Topswara.com -- Belum lama ini jagad maya diramaikan dengan berita Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menimpa pasangan selebriti yang tengah viral. Kementerian PPPA mengadakan kampanye bertema "STOP KDRT serta kekerasan seksual pada anak dan perempuan" saat moment car free day di bilangan Sudirman bundaran HI pada ahad 25 september 2022.
Mentri Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak seluruh masyarakat untuk berani angkat bicara "speak up!" bila mengalami atau melihat kasus KDRT atau jadi saksi pelecehan seksual kepada perempuan dan anak.
Tak hanya korban yang harus melaporkan, tapi juga masyarakat keseluruhan diharapkan pro aktif bila mendengar, melihat untuk segera melaporkan," kata Bintang (Kompas.com, 25 September 2022), namun bagaimana follow up setelah masyarakat speak up dan melapor? Apakah cukup?
Solusi KDRT Belum Menyentuh Akar Masalah
Kasus KDRT rumah tangga selebritis "Leslar" telah meng-amplifire daftar panjang catatan kelam KDRT di tanah air. Pasangan seleb ini boleh dibilang "dijodohkan" netizen, kemudian kini pasca KDRT, netizen pula yang ingin "memisahkan" mereka.
Seperti biasanya solusi kasus-kasus KDRT ditempuh secara parsial, bahkan dalam suasana yang emosional pragmatis. Sehingga dipastikan KDRT selalu berulang karena solusinya tak pernah menyentuh akar masalah.
Publik tidak boleh lupa, bahwa UU KDRT atau penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, telah disahkan sejak 2004. UU ini segera disahkan karena KUHP dianggap tidak bisa menyentuh para pelaku KDRT dan bagi para korban tak ada payung hukum yang bisa mengakomodir juga melindungi nasib mereka.
Sayangnya selama UU ini berlaku, justru kasus KDRT terus meningkat. Terhitung selama 17 tahun (2004-2021) tercatat ada 544,452 kasus KDRT jelas ini jumlah yang tak sedikit itupun dari kasus yang terlapor, dipastikan banyak sekali kasus-kasus yang tidak dilaporkan. Di Yogyakarta saja tahun 2022 ini ada 156 kasus, menurut data dari Pemkot setempat, dan hanya 24 kasus yang maju ke meja hijau (tribunnews.com 2 oktober 2022).
Artinya selama ini masyarakat sudah berupaya 'speak up' dengan melaporkan, mengungkap KDRT, UU PKDRTnya pun sah, namun tak berhasil mengatasi kasus KDRT.
Disisi lain timbul narasi "ada undang-undang saja banyak kasus, apalagi kalau tak ada undang-undang" narasi ini muncul untuk meng-counter pihak yang mempertanyakan keberadaan UU PKDRT yang dianggap tak mampu menjawab maraknya KDRT.
Harus diakui bahwa spirit atau nafas dari UU PKDRT adalah demokrasi sekuler. HAM atau hak asasi manusia adalah ruh nya. Kemudian semangat UU ini adalah mewujudkan kesetaraan gender. Terbukti selama ini ide kesetaraan genderpun gagal mewujudkan stabilitas ketahanan keluarga, walhasil malah muncul masalah baru yaitu ketimpangan peran dan fungsi pasutri dalam keluarga.
Ide kesetaraan gender yang minus nilai-nilai agama adalah pangkal masalah. Pasutri tak lagi punya 'rem' iman dan takwa di kala muncul prahara rumah tangga, akhirnya hawa nafsu tanpa nalar yang menguasai, mengikuti emosi, bisikan syetan pun bermain, maka KDRT jadi keniscayaan.
Spirit kesetaraan gender dalam UU P KDRT justru telah mendistorsi hak dan kewajiban pasutri sekaligus mencabut fitrah seorang ibu dan ayah dalam keluarga. Problem yang ditimbulkan atas ketimpangan fungsi dan peran ini makin menjauhkan dari solusi KDRT di negri ini.
Solusi yang ditawarkan negara tak pernah menyentuh akar masalah KDRT. Faktor pemicu KDRT tak diatasi, faktanya KDRT terjadi baik dari pihak suami pada istri atau bisa jadi sebaliknya istri pada suami, UU PKDRT sering hanya melihat sebelah mata, Jangan lupa memang korban KDRT 70 persen pada istri namun yang 30 persen pun tetap harus diatasi secara adil.
Islam Jawaban Konkret KDRT
Islam akan menyelesaikan masalah secara konkrit dan komprehensif. Dengan menggunakan paradigma sistemik. Artinya masalah KDRT bukan sebuah masalah yang berdiri sendiri, sebagai masalah dalam rumah tangga. KDRT merupakan masalah dalam kehidupan pernikahan (hayatu zawjiyah) yang merupakan bagian dari sistem pergaulan dalam islam (nidzom ijtimai fil islam).
Sistem pergaulan akan terkait dengan sistem ekonomi dan sistem lainnya, Contoh problem ekonomi seperti PHK pada suami, istri harus bekerja, kesulitan ekonomi pasti akan mempengaruhi ketahanan keluarga. Demikian pula masalah pergaulan bebas, adanya WIL, PIL perselingkuhan. Minim pemahaman agama pasutri, pola asuh anak, semua saling mempengaruhi.
Solusi Islam membangun ketahanan keluarga melalui pendekatan tiga pilar yaitu negara, masyarakat sampai individu. Negara menjalankan perannya dengan memastikan kesejahteraan setiap individu masyarakat. Tak dapat dipungkiri salah satu faktor kebahagiaan keluarga adalah terwujudnya kesejahteraan dan terpenuhinya semua kebutuhan hidup.
Slogan ekonomi kuat, negara kuat, rakyat sejahtera, keluarga bahagia adalah kondisi ideal. Selain ekonomi Negara juga harus membuat aturan konkrit dalam menjaga aqidah rakyat dan harus menegakkan nidzom intima'i (sistem pergaulan sosial).
Negara wajib memfasilitasi rakyat agar memperkuat iman dan takwa serta pemahaman agamanya yang kokoh. Disamping itu keberadaan qadhi (peradilan) selain memberi sanksi pada pelaku KDRT juga menjalankan edukasi hukum-hukum yang berkaitan dengan rumah tangga.
Diterapkan pula aturan untuk menjaga kesucian wanita muslimah dengan kewajiban menutup aurat, rakyat yang paham dan sadar terhadap syariat islam, tidak akan merasa terpaksa, tertekan gara-gara menutup aurat. Media-media sosial dan fasilitas umum yang mengandung maksiat dan merusak generasi diamankan sekalipun menghasilkan uang.
Masyarakat menjalankan fungsi kontrol agar tidak terjadi pergaulan bebas ditengah kehidupan seperti mencegah ikhtilat/campur baur laki-laki perempuan, juga khalwat. Menutup celah potensi perselingkuhan dan mengarahkan pada hubungan yang ma'ruf dari pasutri.
Akhirnya setiap individu yang memiliki imtak (iman dan takwa) serta pemahaman syariat tentang hak dan kewajiban pasutri, akan memiliki visi yang jelas dalam berrumah tangga yaitu untuk ibadah meraih ridha Allah dengan misi mewujudkan sakinah mawaddah warahmah.
Misi ini dijalankan dari sejak memilih jodoh, dengan terikat hukum syara bukan mengikuti hawa nafsu yang orientasinya mareialistik, sekedar memilih tampang yang good looking tapi tidak good akhlak. Suami istri ini ketika muncul prahara rumah tangga selalu mengembalikan pada islam.
Semua ini mustahil terwujud dalam sistem kapitalisme sekuler seperti saat ini. Mungkin terwujud namun dalam skala sangat minimal yaitu individu keluarga. Kita tentu ingin terwujud mashlahat bagi semuanya. Tak ada lagi KDRT atau zero KDRT hanya mungkin terwujud bila negara menerapkan islam secara kaaffah. Wallahu'alam.
Oleh: Rengganis Santika A, STP
Sahabat Topswara
0 Komentar