Topswara.com -- Menikah adalah suatu keputusan besar. Di saat itu pula memulai kehidupan baru bersama pasangan yang telah dipilih. Dengan harapan membangun visi misi bersama. Pastinya perjalanan dalam pernikahan tidak selalu mulus. Ada masalah yang akan dihadapi nantinya. Namun bagaimana sikap dalam menjalaninya. Akankah lulus dari ujiannya? Atau malah berakhir dengan rasa kecewa karena tidak sesuai dengan ekspetasi. Misalnya saja adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga hanya karena permasalahan sepele.
Seperti yang dialami oleh MS, warga Desa Sumberrejo, Kecamatan Waway Karya, Lampung Timur. Korban dianiaya oleh sang suami karena tersinggung saat dimintai uang sebesar Rp 100.000. Padahal korban sedang hamil. Namun pelaku tega memukul wajah istrinya hingga memar. Hal ini berdasarkan keterangan dari Kapolres Lampung Timur AKBP Zaky Alkazar Nasution didampingi Kapolsek Waway Karya AKP Catur Hendro yang berhasil melakukan penangkapan terhadap pelaku (Lampung77.com, 14/10/2022).
Tak jauh berbeda dengan tindak kekerasan yang terjadi di Selat, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Pelaku berinisial AW telah menganiaya istrinya dengan tabung gas 3 kilogram. Bermula dari keributan di dapur, kemudian pelaku mencekik korban hingga terjatuh. Sehingga korban mengalami luka robek di dahi dan dilarikan ke rumah sakit. Akhirnya korban melaporkan kejadian tersebut ke polsek terdekat dan pelaku berhasil diamankan (Liputan6.com, 20/10/2022).
Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukan cerita baru di sekitar lingkungan masyarakat. Justru tiap tahun nya persentase kasusnya meningkat. Sebenarnya istilah KDRT merupakan konsep lama yang telah digaungkan oleh kaum feminis. Mereka berhasil masuk dalam ranah perundang-undangan, yaitu UU No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Namun adanya regulasi tersebut tak membuat permasalahan berakhir. Masalah baru bertambah. Misalnya jika seorang istri melaporkan suaminya karena KDRT dan kemudian pihak suami berhasil dihukum pidana. Maka, apakah dinyatakan usai masalah yang dihadapi pihak perempuan? Tentu saja tidak.
Tugas menafkahi menjadi berpindah tangan pada sang istri. Akhirnya istri terpaksa harus keluar rumah untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarga. Akibatnya, anak-anak jauh dari pengasuhan dan kasih sayang orang tuanya. Pendidikan anak tergadaikan. Nasib generasi pun semakin jauh dari pembentukan karakter yang tangguh dan cemerlang, yang seharusnya menjadi tanggung jawab orang tua.
Begitulah potret perempuan akan dikelilingi berbagai masalah jika tidak mengetahui akar permasalahan dan solusi yang tepat dalam menyelesaikannya.
Hingga saat ini, kaum feminis terus menggulirkan opini bahwa akar masalah KDRT karena ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Kaum perempuan dipandang seolah di bawah kekuasaan kaum laki-laki. Kaum perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah dan akan terus mengalami penindasan. Kemudian merasa telah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Dari sinilah, kaum feminis memberontak dan menuntut agar perannya disejajarkan dengan laki-laki. Baik dalam urusan rumah tangga maupun lainnya. Dengan harapan tidak akan memunculkan lagi tindakan kekerasan yang menimpa perempuan. Sayangnya, pemikiran tersebut malah keliru. Banyak penerapan aturan yang diabaikan. Agama tidak dijadikan tolak ukur dalam penyelesaian.
Mengapa demikian? Terus berulangnya kasus KDRT lebih disebabkan pada sistem Kapitalisme sekular yang telah bercokol lama di negeri ini. Hingga akhirnya masyarakat pun dalam menjalani kehidupannya tidak mau menegakkan aturan Allah.
Wajar saja jika peran suami istri dalam rumah tangga tidak dijalankan sesuai fitrahnya. Hak dan kewajiban disalah artikan. Seorang perempuan yang harusnya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga justru terabaikan. Laki- laki meremehkan kewajibannya menafkahi keluarga.
