Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Program Belajar Luar Studi, Masalah Pendidikan Teratasi?

Topswara.com -- Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) telah membawa 11 peserta didik dari Fakultas Agama Islam UMSU ke Phnom Penh, Kamboja pada 13 September 2022 untuk melaksanakan KKN di Kamboja. UMSU bekerja sama dengan lembaga pendidikan yang dikelola komunitas Muslim di Kamboja tersebut. 

Pihak UMSU mengharapkan agar kegiatan ini selain dapat meningkatkan people to people contact antara Indonesia dan Kamboja, juga dapat menjadi kesempatan bagi para peserta KKN untuk memperoleh gambaran mengenai kehidupan warga Muslim Kamboja sekaligus memahami secara lebih dalam mengenai arti toleransi serta moderasi dalam kehidupan beragama atau Washatiyah.

Tidak hanya itu, pada 19 September 2022 Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Prof. Dr. Agussani M.AP melepas mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang lolos dalam Program Indonesian International Student Mobility Award (IISMA) ke Kroasia. 

Partisipasi UMSU dalam Program IISMA merupakan komitmen menyukseskan Program Pemerintah (www.umsu.ac.id). Sebab Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) merupakan bagian dari program belajar atau magang di luar program studi (prodi) yang termasuk dalam kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. 

Selanjutnya dengan program belajar atau magang di luar program studi (prodi)/KKN ini semakin menyebarkan paham liberalisme dikalangan mahasiswa khususnya generasi bangsa. Bahkan pada sisi lain mereka juga akan berinteraksi dengan beragam budaya yang berbeda dengan budaya di Indonesia dan agama mereka (Islam). Inilah yang dikhawatirkan akan mengancam ideologi dan akidah mereka. 

Tentu patut dipertanyakan, seberapa besar mereka mampu memilah budaya yang bertentangan dengan akidah Islam? Sementara, bekal mereka hanyalah pendidikan agama hasil rancangan kurikulum sistem pendidikan sekuler di tanah air. Sebab, profil Pelajar Pancasila usungan kurikulum sistem pendidikan saat ini mandul karena tidak berbasis akidah Islam. 

Hal ini tentu akan menambah problem bagi mahasiswa. Bisa jadi secara teknis mereka mendapatkan tambahan ilmu-ilmu untuk mendukung kompetensinya dan melengkapi lemahnya kurikulum keilmuan di Indonesia, tetapi yang mereka bawa tentu bukan hanya ilmu. Pada tataran ini, yakni ancaman ideologis (mereduksi syariat Islam dan membawa peradaban Barat) adalah hal yang amat mungkin terjadi.

Dan yang lebih krusial adalah jika mereka mempelajari ilmu terkait tsaqafah dan hadharah (kebudayaan dan peradaban) Barat, yang menyangkut sistem politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Bukan tidak mungkin pula, dari mereka ini akan terjadi transfer kurikulum mengikuti kurikulum Barat. 

Begitu pula dengan toleransi dan moderasi beragama yang terus diaruskan kepada mahasiswa dengan tujuan untuk mengatasi paparan radikalisme, maka banyak pihak—tidak terkecuali pemerintah—mengupayakan berbagai langkah dengan mengaruskan moderasi agama ini. Padahal yang menjadi ancaman generasi muda saat ini adalah nilai-nilai kebebasan dari sistem kapitalisme sekuler yang saat ini tengah menguasai dunia, bukan “radikalisme” sebagaimana mereka tuduhkan.

Demikianlah negara yang menerapkan sistem buatan manusia yang mengagungkan kebebasan (berakidah, kepemilikan, berpendapat, dan bertingkah laku), dan menjadikan manfaat sebagai asas. Wajar jika akhirnya lahir generasi yang jauh dari nilai-nilai Islam, hidup serba bebas tanpa aturan tegas. 

Kemudian ide moderasi beragama ini pada dasarnya adalah bagian dari rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam ke tengah-tengah umat yang mendapat warna baru. Ide ini menyerukan bahwa semua agama sama dan menyeru untuk membangun Islam inklusif—Islam yang bersifat terbuka—dan toleran terhadap ajaran agama lain. Padahal, sudah sangat jelas bahwa Allah SWT menegaskan agama yang Allah ridhai hanyalah agama Islam.

Begitu pula misi dan tujuan utama pendidikan tinggi dalam sistem Islam (khilafah) adalah untuk meningkatkan kualitas kepribadian yang sudah terbina sebelumnya di jenjang pendidikan dasar. Di samping itu juga bagi penguasaan ilmu agar bisa memenuhi berbagai bidang kehidupan masyarakat, baik pakar, ilmuwan, juga peneliti yang mampu menyusun perencanaan bagi kemaslahatan hidup masyarakat. 

Pendidikan tinggi juga dirancang untuk melahirkan para politikus pelaksana pemerintahan dan orang-orang yang diperlukan dalam pengelolaan urusan umat dengan kompetensi yang mumpuni, seperti dokter, guru, berbagai manajer, dan sebagainya. Karena itu, pendidikan tinggi dalam Islam tidak berorientasi kerja, apalagi bagi dunia usaha dan industri yang saat ini sangat dominan dalam sistem kapitalisme. 

Lulusan pendidikan tinggi akan mendedikasikan ilmunya untuk memenuhi berbagai kebutuhan bidang di masyarakat. Adapun pekerjaan, itu hanyalah konsekuensi lanjutan dari aplikasi keilmuan yang mereka miliki. Yang lebih penting lagi, akidah Islam menjadi landasan dalam semua penyelenggaraan pendidikan tinggi. Ini akan sangat berpengaruh bagi para lulusan untuk mendedikasikan ilmunya bagi kemajuan peradaban Islam. 

Landasan ini pula yang akan menyeleksi berbagai kerja sama dengan pihak asing. Khilafah tak akan membiarkan pemikiran yang bertentangan dengan akidah Islam masuk melalui jalur pendidikan. Semua bentuk hubungan berdasarkan pada misi dakwah Islam. 

Konsep pendidikan tinggi seperti inilah yang dengan cepat melahirkan sumber daya manusia mumpuni, berkompeten, dan mampu memenuhi semua ruang kebutuhan masyarakat. Ini pulalah yang mampu menopang kejayaan peradaban Islam hingga belasan abad lamanya. Wallahu a’lam. 


Oleh: Halizah Hafaz Hutasuhut, S.Pd
Praktisi Pendidikan
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar