Topswara.com -- Lagi dan lagi kita di sodorkan berbagai informasi terkait korupsi. Sungguh miris negeri ini, begitu banyak masalah datang silih berganti yang sampai saat ini belum terpecahkan, dari naiknya harga BBM di tengah turunnya minyak bumi, ditambah lagi korupsi yang menyeret Gubernur Lukas Enembe.
Kasus Enembe yang di tetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi sebesar 1 miliar, kekayaan Lukas Enembe terbilang gubernur terkaya ke enam se Indonesia, di dalamnya terdapat jumlah uang sebesar Rp.33.784.396.870, dengan total tersebut Lukas Enembe tidak memiliki hutang sama sekali atau merupakan total bersih, di manah ia memilik 6 sebidang tanah di Jayapura dengan harga Rp. 13.694.441.000, ia juga memiliki 4 mobil mewah yang bernilai Rp.932.488.600, dengan surat berharga senilai Rp.1.262.252.563. Lukas Enembe juga diketahui memiliki tambang emas di kabupaten Tolikara, Papua, (tribunnews.com, 25/09/2022).
Penangkapan para aparat penegak hukum tentu hal yang sangat disayangkan dalam tatanan pemerintahan. Hal ini menjadi bukti bahwa korupsi di negeri ini telah menggurita hingga menjangkit para petinggi negeri. Hal ini juga memutus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di negeri ini. Bagaimana tidak, bila aparat yang seharusnya menjadi penegak keadilan di negeri ini justru melakukan tindakan korupsi.
Hal ini bukan saja masalah moral individu yang rendah, melainkan minimnya integritas kerja, dan gagalnya pengawasan kinerja dan yang lebih penting dari itu adalah gagalnya sistem demokrasi kapitalis yang kini tengah diadopsi negeri.
Dalam sistem demokrasi ini melahirkan manusia yang menjadikan liberal sebagai pedoman hidupnya, tidak mengenal halal haram, tidak mengenal baik buruknya sesuai tatanan syariat. Demokrasi adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan dan memberikan kebebasan atas dasar HAM kepada manusia. Oleh karena itu, manusia bebas melakukan sesuai kehendaknya, mengambil aturan dan mengadopsinya demi kepentingan pribadi tanpa melihat dampaknya selama keuntungan tersebut berpihak kepada mereka.
Akibat dari kebebasan tersebut maka banyak manusia melangkah sesuai keinginannya semata termasuk menilap uang jika di beri amanah dan jabatan. Sebab tak ada rasa takut dalam diri atas murkah Tuhan karena sistem ini mendukung pemikiran manusia yang jauh dari Tuhannya. Alhasil banyak pejabat yang terlibat dengan korupsi karena tergiur dengan uang yang berlimpah di depan mata, di tunjang pula oleh hukum negara yang tidak memberi efek jera pada pelaku korupsi.
Berbeda dengan sistem Islam, setiap perbuatan harus sesuai syariat Islam. Oleh karena itu, dalam Islam jika ada kasus korupsi maka pemimpin Islam atau yang di kenal dengan khalifah akan melakukan tindakan tegas untuk mencegah atau memberi hukuman tegas bagi para koruptor.
Pertama, saat mengangkat pejabat negara, Khilafah menetapkan syarat adil dan takwa sebagai ketentuan selain syarat profesionalitas. Hal itu akan membantu mereka memiliki self control yang kuat. Pejabat negara juga tidak dibolehkan menerima hadiah dan suap.
Rasulullah berkata, “Laknat Allah terhadap penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud). Tentang hadiah kepada aparat pemerintah, Rasul berkata, “Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Imam Ahmad)
Kedua, khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih yang tidak masuk akal, maka negara bisa mengambilnya.
Ketiga, khilafah menetapkan hukuman yang tegas dan keras, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.
Keempat, pengawasan dari masyarakat. Masyarakat akan turut mengawasi jalannya pemerintah dan menolak aparat yang mengajaknya berbuat menyimpang. Seperti yang dicontohkan khalifah Umar pada awal pemerintahannya menyatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, luruskanlah aku walau pun dengan pedang". Wallahu a’lam bisshawab
Oleh: Sasmin, S.Pd
Pegiat Literasi
0 Komentar