembali mengkaji kitab Nizam fi al-Islam, pada saat dibimbing musrifah ku, Leni tahun 2017. Pola pikir ku pun berubah.
“Jadi len, kalau tidak ada ruh dalam perbuatan kita bagaimana?” tanya ku, waktu itu.
“Iya, kita harus menghadirkan Allah dalam setiap aktifitas kita. Apakah yang kita kerjakan sesuai dengan tuntunan syariat atau bukan. Standar kita bukan pada pandangan manusia ataupun perasaan. Bisa saja orang tenang dan bahagia padahal sedang bermaksiat. Apakah ada ruh pada diri mereka? Pastinya tidak. Kita harus menghadirkan Allah dalam setiap perbuatan kita, apakah sesuai yang Allah perintahkan atau tidak?” sambil tersenyum dia melihatku, seolah ingin meyakinkan, apakah aku sudah paham atu belum.
Rasanya, jawaban yang diberikan musrifah ku menampar mukaku dengan keras. Aku tidak sanggup menegakkan kepala ku, padahal akulah orangnya, marasa tenang dan santai padahal dikelilingi dosa. Aku mencari Allah hanya untuk memuaskan perasaanku. [] Sri Nova Sagita
0 Komentar