Topswara.com -- Memegang amanah sebagai pejabat memang bukan perkara mudah, apalagi di tengah sistem dan gaya hidup yang mendukung untuk berbuat khianat. Salah satu bentuk khianat seorang pejabat adalah korupsi, yakni memperkaya diri sendiri dengan cara melanggar undang-undang.
Meski KPK terus beraksi, jeruji besi pun setia menanti, nyatanya korupsi terus terjadi. Rekening gendut pejabat telah mafhum diketahui publik di tengah derita rakyat yang terus mengencangkan ikat pinggang agar bertahan hidup. Berita pun datang dari timur Indonesia yang menyebutkan gubernur Papua tersangkut kasus korupsi penerimaan gratifikasi sebesar 1 Milyar. Belum lagi rekening gendut puluhan milyar miliknya tentu menimbulkan tanya dari mana berasal? (Tribunnews.com, 25/09/2022).
Sang gubernur pun diketahui sering bermain judi untuk refreshing menghilangkan penat. Keindahan alam Raja Ampat dan kepak sayap Cenderawasih ternyata tak cukup untuk menyegarkan pikiran sang gubernur. Pantaskah kiranya seorang pemimpin berperilaku demikian ?
Papua Tanah Surga
Papua adalah daerah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Tambang, hutan dan keindahan alamnya adalah potensi pendapatan yang besar. Belum lagi dana Otsus trilyunan rupiah yang digelontorkan pemerintah seharusnya mampu untuk menyejahterakan rakyat Papua.
Apa mau dikata nyatanya penduduk Papua masih tertinggal dibanding daerah lainnya di Indonesia. Kemiskinan, kebodohan, kurangnya akses kesehatan bahkan situasi keamanan yang belum stabil masih menjadi keseharian di sana, sebagaimana yang diceritakan oleh Iqbal Aji Daryono dalam bukunya Berjuang di Sudut-Sudut Tak Terliput. Dalam kondisi demikian ternyata pemimpinnya justru hidup hedonis dengan mengkonsumsi barang-barang mewah seperti mobil dan jam tangan senilai ratusan juta rupiah, sungguh bagaikan langit dan bumi.
Budaya Korupsi
Korupsi tak hanya terjadi di Papua. Pejabat-pejabat daerah yang lain pun banyak terjerat kasus korupsi. Menurut catatan KPK (2022), terdapat 122 kasus korupsi yang melibatkan bupati/walikota/wakilnya (dari 416 kabupaten/kota). 21 kasus melibatkan gubernur (dari 34 provinsi).
Korupsi merupakan "penghasilan sampingan" bagi para pejabat. Amanah menjadi barang mewah yang tak terjangkau. Sistem demokrasi meniscayakan pejabat untuk korupsi, biaya kontestasi yang telah dikeluarkan saat Pemilu tentu harus tertutupi, apalagi jika tidak dengan korupsi atau menggunakan kewenangannya untuk membagikan proyek-proyek kepada siapa saja yang telah menjadi sponsornya.
Pemimpin Sejati
Pemimpin sejati hanya akan terlahir dari sistem yang baik. Yang akan melahirkan pemimpin yang amanah untuk menjalankan aturan terbaik yang mensejahterakan.
Pemilihan pemimpin harus dibuat sesederhana mungkin dengan biaya rendah agar siapa saja yang berkualitas bisa bersaing bukan hanya untuk orang-orang kaya atau boneka cukong. Sehingga ketika terpilih akan fokus bekerja untuk rakyat bukan fokus mengembalikan modal politik.
Pemimpin sejati harus berintegritas tinggi, sanggup memikul amanah, dan sadar bahwa dia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya tidak hanya pada rakyat tapi juga pada Allah SWT. Berpegang teguh pada prinsip halal haram, menjauhi korupsi dan sifat khianat lainnya.
Selain pemimpin yang amanah, tak kalah penting adalah aturan yang ditegakkan haruslah yang terbaik. Adakah aturan terbaik selain aturan dari Tuhan semesta alam yang mengetahui segala sesuatu? Aturan yang adil dan menyejahterakan, itulah syariat Islam.
Dalam Sistem Ekonomi Islam, kekayaan alam yang melimpah seperti tambang dan hutan adalah milik umum sehingga tidak boleh diserahkan kepada individu atau korporasi. Hanya negara yang boleh mengelolanya sebagai wakil dari rakyat.
Hasilnya pun dikembalikan pada rakyat tanpa hitung-hitungan untung dan rugi ala pedagang. Tak ada celah bagi pejabat untuk memberikan pengelolaan SDA bagi kroni-kroninya dan tertutup celah bagi pengusaha untuk menyuap pejabat untuk mendapatkan izin tambang dan kekayaan alam lainnya.
Sistem yang baik pun perlu didukung oleh rakyat yang mengetahui hak dan kewajibannya. Partai politik tertugas mengedukasi masyarakat agar memiliki kesadaran politik. Mengetahui bagaimana rakyat mesti diatur, sadar ketika terjadi kezaliman oleh penguasa meski mereka membungkusnya dengan berbagai cara.
Rakyat juga parpol berani mengoreksi penguasa atas penyimpangan yang mereka lakukan dengan cara makruf. Media pun berperan untuk menyampaikan berita apa adanya bukan memframing berita sesuai pesanan penguasa.
Khatimah
Pemberantasan korupsi tak cukup dengan bui, apalagi seringkali mereka mendapat remisi. Selama demokrasi dan sekularisme masih dipegang erat, maka korupsi akan tumbuh subur di dalamnya. Butuh sistem Islam yang akan mampu mencetak pemimpin amanah yang takut memakan harta haram. Aturan yang menyejahterakan hingga kekayaan karunia Tuhan tidak hanya mengisi perut-perut rakus pejabat.
Oleh: Ersa Rachmawati
(Pegiat Literasi)
0 Komentar