Topswara.com -- Gaji tinggi tidak menjamin seseorang merasa puas dan terbebas dari sifat keserakahan. Hal juga berlaku pada orang nomor satu pemegang peradilan di negeri ini.
Kasus dugaan suap yang menjerat hakim agung non-aktif, Sudrajad Dimyati, dan hakim yustisial/panitera pengganti Mahkamah Agung (MA), Elly Tri Pangestu, 2 orang ASN yang berada dalam lingkup MA dan sejumlah lawyer terkena OTT pada tanggal 21/9 lalu.
Usut punya usut Sudrajad Dimyati diduga telah menerima dana suap sebesar Rp. 800 juta dari kasus yang ditanganinya terkait pengurusan kasasi gugatan Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Dari OTT tersebut, KPK mengamankan uang sejumlah 205.000 dollar Singapura. Uang tersebut dibagi-bagi kepada sejumlah ASN dan hakim (kompas.com, 29/9/2022).
Jika kita telisik, sebenarnya berapa jumlah gaji berikut tunjangan yang didapatkan oleh para pejabat atau hakim MA? Dari lansiran Kompas.com (29/9/2022) disana disebutkan bahwa berdasarkan PP Nomor 55/2014, hakim agung di MA dan hakim konstitusi mendapatkan tunjangan mencapai Rp 72,8 juta.
Sementara itu, ketua MA dan Mahkamah Konstitusi mendapat Rp 121,6 juta. Jumlah ini diluar dari tunjangan dari kasus yang ditangani bahkan lebih besar tergantung berat/ringannya kasus yang ditangani.
Yang menggelitik bagi kita, ternyata insan penegak hukum dinegeri ini sudah semakin ternoda oleh segelintir orang. Belum usai kasus yang menimpa FS sebagai penegak hukum, kini peradilan pun ikut tercoreng akibat OTT KPK ini. Hari ini rakyat Kembali harus sadar dan membuka mata.
Jika, penegak hukum dan pemutus keadilan saja melakukan tindak kriminal dan aksi penyelewengan hukum, pantaskah kita untuk mempercayai keadilan di negeri ini?
Mengapa yang melakukan tindak kriminal justru mereka orang-orang yang memiliki jabatan? Apakah gaji tinggi tidak menjamin kesejahteraan mereka?
Korupsi Menggurita Di Sistem Kapitalisme
Hakim MA tertangkap OTT, menjadi indikasi betapa menggurita korupsi di negeri ini bahkan sudah menjangkiti penegak keadilan di tingkat tertinggi. Mahfud MD pun meyakini bahwa jumlah hakim agung yang melakukan korupsi lebih dari satu.
Senada dengan Mahfud MD, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menganggap bahwa fenomena mafia peradilan ini sudah menjadi rahasia umum. Jika mau diselami lebih dalam, kita akan melihat jumlah kasus yang lebih besar, kata Feri kepada pada Kompas.com, Jumat (23/9/2022).
Fenomena pejabat korupsi ibarat gunung es, yang muncul ke permukaan. Memang sudah banyak yang terungkap namun perlu disadari bahwa korupsi di negeri ini masih menjadi problem utama dan masih menggejala di negeri ini.
Korupsi tumbuh subur dinegeri ini imbas dari tidak adanya sanksi tegas dan pemiskinan secara struktural bagi para pelakunya. Negara hukum, namun tidak taat hukum adalah gelar yang patut disematkan di negeri ini, banyak para pejabat dan insan penegak hukum justru tersandung kasus korupsi.
Sesungguhnya problem korupsi adalah problem secara sistemik dan cacat bawaan sistem ini sendiri, kehadiran lembaga anti korupsi bukan malah membuat ciut para koruptor berdasi, akan tetapi jumlahnya semakin banyak jumlahnya mulai pejabat sampai hakim juga ikut terjaring OTT.
Penyebab menggurinya kasus korupsi karena demokrasi membuka peluang bagi koruptor dikarenakan tidak adanya standar baik dan buruk juga terpuji dan tercela yang ada hanya uang yang berbicara dan berkuasa, siapa yang punya uang dialah yang pemenangnya meski secara hukum dia terbukti salah.
Hukum buatan manusia justru menjadikan manusia semakin liar dalam artian melanggar aturan yang telah dibuat dan ditetapkan oleh mereka sendiri. Sungguh dibutuhkan perubahan hukum yang mendasar dan menyentuh akar. Korupsi terjadi bukan karena niat, tapi ada kesempatan juga kewenangan.
Islam dan Pemberantasan Korupsi
Sebagaimana yang dicontohkan khalifah Umar bin Khattab untuk menyelesaikan kasus korupsi dengan membuat kebijakan agar kekayaan para pejabatnya dihitung sebelum dan sesudah menjabat, jika ada selisih positif, maka dilarang untuk mengambil kelebihan gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan menunjuk pengawas khusus yang mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi kekayaan para pejabat.
Berdasarkan laporannya, Umar kemudian membagi kekayaan Abu Hurairah(gubernur Bahrain,) Amru bin Ash (Gubernur Mesir), Mali’ bin Amr Al- Khazai (gubernur Makkah dan lain-lain. Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik antara jabatan dan kepentingan muamalahnya
Secara garis besar bagaimana aturan Islam mencegah aparatur negara melakukan korupsi, yaitu pertama, negara memberikan gaji yang memadai kepada para aparaturnya, dengan begitu gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder hingga tersier mereka.
Kedua, dalam dengan katanya syarat perfeksionalitas, dengan begitu, mereka memiliki self control yang kuat.
Ketiga, untuk mengetahui apakah mereka melakukan korupsi atau tidak khilafah juga menetapkan kebijakan perhitungan kekayaan mereka sebelum dan sesudah menjabat, jika ada kelebihan harta yang tidak dapat dijelaskan darimana asalnya maka dianggap bahwa pejabat tersebut melakukan korupsi.
Keempat, khilafah juga menerapkan hukuman yang berat, bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk, hingga hukuman mati, inilah cara yang dilakukan oleh Islam untuk mencegah korupsi. Wallahu A’lam Bishawab.
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Sahabat Topswara
0 Komentar