Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Lembaga Peradilan dalam Sistem Demokrasi


Topswara.com -- Kasus penangkapan Hakim Agung Sudrajad Dimyati telah menjadi sorotan kalayak umum. Bermula dari menahan yang dilakukan oleh komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  kepada tersangka Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS). Ivan adalah pihak swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Dan KPK secara keseluruhan telah menetapkan 10 orang tersangka terkait dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA.

Pasca insiden kasus korupsi Hakim Agung Sudrajad Dimyati. Pemerintah melalui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan akan membentuk konsep besar sistem peradilan di Indonesia. Dengan melakukan reformasi hukum peradilan dalam konferensi pers di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Selasa (4/10/2022).

Dalam konsep besar itu akan dibuat integrasi sistem peradilan sehingga fungsi dan batasan kewenangan setiap lembaga hukum bisa diatur lebih jelas. Konsep ini dilahirkan dari hasil Focus Group Discussion (FGD) yang digelar hari ini dengan 29 aktivis, tokoh dan pakar hukum.

Itu baru kasus yang terkuat oleh KPK, yang belum terbongkar ada berapa kasus? Kasus-kasus korupsi berjamaah yang terjadi, menandakan seolah sudah menjadi sesuatu yang lumrah di Indonesia, mirisnya bahkan terjadi di lembaga peradilan dan penegak hukum. 

Inilah gambaran lembaga peradilan dalam sistem demokrasi. Di mana sistem demokrasi ini bagian dari sistem kapitalis. Suatu sistem yang memisahkan agama di dalam rana kehidupan sehari-hari. Agama boleh bergaung di tempat-tempat ibadah saja. Sehingga individunya masyarakatnya menganggap agama sebagai urusan pribadi. Ajaran agama tidak boleh diimpletasikan didalam kehidupan sehari-hari. 

Termasuk, agama juga tidak boleh mengatur urusan peradilan dan hukum. Jadi hukum dibuat berdasarkan kecerdasan akal manusia. Dimana akal manusia itu terbatas, lemah dan terikat dengan syarat kepentingan pribadi. Dapatkah adil dalam menegakkan hukum? Padahal setiap kepala memiliki kepentingan yang berbeda-beda.

Sistem kapitalisme ini juga meniscayakan adanya kaedah tujuan menghalalkan segala cara dan keuntungan menjadi suatu hal utama. Ini sudah menjadi rahasia umum bahwa hukum di negeri ini tumpul ke atas tajam kebawah. 

Misalnya siapa pun yang pro rezim (memberikan keuntungan pada rezim), maka bebas tidak bisa tersentuh hukum seperti Harun masiku, gerombolan para buzer. Jika tersentuh hukum hanya sebagai lips service saja dan endingnya, dapat remisi/pengurangan masa tahanan.

Sebaliknya yang menunjukkan tidak pro rezim langsung disikat, dicari-cari kesalahannya bahkan sebelum ada sidang pengadilan langsung diciduk dimasukan ke sel jeruji. Misal HRS, Gus Nur, Bambang Tri dan yang lainnya. Jika kasusnya mau cepat kelar dan dimenangkan maka berlaku selogan "wani piro?".

Itulah gambaran lembaga peradilan dan hukum dalam sistem demokrasi kapitalis. Apakah ada sistem yang lebih baik? Jawabannya ada. Yaitu sistem Islam. Agar lembaga peradilan dan hukum dalam menjalankan perannya adil dan bebas dari korupsi. Maka sistem Islam (khilafah) akan melakukan beberapa langkah praktis. 

Yang pertama umat/rakyat akan ditanamkan dan dibentuk ketakwaannya oleh negara. Sistem pendidikan Islam akan mencetak generasi yang bersyaksiah (kepribadian) Islam. Sehingga individu memiliki akidah yang kokoh terikat dengan hukum syara dalam kehidupan sehari-harinya maka tidak akan mudah terbujuk melakukan perbuatan kriminal, menyuap ataupun disuap. 

Begitu juga para oknum yang menjabat di lembaga peradilan dan hukum akan melaksanakan amanah tugasnya sesuai tuntunan syariat Islam. Masyarakatnya akan menjalankan kewajibannya melakukan amar makruf nahi mungkar dengan penuh tanggung jawab, jika didapati pelanggaran hukum syara. Maka masyarakat ini akan mencegahnya. 

Kolaborasi antara negara, masyarakat dan individu ini dapat melahirkan lembaga peradilan dan hukum yang adil dan bebas dari korupsi. Wallahu a'lam bishawab.


Oleh: Agung Andayani
Sahabat Topswara
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar