Topswara.com -- “Pak, bukan seperti itu! Masa iya shalat kok tidak berwudhu tidak juga melakukan gerakan-gerakan shalat yang benar!” ucapku geram kepada Bapak yang baru saja mengatakan shalat itu cukup dengan duduk mengingat-ingat Allah.
Bapak sudah sangat senja, tetapi tak ada keluhan yang melompat dari mulutnya. Hanya garis lengkung membingkai wajahnya. Walau sudah tua dan menderita glaukoma, bapak tidak pernah mau diam. Beliau selalu ingin beraktivitas. Mulai bersih-bersih kebun, hingga mencipta mebel sederhana.
Bapak sudah hafal semua titik di rumah. Bahkan barang-barang yang diambilnya selalu dikembalikan di tempat semula. Pernah suatu waktu, bapak memintaku memasang baterai handphonenya. Berkali-kali ku coba pasang tapi tidak bisa. Hingga bapak mengambilnya kembali, dan memasangnya. “Bapak memang buta, tapi hati Bapak masih melihat” ujarnya.
Aku sesekali mendengar curahan hati bapak pada ibu. Ia sangat ingin punya kolam ikan, hingga ingin beternak sapi. Aku menginterupsi bapak kala itu “Pak, tidak usah aneh-aneh, terima saja keadaan, tidak usah banyak kemauan. Bapak sudah tua, bahkan tidak bisa melihat seperti dulu, bapak lebih baik perbaiki shalat dan belajar mengaji.” suaraku menggelegar di ruang keluarga. Bapak hanya tersenyum mendengar penolakanku.
Ambisi bapak akan dunia membuatku sering berdebat dengannya bahkan membentaknya. “Pak, kenapa yang Bapak pikirkan cuma dunia Pak..” tanyaku padanya yang setiap hari sibuk mengurus kolam ikannya. Bahkan shalat ashar selalu keteteran ia tunaikan demi ikan-ikannya itu. Aku selalu mencoba mengingatkan bapak agar tidak mendamba dunia.
Semenjak kuliah di tanah rantauan aku sangat jarang berkomunikasi dengan bapak. Bahkan aku seringkali menghindari bapak. Aku lelah berdebat dengannya. Kalau bapak menelfon hanya kujawab seadanya dan segera kualihkan dengan menanyakan ibu. Agar bapak memberikan hp itu kepada ibu.
Akhir Desember 2020, Aku pulang kampung. Bapak terserang flu batuk, disertai sedikit sesak. Malamnya bapak tak pernah keluar kamar hanya keluhan yang terdengar darinya. Ibu pun sedikit mengeluh bahwa ia tidak bisa memijat seperti yang bapak minta.
Aku terus saja sibuk dengan gawaiku. Hingga kuputuskan untuk menengok bapak. Ku pijat kakinya dengan telaten. Aku jadi teringat ketika kakiku pegal-pegal, sedang bapak begitu sigap memijatku hingga Aku tertidur pulas.
Kutatap wajahnya malam itu, tidak ada garis lengkung yang selalu hadir tiap waktu. Hingga bapak terus mengeluh dadanya sesak dan berucap “Kayaknya Bapak sudah mau mati. ” “Kalau sudah mau mati, taubat Pak..! ” balasku kesal dan sedikit menyesal.
Beberapa hari itu, aku membantu bapak berjalan. Menyuapinya kolak pisang. Hingga mengompres badannya hingga terlelap.
3 Januari, aku harus kembali ke tanah rantauan mengingat besok lusa ialah jadwal seminar hasil penelitianku. Aku pamit kepada bapak yang berbaring. “Sukses ya, semangat ujiannya” ucap bapak. “Iya Pak, Ingat Allah selalu ya Pak” balasku.
Ujian kulalui cukup menguras banyak energi, Aku dibantai oleh dosen-dosen ku dengan begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa kujawab. Agak sedikit kecewa, namun harus kusyukuri karena sudah berada di tahap ini.
Keesokan harinya. Aku menggeliat diatas kasur, badanku lemas akibat demam. Samar-samar kudengar kakakku menerima telfon. Aku mencoba menebak dengan siapa ia menelpon, namun ia telah menyambar pintu kamarku dengan kabar yang sangat mengejutkan.
Perjalanan yang lazimnya ditempuh kurang lebih 5 atau 6 jam. Hanya ditempuh 3 jam an. Aku keluar dari mobil dan ingin berlari menuju tangga rumah. Tetapi badanku seketika dingin, kaku, hingga terjatuh di bebatuan.
Dibopong lah tubuhku membelah lautan manusia kala itu, hingga mataku menangkap sosoknya yang tengah terbaring. “Paak.. Kenapa secepat ini pak.. Bukannya Bapak cuma flu biasa.. Pak.. Aku sudah ujian seminar hasil, sisa satu langkah lagi Pak.. Kenapa Bapak tidak menungguku? ” tanyaku padanya yang tak juga menjawab satu kata pun.
