Topswara.com -- Anak menjadi ulama sejatinya merupakan cita-cita yang agung dan mulia bagi setiap orang tua, merupakan cita-cita yang tidak boleh ditawar, harus terwujud dan harus berkomitmen yang tinggi.
Di era millenial cita-cita ini mudah teralihkan dan bergeser, digantikan dengan posisi yang lain, mengingat posisi ulama di alam kapitalisme demokrasi bukanlah posisi yang bergengsi dan dihargai tetapi posisi pinggiran yang tidak boleh mengurusi kehidupan apalagi mengurusi negara.
Kalau toh pun ulama berpolitik maka tempatnya paling tidak hanya menjadi no dua itupun agar dapat mendulang suara dan dipolitisasi. Atau bisa mencalonkan menjadi anggota dewan namun setelah berada di kursi kekuasaan suaranya bungkam tentang kebenaran tentang Islam. Jika ulama tidak sesuai dengan kepentingan kekuasaan maka ulama itu akan dipersekusi dan dikriminalisasi.
Berazam anak kita menjadi ulama sesungguhnya bukanlah pilihan tapi keharusan sebab ulama adalah diantara hamba yang takutnya hanya kepada Allah SWT.
Ø¥ِÙ†َّÙ…َا ÙŠَØ®ْØ´َÙ‰ اللَّÙ‡َ Ù…ِÙ†ْ عِبَادِÙ‡ِ الْعُÙ„َÙ…َاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS. Fathir: 28).
Ulama adalah pemilih rasa takut kepada Allah SWT, karena dia memiliki keimanan yang kokoh, pemilik ilmu dan kekayaan tsaqafah Islam dan senantiasa merasa diawasi oleh Allah SWT (muroqabatullah).
“Ulama adalah orang yang ilmunya menyampaikan mereka kepada sifat takut kepada Allah” kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin.
“Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan” (Badruddin Al-Kinani)
Ulama ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun Quraniyah, dan mengantarnya kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, takwa, dan khasysyah (takut) kepada-Nya” (M. Quraish Shihab).
“Karakteristik esensial ulama adalah iman, ilmu, dan amal, yang semuanya amat mendalam, berbeda dengan orang biasa, serta mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari masyarakat secara kultural” (Mastuhu).
Karena ulama pemilik rasa takut kepada Allah, maka ia mesti memiliki segala ilmu yang terkait apa yang disukai Allah dan segera dia laksanakan dan apa yang dibenci oleh Allah segera dia tinggalkan, bukan sebaliknya atau bukan pula orang yang menyembunyikan kebenaran. Ulama akan takut melakukan dosa baik dosa-dosa kecil maupun dosa-dosa besar.
Bagaimana menanamkan rasa takut kepada Allah untuk anak-anak kita, maka diawali dengan membangun pondasi aqidah Islam yang kokoh diawal kehidupan anak dan harus selesai di usia 6 tahun.
Karenanya pendidikan itu haruslah berbasis akidah Islam dan seluruh yang membangun kepribadian Islam anak harus bersumber dari aqidah Islam. Tsaqafah Islam adalah bekal muthlak yang harus dimiliki anak calon ulama, harus kuat dengan tsaqafah Islam yang terdiri dari ilmu tauhid, fiqih, Al-Qur'an, hadis, shirah, tarikh Muslim, tafsir, ilmu tafsir, mushtholah hadis, ushul fiqih dan fiqih dakwah.
Dengan keluasan tsaqafah Islam tersebut akan muncul rasa takut anak hanya pada Allah saja dan tidak pernah ada rasa takut kepada manusia walau anak akan menangung resiko apapun di tengah-tengah menegakkan kebenaran.
Jalan ilmu dan tsaqafah Islam itu tidak mudah ditempuh oleh anak-anak kita, untuk menghafalkan Al-Qur'an dan menjadikannya sebagai maklumah sabiqah hingga berpengaruh pada kepribadiannya dan mempengaruhi kepribadian orang lain membutuhkan jalan mendaki dan pengorbanan yang tinggi, bahkan mengorbankan rasa rindunya pada orang tua, terpisah karena medalami ilmu.
Tak semua anak mampu melewati ini dan tidak semua anak juga mampu menjaga ilmunya menjaga hafalannya, mampu menjaga kehati-hatiannya dalam ilmu dan amal dan tidak semua anak memiliki keberanian dalam menyebarkan ilmunya dengan dakwah, hadir di tengah-tengah umat menyeru yang makruf mencegah yang mungkar. Dan tidak semua anak setelah berilmu dan shalih secara individu mampu menshalehkan orang lain.
Disinilah komitmen yang tidak boleh melemah yang harus dimiliki orang tua, godaan dunia dan tantangan melihat permasalahan anak tidak boleh membuat mundur mengantarkan anak menaiki mimbar ulama. Sebelum anak menjadi siapa-siapa maka jadilah ulama terlebih dahulu, agar ketika dia menjadi siapapun anak akan senantiasa menjunjung tinggi agamanya[]
Walaahu a'lam bishshawab
Oleh: Ustazah Yanti Tanjung
Pakar Parenting Islam
0 Komentar