Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hakim Agung Terseret OTT, Mimpi Pemberantasan Korupsi Hanya Ilusi


Topswara.com -- Wabah korupsi masih saja berkembang di Indonesia, tak ada habis-habisnya para pelaku korupsi terus melakukan tindakan yang merugikan rakyat dan negara. Seperti yang beberapa pekan yang lalu kasus yang menimpah Mahkamah Agung (MA) yaitu merupakan penegak keadilan tertinggi di Indonesia. 

Sebagai lembaga yang menjalankan peradilan kasasi, keputusan hukum MA adalah yang paling final. Oleh karenanya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, MA harus adil, tepat, dan benar.

Namun apa yang terjadi pada realitasnya jauh panggang dari pada api para penegak hukum di negri ini tidak menjalankan apa yang sudah menjadi fungsinya. Kasus OTT yang menjerat MA Ini adalah kali pertama sepanjang sejarah Indonesia seorang hakim agung kena operasi tangkap tangan atau OTT. 

Sudrajad Dimyati ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Hakim Agung Kamar Perdata itu diduga menerima uang pelicin dalam sengketa perdata Koperasi Simpan Pinjam atau KSP Intidana.

Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 10 orang dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, semakin mencoreng dunia peradilan. Dari sepuluh orang tersebut, satu di antaranya merupakan Hakim Agung, yakni Sudrajad Dimyati. Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan.

Kendati Sudrajad Dimyati jadi hakim agung pertama yang tertangkap atas dugaan menerima duit haram, kasus rasuah di MA bukanlah tidak pernah terjadi. Termasuk kasus Sudrajad Dimyati, setidaknya ada lima kasus suap yang berhasil dibongkar KPK, yang menenteng nama Mahkamah Agung.

Peradilan di Indonesia semakin hari semakin memprihatinkan menambah daftar panjang ketidakpercayaan dan kekecewaan masyarakat terhadap  penegakan hukum di negri ini. 

Membuktikan realitas Penerapan hukum dalam sistem Demokrasi tidak dalam keadaan baik-baik saja, banyaknya ketimpangan sosial, ketidakadilan, suap menyuap jual beli jabatan dan keadilan, KKN dan banyak lagi yang lainnya. Semua ini terjadi karena penerapan hukum yang tidak berbasis syari'at Islam sehingga banyak ditemukan banyaknya kecacatan keadilan.

Jika uang dijadikan segala-galanya untuk naik kekuasaan, tak ayal ini mengonfirmasi bahwa sistem politik demokrasi begitu korup. Hasilnya, tumbuh subur praktik korupsi dengan ragam caranya. Penyelewengan kekuasaan membuka ruang untuk suap, terutama kaitannya dengan pengurusan anggaran, pengesahan dan pembahasan anggaran. Praktik korupsi dan suap tak hanya terjadi dalam legislatif, tetapi juga menyasar eksekutif dan yudikatif.

Istilah tak ada makan siang yang gratis atau ada ubi ada talas, ada budi ada balas menjadi sebuah standar dalam politik, pada saat  dukungan dan logistik itu turun ke calon maka ada itu akan menjadi sebuah catatan pada saat Pilkada selesai, semuanya ada hitungan, semuanya ada nilainya.

Posisi sang pemenang akan selalu menjadi dilematis dan cenderung kompromi kepada para pengusaha pendukung walau harus menabrak hukum demi politik balas budi. Ditambah lagi penanganan korupsi masih terlalu rentan di manipulasi oleh oknum-oknum yang memiliki modal.

Jika kasus itu terkait dengan para pihak, baik dari partai politik, kerabat keluarga maupun pengusaha, yang memiliki hubungan atau kedekatan dengan penguasa, KPK maupun lembaga penegak hukum lainnya ternyata bersikap lamban, bahkan cenderung tidak melanjutkan proses penanangannya. Mana kasus yang diproses dan mana yang tidak diproses, sepertinya sangat tergantung pada “kesepakatan” di antara pihak yang terlibat dalam kasus korupsi dan para penegak hukum.

Membasahi korupsi dalam sistem Demokrasi hanya fatamorgana saja, sanksi yang seharusnya memberikan efek jerah sama sekali tidak didapatkan. Hanya sistem Islam lah satu-satunya harapan yang mampu memberantas praktik-praktik korupsi.

Karena itu, sanksi untuk khaain adalah sanksi takzir, yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa dari yang paling ringan seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Tekniknya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman takzir ini disesuaikan dengan berat ringan kejahatan yang dilakukan.

Tegasnya aturan dalam khilafah akan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi, kalaupun ada yang tetap melakukan korupsi maka akan di hukum dengan tegas dan menimbulkan efek jera baik bagi pelaku maupun bagi pegawai negara lainnya. Dan tentu saja sanksi ini akan dijalankan tanpa tebang pilih dan tawar menawar.

Demokrasi adalah sistem rusak yang mematikan hati nurani dan menyuburkan korupsi. Masih berharap pada demokrasi?

Wallahu a'lam Bishshawwab



Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar