Topswara.com -- Bagai duri dalam daging, hati rakyat telah tersakiti, kebijakan negara terhadap kekayaan alam Indonesia yang sejatinya adalah milik rakyat telah berpindah tangan menjadi milik asing.
Perusahaan Freeport telah melakukan penambangan di Indonesia melalui PT. Freeport Indonesia yang berafiliasi dengan Freeport-McMoran di Amerika Serikat. Masuk ke Indonesia sejak tahun 1967 melalui UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal, dan berhasil menandatangani kontrak karya selama 30 tahun ke depan. Fantastis!
Dalam kontraknya, Freeport mendapat keistimewaan bebas pajak untuk tiga tahun, pemotongan 35 persen pajak untuk 7 tahun setelahnya, dan bebas dari pajak atau royalti selain 5 persen pajak penjualan. Dan di tahun 1991, Freeport berhasil memperluas wilayah penambangannya dari 10.908 hektar menjadi 2,6 juta hektar melalui Kontrak Karya II yang berlaku hingga 2021. Luar Biasa!
Menurut Chairman of the Board and CEO-nya yaitu Richard C. Adkerson, sejak tahun 1992 sampai 2021, Freeport telah ikut andil memberikan pemasukan kas negara sebanyak USD 23,1 miliar. Dan hal ini pun menandakan bahwa Freeport telah memberikan keuntungan bagi Indonesia dan bukan semata menguntungkan pihaknya saja.
Seperti dikutip dari kumparan.com, (6/10/2022), Richard menambahkan bahwa Indonesia di tahun 2041 juga akan memperoleh manfaat langsung sebanyak USD 80 miliar atau setara Rp 1,214 triliun karena adanya proyeksi bisnis yang makin berkembang.
Keuntungan yang Semu
Bak buaian mimpi tanpa tepi, Indonesia telah mengaminkan begitu saja keberadaan PT. Freeport di bumi yang kaya raya ini. Keuntungan semu yang ditawarkan seolah menjadi sulap bagi pemerintah untuk menyetujui keberadaannya di Indonesia.
Begitupun janji keuntungan besar dengan penambahan investasi penggalian bahan tambang Tanah Air kita yang diberikan Freeport, telah memperluas ruang mereka untuk meraup keuntungan yang tentu saja juga semakin besar bagi mereka. Dan inilah faktanya, sebesar apapun yang diberikan Freeport, Indonesia tetap berada pada pihak yang dirugikan, karena harta miliknya telah dikuasai asing.
Bahkan nilai puluhan milyar hingga triliyunan yang dijanjikan, tentu saja tak akan ada nilainya bila pengelolaan SDA dilakukan sendiri oleh negara, sehingga 100 persen keuntungannya adalah milik Indonesia, bukan berbagi dengan negara asing. Keuntungan besar ini dapat digunakan untuk membayar hutang yang saat ini tujuh turunan pun belum tentu lunas. Dan juga dapat diambil manfaatnya demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.
Bentuk Penjajahan Ekonomi
Tanpa disadari, peluang investasi asing di Indonesia adalah bentuk penjajahan ekonomi. Pasar kita telah dikuasai asing dengan keterkungkungan campur tangannya, pihak asing telah masuk dalam pengaturan sistem pengelolaan ekonomi Indonesia.
Pasal 33 UUD 1945 sebagai fundamental sistem perekonomian Indonesia saat ini, telah ternodai dengan liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis. Segelintir elit pemilik korporasi (oligarki) dari dalam dan luar negeri (asing) telah menguasai mayoritas aset ekonomi dan sebagian besar hasil produksi nasional.
Sebenarnya corak keterjajahan ekonomi Indonesia sangat kentara, indikasi sebagai negara pemasok bahan mentah membiarkan pihak asing PT. Freeport mengeksploitasi kekayaan milik Indonesia dengan menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas dan perak.
Bahkan menurut kompas.com, (16/10/2020), di tengah serangan pandemi Covid-19 semester I tahun 2020 yang turut menyerang perekonomian Indonesia, Freeport masih berhasil meningkatkan produksi tembaga dan emas dengan kenaikan 18,8 persen.
Namun, lagi-lagi bangsa ini masih berdiam diri, tak bergeming dengan penjajahan ekonomi. Sistem Kapitalisme yang diadopsi Indonesia dan berinduk kepada Amerika Serikat, telah membuat Indonesia mengalami ketergantungan yang parah dalam penyusunan sistem ekonomi nasional, seperti Undang-undang BUMN, ketenagalistrikan, dan sistem pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)-nya.
