Topswara.com -- Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan telah terjadi darurat kekerasan terhadap anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat setidaknya ada 11.952 kasus kekerasan anak yang tercatat oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) sepanjang tahun 2021. Menteri PPPA Bintang Puspayoga menyebutkan, dari jumlah tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh anak-anak adalah kekerasan seksual yaitu sebanyak 7.004 kasus (kompas.com).
Angka ini merupakan fenomena gunung es dimana kenyataannya jauh lebih banyak dibanding angka yang tercatat. Miris! Lebih parah lagi, anak tidak hanya menjadi korban namun juga pelaku.
Perlu resep mujarab untuk mengatasi penyakit ini. Resep yang diambil dari Risalah Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai risalah terakhir untuk umat manusia yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan sebagai penyelamat manusia dari kerusakan, kenistaan dan kebodohan.
Sebagaimana termaktub dalam QS. Al Anbiya’ ayat 107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Dan jika kita ingin menyembuhkan masyarakat kita dari maraknya kekerasan terhadap anak ini, selayaknyalah kita mencari obatnya dengan yang Allah subhanahu wa ta’ala tuntunkan.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya: “Wahai manusia!Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57).
Bukannya tidak berupaya, pemerintah melalui DPR telah mengeluarkan beberapa undang-undang diantaranya UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO), UU Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), UU Perlindungan Anak, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ditambah sejumlah peraturan pelaksananya.
Kepala Pusat Perencanaan Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Djoko Pudjirahardjo menjelaskan sejumlah tantangan dan kendala dalam penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak, yakni ego sektoral di pemerintah pusat, lemahnya koordinasi penanganan kasus perempuan dan anak oleh pemerintah daerah, terdapat tumpang tindih kewenangan dalam internal maupun eksternal lembaga penyelenggara perlindungan perempuan dan anak di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, belum teringrasikannya data antara para pemangku kepentingan perlindungan perempuan dan anak, serta ketersediaan dukungan anggaran masih belum optimal dan belum menjadi prioritas (www.kemenpppa.go.id).
Apabila ditelaah, ada bagian penting yang tidak tersentuh, yakni pangkal mula terjadinya kekerasan, baik itu kekerasan fisik, seksual, penelantaran dan kekerasan ekonomi (dipaksa bekerja) dan lainnya. Sebagai contoh kekerasan seksual atau perkosaan terjadi sebagai pelampiasan syahwat yang tidak terkendali.
Pembangkit naluri seksual yang meluas dan mudah diakses dalam sistem yang netral akan agama (Islam) saat ini ditambah pemantiknya seperti disharmoni dengan pasangan, kemiskinan dan sebagainya membuat seseorang gelap mata melakukan tindakan amoral. Agama di iklim kapitalisme-liberal hari ini hanya menjadi kesadaran individual yang tidak diaruskan tersistem oleh negara.
Disayangkan, negara membiarkan berbagai bentuk pornografi atau tontonan-tontonan yang kental dengan nilai-nilai materialistis, hedonis dan unfaedah sebagai konsekuensi negara demokrasi yang mesti menjamin kebebasan rakyatnya. Namun tidak bebas dari berujar tentang agama dalam tataran aturan kehidupan bermasyarakat.
Padahal jika kita berpaling dari peringatan Allah subhanahu wa ta’ala, kesempitan hiduplah yang kita alami.
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
”Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thoha: 124)
Paradigma perlindungan terhadap anak adalah melaksanakan perintah Allah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat- malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Rasulullah SAW bersabda: “Rabbmu kagum dengan pemuda yang tidak memiliki shobwah,” (HR. Ahmad) yaitu pemuda yang tidak memiliki kecenderungan untuk bermaksiat.
Negara sebagai junnah (perisai) dan ra’in (penanggungjawab) diperintahkan oleh Allah untuk melindungi dan menjaga warganya dari segala bahaya, kerusakan maupun kekurangan. Penerapan syariat Islam yang kaffah akan menjadi wahana edukasi bagi seluruh rakyat. Karena pengarusan ketaatan kepada Allah yang dilakukan oleh negara akan menggiring bahkan membentuk manusia-manusia di dalamnya berperilaku taat.
Para orang tua akan terdidik untuk menyayangi anak-anak mereka dengan benar menjaga dari terjerumus kepada maksiat. Bahkan orang yang hendak berbuat jahat akan malu untuk melakukannya sebab ia akan melawan arus keshalihan masyarakatnya.
Sungguh besar ganjaran pahala bagi pemimpin yang mampu menciptakan suasana imani seperti ini. Karena "Siapa saja yang menunjukkan kepada kebaikan kemudian diikuti orang lain maka ia akan mendapat aliran pahala dari setiap orang yang mengikutinya." (HR. Muslim no.1893)
Sebaliknya, apabila negara (pemimpin) menumbuhsuburkan kerusakan dan membuka pintu-pintu kemaksiatan dengan mengaruskan paham kebebasan, sekularisme dan materialisme ia akan mendapat aliran dosa dari orang yang melakukan kejahatan itu.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya, “Siapa yang mengajak kepada kesesatan, maka dia mendapat dosa, seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak dikurangi sedikitpun.” (HR. Muslim)
Sungguh rugi pemimpin yang seperti ini. Sudahlah ia lelah di dunia, kelak di akhirat akan mendapat siksa berlipat. Na’udzubillah. Di samping itu negara juga akan memasukkan topik parenting, tarbiyatul awlad, fikih rumah tangga dan topik penting lainnya ke dalam kurikulum pendidikan, sehingga sejak dini generasi sudah memahami kewajibannya.
Lebih dari itu, negara akan memberlakukan sanksi apabila terjadi tindak kejahatan. Kejahatan (jarimah) dlm pandangan Islam adalah segala tindakan yang melanggar syariat Allah. Adapun sarana prasarana seperti tempat bermain, fasilitas umum yang kondusif, dan seterusnya, akan terbentuk dengan sendirinya atau disediakan oleh negara sebagai bagian dari pelayanan kepada masyarakat umum.
Sistem kapitalisme yang diadopsi negara justru membuat negara tidak berdaya melayani rakyatnya sebab potensi dan modal untuk mengurus rakyat dikuasakan kepada para kapital. Bagaimana para orang tua akan lapang dan berkualitas dalam memberi kasih-sayang dan perhatian kepada anak sementara mereka harus berjibaku mengais rupiah agar bisa memenuhi kebutuhan hidup yang kian hari kian berat.
Kaum perempuan (kaum ibu) harus memikul beban ganda akibat sistem ini. Tidak sedikit orang tua yang mempekerjakan anaknya atau membiarkan mereka mengemis di jalanan. Di mana perlindungan terhadap anak kalau seperti ini? Walhasil, anak Indonesia membutuhkan sistem layak anak sebagai penyelamatan terhadap generasi negeri ini.
Oleh: Munajah Ulya
(Pemerhati Isu Keperempuanan dan Anak)
0 Komentar