Lebih dari itu, ketaatan istri pada suami mulai berkurang. Belum lagi gaya hidup yang hedonis, semua serba wah mendorong perempuan untuk mencari penghasilan sendiri. Selain itu, karena suami tak bisa memenuhinya, maka alternatif lain tidak sedikit istri yang tega berselingkuh demi memenuhi kebutuhan hidupnya yang glamor. Ditambah keadaan hidup yang semakin sulit karena sistem ekonomi yang dikuasai para kapitalis. Hingga para suami banyak yang kesulitan mencari nafkah. Maka timbullah kekacauan bukan keberkahan.
Begitu banyak faktor yang melatarbelakangi masalah kasus KDRT. Oleh karena itu, butuh persiapan dan pemahaman sebelum memasuki perjalanan rumah tangga yang panjang. Bukan hanya finansial, tetapi ilmu dan emosional juga dibekali dengan agama. Sehingga suami akan mampu menjadi imam, tidak akan menelantarkan istri dan anaknya, tidak bertindak kasar, bahkan akan melindungi keluarganya dari api neraka.
Sebagaimana Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (TQS. At-Tahrim: 6).
Islam begitu sempurna dalam mengatur seluruh masalah kehidupan, tak terkecuali masalah rumah tangga. Dalam artian, islam memiliki pandangan khas dalam menyiapkan solusi tuntas terhadap berbagai masalah yang terjadi di dalam hubungan suami istri.
Tujuannya agar tidak menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga. Islam telah menetapkan hubungan suami istri adalah tentang ikatan persahabatan. Di dalamnya dibumbui dengan kasih sayang, ketenangan, kedamaian, ketenteraman satu sama lain.
Demikianlah Islam memberikan hak yang adil kepada suami istri. Suami memiliki hak atas istri, begitu juga istri memiliki hak atas suami. Karena Islam telah memerintahkan pergaulan yang baik (makruf) antara suami dan istri. Meskipun ada kalanya terjadi permasalahan yang membuat suasana kurang baik. Untuk itu Allah menetapkan kepemimpinan rumah tangga pada suami atas istri.
Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap istri-istrinya. Beliau bergaul dengan cara yang baik. Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari al-Hakim dan Ibnu Hibban dari jalur Aisyah ra. “Orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik kepada keluarga (istrinya) dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluarga (istri).”
Adapun jika suatu ketika seorang istri membangkang (nusyuz) pada suaminya, maka suami berkewajiban menasihati dan mendidik istrinya dengan penuh kasih sayang. Dalam hal ini, suami terus membimbing, mengatur, dan memelihara urusan-urusan rumah tangga untuk senantiasa taat pada aturan Allah.
Sebagaimana firman-Nya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (TQS An-Nisa: 4).
Islam membolehkan suami memberi sanksi atau pukulan ringan pada area yang tidak membahayakan dan menyakiti istrinya. Bukan pada area yang sensitif, karena islam melarangnya. Itupun jika istri telah melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan. Sebab suami adalah pihak yang bertanggung jawab (qawwam) atas pengaturan dan pemeliharaan urusan rumah tangganya agar tetap berada dalam jalur syariat. Selain itu, suami mempunyai kewajiban untuk menjaga, melindungi istri dari berbagai ancaman yang membahayakan.
Namun, jika terjadi pembangkangan pada istri yang melampaui batas. Bukan berarti membolehkan tindakan fisik tanpa hak padanya. Islam akan memandang sebagai jarimah (kriminalitas). Negara pun akan menetapkan sanksi terhadapnya sesuai dengan ketentuan syariat-Nya. Bentuk sanksinya bisa berupa uqubat, hudud, ta’zir, jinayah dan mukhalat. Karena Islam tak akan membiarkan perilaku kriminal dalam lingkup rumah tangga.
Maka perlu menghadirkan pihak ketiga dari keluarga suami istri dalam mendamaikannya. Jika tetap tidak mampu menyelesaikannya, serta tidak ada ruang untuk mempertahankan kehidupan suami istri tersebut, maka jalan yang ditempuh adalah dengan cara talak (perceraian).
Allah berfirman, “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha bijaksana” (TQS An-Nisa: 130).
Tentunya penerapan hukum Islam secara kaffah dalam keluarga tidak bisa hanya diwujudkan oleh individu-individu keluarga muslim saja. Melainkan juga butuh kontrol dari masyarakat dan peran negara. Dengan begitu akan tercipta kehidupan yang sejahtera, aman, dan damai. Keluarga muslim akan senantiasa taat pada syariat karena didukung lingkungan yang kondusif dari masyarakat dan negara.
Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh: Yeni Purnamasari, S.T
(Muslimah Peduli Generasi)
0 Komentar