Kondisi ini menghantarkan Indonesia menjadi negara yang mengesampingkan kemakmuran rakyatnya. Indonesia yang kaya SDA dan melimpah ruah, kemiskinan dan pengangguran masih saja bertambah. Masyarakat Indonesia pun layak disebut sebagai kuli di negeri sendiri.
Maka kesejahteraan rakyatlah menjadi taruhannya. Sebagai pemegang kedaulatan di negara demokrasi, kesejahteraan rakyat hanya jadi ilusi. Objek yang seharusnya disejahterakan oleh penguasa negeri, telah beralih kepada asing dan oligarki. Inilah bukti bahwa kapitalisme demokrasi tidak akan bisa menghilangkan penjajahan ekonomi.
Merdeka dari Keterjajahan Ekonomi
Tetapi sistem Islam memiliki solusi. Sebagai jalan hakiki demi meraih kemerdekaan ekonomi saat ini. Dalam Islam, kekayaan alam dan SDA adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan ini wajib dikelola oleh negara yang hasilnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Suatu keharaman apabila pengelolaannya diserahkan kepada individu dan swasta, apalagi asing.
Sabda Nabi SAW:
"Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal yaitu: air, rumput dan api." (HR. Ibnu Majah).
Lalu Rasulullah SAW juga bersabda:
"Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli: air, rumput dan api." (HR. Ibnu Majah).
Berserikatnya manusia dalam tiga hal yang disebutkan dalam hadis tersebut, berdasarkan pada sifat tiga hal tersebut sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh orang banyak. Dan apabila ketersediaannya tidak ada, maka akan menimbulkan perselisihan untuk mendapatkannya.
Sehingga dalam pemanfaatannya pun tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian orang saja. Sementara sebagian yang lain dilarang/dihalangi. Hal ini menandakan bahwa ada izin dari As-Syaari' yaitu Allah SWT. sebagai pencipta Alam agar manusia dapat memanfaatkannya. Inilah yang menjadi bentuk kepemilikan. Ada tiga kepemilikan dalam Islam, yaitu kepemilikan umum, negara, dan kepemilikan individu.
Sedangkan jenis kepemilikan terhadap kekayaan alam dan sumber daya alam yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kepemilikan harta milik umum atau merupakan bagian dari kepemilikan umum.
Berkaitan dengan kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga telah meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hammal. Diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasulullah untuk mengelola sebuah tambang garam, dan Rasulullah menyetujuinya. Tetapi kemudian ada salah seorang sahabat yang mengingatkan:
“Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasulullah SAW. lalu bersabda, “Ambillah kembali tambang tersebut dari dia.” (HR. At-Tirmidzi).
Hal ini menandakan bahwa di dalam aturan Islam, kekayaan alam yang jumlahnya sangat besar, seperti garam ataupun batubara, tembaga, emas, perak, bauksit, minyak bumi, gas, dan lainnya. Semua termasuk dalam kategori kepemilikan umum berdasarkan hadis tersebut.
Oleh karena itu tidak diperkenankan negara memberikannya kepada swasta atau investor asing untuk mengelolanya. Karena keuntungan yang dihasilkan sudah pasti bukan untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga pembagian keuntungan yang menyelimuti penjajahan ekonomi terselubung dari investor tidak akan terjadi. Semua kekayaan alam yang melimpah ruah menjadi menjadi milik sendiri, dan impian kesejahteraan rakyat dapat terealisasi.
Di dalam Islam pun, pemegang kedaulatan tertinggi adala hukum syarak yang merupakan seruan dari pembuat hukum (khithaabu as-Syaari') yaitu Allah SWT. Sehingga permasalahan apapun dapat ditemukan solusinya dalam Islam.
Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa Islam bukan hanya sekedar agama ritual dan moral saja, tetapi Islam juga merupakan sistem aturan kehidupan yang mampu memecahkan setiap permasalahan kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan dan sumber daya alam.
Firman Allah SWT.:
“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) Al-Qur'an, sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri,” (QS an-Nahl: 89).
Sebagai bukti keimanan dan pertanggungjawaban terhadap hari akhir nanti, maka setiap muslim wajib taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Termasuk para pemimpin muslim, dan para penguasa negeri, mereka wajib terikat dengan aturan Allah SWT. Begitu juga dalam mengelola SDA dan kekayaan alam yang melimpah ruah di bumi Indonesia, pun harus diatur berdasarkan al-qur'an dan sunnah Rasulullah SAW.
Allah Swt. berfirman dalam Al-Qur'an:
Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, maka terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat pedih azab-Nya. (QS al-Hasyr: 7).
Wallaahu a'lam bish shawab.
Oleh: Nilma Fitri, S.Si
Sahabat Topswara
0 Komentar