Topswara.com -- Kesenjangan hidup antara si kaya dan si miskin di dalam sistem ekonomi kapitalisme terpampang jelas di depan mata. Dimana kita tentu dapat melihatnya pada fakta belum lama ini.
Ya, saat World Population Review menetapkan Indonesia sebagai negara termiskin di dunia urutan ke-73. Lalu kemudian gfmag.com menetapkan Indonesia sebagai negara paling miskin urutan 91 di dunia pada tahun 2022 (cnnindonesia.com, 30/09/2022).
Barang mewah yang harganya ratusan juta rupiah justru laku keras di tanah air. Ya, di tengah image negara miskin, kendaraan jenis Range Rover yang harganya mencapai Rp5,9 miliar habis terjual (oto.detik.com, 27/09/2022). Kok bisa, katanya kita negara miskin?
Ironi Kapitalisme
Inilah, ironi kita hari ini. Kemiskinan bertambah, tetapi di satu sisi kaum yang bermodal makin berjaya. Yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya.
Maka tak ayal, sekalipun Indonesia ditetapkan sebagai negara termiskin di dunia, orang-orang kayanya mampu membeli barang mewah yang nilainya bahkan mencapai puluhan hingga ratusan juta sekalipun. Inilah hebatnya sistem kapitalisme mampu mengkayakan segelintir elit dan juga memiskinkan semiskin-miskinnya kaum papah. Mengapa semua ini bisa terjadi?
Hal ini tentu tak lepas dari paradigma dasar yang membangun sistem ekonomi ini sendiri. Sebagaimana kita ketahui, sistem kapitalisme adalah tatanan kehidupan yang berbasis materiali yang hanya berpihak kepada mereka yang bermodal saja. Dan menitikberatkan pada pencapaian laba atau keuntungan (baca: materi). Sistem ini lahirkan untuk mengakomodir dan memuaskan nafsu para pemilik modal.
Bagi mereka yang memiliki modal besar, maka kesempatan untuk survive dalam kehidupan sangat terbuka lebar. Sebab mereka memiliki akses terhadap sumber-sumber pendapatan yang berasal dari harta kepemilikan umum yang dalam sistem kapitalisme telah diprivatisasi. Dimana pengelola sepenuhnya berada di tangan swasta, yakni mereka yang bermodal saja.
Kaum papah yang tak punya apa-apa tentu tak bisa berbuat banyak. Mereka hanya bisa pasrah dengan apa yang ada. Tak pelak, mereka akan semakin terpinggirkan dari kehidupan.
Selain itu, di dalam aturan main sistem ekonomi kapitalisme, orang-orang kalangan kelas bawah harus tetap ada, sebab mereka ini laksana oksigen yang akan selalu memberi kehidupan sekaligus menjaga kelangsungan pundi materi dari kaum kapitalis. Maka tak heran bila kita akan menyaksikan kasus kemiskinan yang tiada berkesudahan.
Padahal, menurut Zaid Ivan Salam di dalam bukunya yang berjudul Jihad dan Kebijakan Politik Luar Negeri (2003) mengatakan, bila memang sistem kapitalisme itu sungguh-sungguh hendak menghapus kemiskinan maka sebenarnya bisa saja.
Pasalnya, sebagaimana ia melansir sebuah hasil riset, hanya butuh 13 miliar dollar AS untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sanitasi di seluruh dunia. Dan angka ini menurutnya tak seberapa jika dibandingkan dengan pengeluaran pertahun orang-orang Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam membeli parfum.
Tak hanya itu, ia juga mengatakan bahwa kekayaan dari 200 pengusaha terkaya di Barat dapat membantu 582 juta orang yang tinggal di 43 negara miskin di dunia. Luar biasa. Betapa lebarnya jurang ketimpangan ini!
Sayang, Barat tetap tak bergeming. Kemiskinan tetap saja ada. Karena memang mereka ini adalah pasar bagi kaum kapitalis raksasa. Miris bukan? Inilah ironi sistem kapitalisme hari ini.
Kesimpulan
Jika kapitalisme membuka kran kemiskinan, Islam membawa paradigma dan pandangan hidup yang berbeda. Alih-alih membiarkan kemiskinan, Islam justru membenci kemiskinan. Hal ini dapat kita lihat dari ungkapan Ali bin Abu Thalib yang berbunyi, "Andai kemiskinan itu adalah makhluk maka aku adalah orang pertama yang akan membunuhnya."
Selain itu, dalam QS Al-Hasyr ayat 7, Allah swt mengingatkan agar janganlah harta-harta itu berputar hanya di kalangan orang-orang kaya saja.
Dan dalam sebuah riwayat hadis Nabi SAW. juga bersabda pentingnya peduli dengan sesama sebagai bentuk kepedulian agar yang mampu dapat membantu mereka yang kekurangan.
"Penduduk negeri manapun yang berada pada pagi hari, sementara di tengah mereka ada orang yang kelaparan, maka jaminan Allah telah lepas dari mereka." (HR Ahmad, al-Hakim dan Abu Ya'la)
Dalil syarak di atas menunjukan bahwa Islam tak akan bersahabat dengan kemiskinan. Dan semaksimal mungkin memeranginya. Bagaimana caranya? Maka distribusi harta harus baik dan terarah. Tak boleh ada kebijakan privatisasi atas harta-harta milik umum dan negara yang menjadi sumber kehidupan dari khalayak ramai.
Setiap individu juga dituntut peka dan peduli dengan sesama tatkala memiliki kelebihan harta maka dianjurkan untuk bersedekah membantu dan meringankan beban penderitaan saudaranya. Bukan justru pamer dan buang-buang makanan di saat yang lain kekurangan.
Kita tentu dapat mencontoh sikap Umar ra yang enggan makan enak di tengah kasus kelaparan yang melanda rakyatnya. Bahkan Umar ra pernah sekali menegur sang Anak yang sedang memakan semangka dengan ucapannya, "Celakah wahai anak Amirul mukminin yang memakan semangka di tengah umat Nabi Muhammad kelaparan."
Umar menegur anaknya, sementara sang Anak membeli semangka bukan dari uang negara. Tetapi, demikian berempatinya Umar hingga satupun anggota keluarga ia larang untuk makan enak di tengah paceklik yang tengah melanda rakyat kebanyakan. Inilah sosok pemimpin yang penuh empati.
Tentu, di dalam lingkaran kehidupan kapitalisme seperti hari ini rasa empati nihil adanya. Karena dorongan besar untuk meraih materi. Maka setiap orang saling berkompetisi dalam meraih apapun dalam hidup. Membantu orang lain sama dengan memiskinkan diri sendiri. Inilah ironi buruknya kehidupan di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Wallahu'alam bishawab
Oleh: Aina Syahidah
Sahabat Topswara
0 Komentar