Berkali-kali kututup mataku, lalu kubuka kembali. Kututup lagi, hingga kubuka lagi. Ini bukan mimpi. “Pak.. Aku belum sarjana, bukannya Bapak mau lihat Aku pakai toga, Bapak mau lihat Aku sukses kan Pak! ” tanyaku lagi. Namun sama saja, tak ada jawaban. Orang-orang di sekeliling ku menasehatiku agar bersabar. Aku benar-benar tidak percaya. Aku menangis meraung-raung.
Seketika memoarku berputar ke masa lampau. Anak yang selalu mendebat, bahkan membentak. Itulah Aku yang kini diselimuti sesal tak berujung. Hari-hari ku lewati dengan suram. Tidak mau makan, ngobrol pun Aku tidak mau. Baju bapak selalu kucium tiap saat, berharap semua ini hanya mimpi. Namun inilah takdirku. Bapak pergi meninggalkanku sebelum meminta maaf padanya. Aku sudah jadi anak durhaka.
Aku benar-benar depresi. Tak ada lagi niatan untuk melanjutkan ujianku yang sisa satu tahap lagi. Aku memilih menyerah. Kabar belasungkawa yang berhambur di gawaiku semakin membuatku terpuruk. Namun ada satu pesan yang berbeda dari yang lainnya. Dialah Kakak tingkat di kampus yang pernah mengajakku ikut kajian semasa Maba. Dari pesan itu Aku mencoba bangkit. Hingga sebulan setelah itu, Aku kembali ke tanah rantau untuk melanjutkan tahapan kelulusan. Untuk pertama kalinya, Aku berangkat tanpa pamit kepada bapak.
Bak hidup lagi, Aku yang belakangan ini hampa, tak ada gairah hidup menemukan secercah harapan. Aku kembali belajar Islam bersama Kak Inna (nama samaran) yang mengajakku sewaktu Maba dulu. Aku benar-benar menyesal telah memperlakukan bapak seburuk itu semasa hidupnya. Aku memaksa bapak berubah. Aku sok-sok an dakwah tetapi dengan cara yang salah.
Aku menganggap wajar tindakanku pada bapak yang sering kali melanggar aturan Allah. Bahwa wajar aku membentak bapak, memarahinya, karena bapak memang salah. Padahal betapapun kesalahan orang tua kita mereka tetaplah pintu surga paling tengah bagi kita. Tugas kita harus terus memperlakukannya dengan baik.
Yaa Rabbi.. Yaa Ghofur Yaa Tawwab, ampunilah hamba yang melampaui batas. Sungguh durhaka diri ini, tak sempat memohon maaf sudah ditinggal pergi. Apakah masih ada kesempatan untukku?
Aku benar-benar merasa paling hina di muka bumi ini. Ku amati sekitarku teman-teman yang shalihah, wajah yang begitu teduh. Sepulang dari kajian, perasaanku begitu kalut. Aku merasa tak pantas berada dicircle mereka. Aku memvonis diri sebagai pendosa terhina di muka bumi. Aku pun memilih mengasingkan diri.
Beberapa hari kemudian, Aku menemukan suatu artikel yang berhasil menamparku. Kisah Hindun binti Utbah. “Hindun si laknat itu? yang telah memakan bangkai jantung Hamzah? ” fikirku mencoba menebak. Tak habis fikir, betapa Allah Maha membolak balikkan hati. Sosok yang dulunya begitu membenci Islam berganti sosok pejuang Islam.
Dari situ aku belajar bahwa betapapun kelamnya masa lalu kita, Allah selalu menerima kita, Allah selalu tinggal walau seringkali kita mencampakkan aturanNya. Sebagaimana Allah sampaikan dalam surat cintaNya Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang” ( Q. S Az Zumar: 53).
Aku kembali menghubungi Kak Inna yang belakangan kuabaikan. Aku meminta maaf atas sikapku dan kembali berada dianatara mereka yang senantiasa memgkaji Islam dan mendakwahkannya.
Aku memutuskan untuk berhijab syar'i , dan tidak lagi lepas pasang. Aku selalu meminta pada Allah agar diri ini diberi kekuatan agar bisa menjadi anak shalihah untuk Bapak. Sebab pemahamanku selama ini keliru, kupikir Aku telah gagal membahagiakan bapak dengan kesuksesan di dunia. Ternyata anak shalihah lah yang sangat dibutuhkan bapak. Aku telah tersesat oleh kendali hawa nafsu tanpa dibimbing oleh wahyu. Faghfirlii Yaa Rabb.[] Nurhidayah Gani
0 Komentar