Topswara.com -- Peneliti sejarah Islam Luthfi Affandi, S.H, M.H. menjelaskan begini bukti Rasulullah SAW sebagai kepala negara di Madinah.
“Pertama, ketika Bai'at Aqabah kedua, yaitu sumpah setia tokoh-tokoh di Madinah kepada Rasulullah SAW, siap membela Nabi sebagaimana siap membela anak dan keluarganya,” ungkapnya dalam Kajian Sirah Nabawiyah: Bukti Nabi Muhammad SAW Kepala Negara di Madinah, di kanal Youtube Ngaji Subuh (18/12/2020).
Lutfhi menegaskan bahwa apa yang diucapkan oleh tokoh Madinah adalah bukti embrio lahirnya daulah islamiyah.
“Redaksi dari Bai'at Aqabah yakni orang-orang Madinah akan melakukan apa yang dikehendaki oleh Nabi Muhammad SAW, termasuk ketika Rasul hendak hijrah,” tegasnya.
Kedua, ketika di Madinah, Rasul membangun masjid. Fungsi masjid saat itu lebih dari tempat ibadah, juga sebagai tempat tarbiyah, mahabah, ukhuwah, mu’adalah (keadilan), dan tempat politik pengaturan siyasah.
“Di situlah Rasul melakukan penempaan dan menerapkan hukum-hukumnya, mengumumkan perang, bermusyawarah dengan para sahabatnya,” jelasnya.
Selain itu, ia menambahkan, selain membangun masjid, Nabi persaudaraan kaum Muhajirin dan Anshar. “Tidak akan terbentuk daulah Islam, kalau tidak solid masyarakat. Dalam hal ini kaum muslimin di Madinah yakni Muhajirin dan Anshar sebagai penopang daulah Islam,” tambahnya.
“Kemudian membuat perjanjian (dustur) yang mengatur kehidupan sesama kaum Muslimin dan menjelaskan hubungan mereka dengan orang-orang kafir, termasuk Yahudi,” lanjutnya.
Ketiga, membangun Piagam Madinah. Menurutnya, para ahli menilai Piagam Madinah menunjukkan Rasulullah SAW membangun masyarakat modern. Sebab di suku-suku yang lain, tidak ada perjanjian tertulis.
Sebelumnya, ia menjelaskan bahwa hukum adalah sebagaimana hanya perkataan para kaisar, para raja, kepala suku yang bisa berubah sewaktu-waktu sesuai apa yang dikatakan.
“Hari ini mengatakan A ya A, kemudian besoknya berubah, ya berubah. Jadi, hukum sebagaimana perkataan para raja, kaisar dan kepala suku. Berbeda dengan Islam,” tegasnya.
Selain itu, Luthfi menambahkan bahwa Piagam Madinah merupakan konstitusi Islam pertama mengatur masyarakat yang plural, tapi standarnya dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.
“Ini bukti bahwa standar Piagam Madinah adalah Islam,” tambahnya.
Keempat, menciptakan stabilitas masyarakat pasca hijrah selama enam tahun. “Mulai dari pertama hijrah sampai perjanjian Hudaibiyah. Yakni dengan melakukan perjanjian dengan orang Yahudi,” jelasnya.
Kelima, Madinah sebagai ibukota negara Islam. Ia menyebutkan, Pusat administrasi dan kepemimpinan dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW, dan beberapa wilayah yang ada di sekitarnya menginduk ke Kota Madinah.
“Ketika Rasulullah SAW keluar Madinah untuk keperluan berperang atau keperluan lain, Nabi mengangkat seorang pengganti (Amir sementara) bertugas menggantikan posisi Amir dengan kebijakan yang sudah ditentukan oleh Nabi,” sebutnya.
Keenam, Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang wali di luar Madinah, seperti di Mekkah, Thaif, Yaman dan lainnya.
“Setelah Fathul Makkah, Nabi mengangkat Utab bin Usaid bin Abi Al-ash seorang pemuda 21 tahun sebagai gubernur di Makkah, dan untuk mengajarkan Al-Qur’an dan hukum Islam, Nabi mengangkat Mu’adz bin Jabal,” lanjutnya.
Ketujuh, Nabi Muhammad SAW mengatur suku-suku di Jazirah Arab. Ia menjelaskan, sebagian suku di Jazirah Arab yang mengirimkan utusan masuk Islam dan sebagian lainnya hanya tunduk pada kepemimpinan Nabi SAW.
“Untuk mengatur urusan internal, Nabi SAW memberikan kebebasan sesuai tradisi dan hukum konvensional. Negara Islam cukup menuntut suku-suku itu tunduk dan loyal pada kekuasaan Nabi SAW,” jelasnya.
Kedelapan, pengadilan dan para qadhi. Disebutkan Luthfi bahwa di ibu kota negara (Madinah), kaum muslimin tidak memiliki qadhi (hakim) kecuali Nabi SAW. Meskipun terkadang Nabi mewakilkan salah seorang sahabat untuk melaksanakannya di hadapan Nabi SAW untuk mengajarkan bagaimana memutuskan perkara antara pihak-pihak yang bersengketa, disertai dengan dasar-dasarnya.
“Tujuannya adalah jika Rasulullah tidak ada atau telah wafat, mereka (sahabat) bisa melaksanakannya, dan melatih dan menguji sebelum dikirim menjadi qadhi di berbagai kota negara Islam,” sebutnya.
Kesembilan, mengangkat pejabat administrasi, yakni mengangkat penulis yang berfungsi administratif mengatur kepentingan masyarakat. Ia menyebut, diantaranya adalah Ali bin Abi Thalib bertugas penulis perjanjian, Mu’aiqib bin Abi Fathimah bertugas mengurusi cincin Nabi SAW (sebagai stempel negara) dan juga menulis ghanimah. Zubair bin Awwam bertugas mencatat zakat, Mughirah bin Syu’bah sebagai pencatat hutang dan transaksi muamalah.
“Ada orang yang ditugasi untuk mengawal fungsi administrasi. Hal ini menunjukkan sebuah negara. Menulis perjanjian, mengirim surat kepada raja-raja. Bukan sekelas RT /RW saja tapi sebuah negara yang diatur oleh Rasulullah SAW dengan dasar Islam,” lanjutnya.
Kesepuluh, biro propaganda dan penerangan yang di kenal dengan asy-syua’ara dan khutoba' (penyair dan orator). Lutfhi menyebutkan, tugas mereka adalah untuk membela Nabi SAW dengan kepandaian berkomunikasi, mencela kaum Quraisy yang menyembah berhala.
Kesebelas, Rasulullah SAW mengirimkan para duta-duta. Ia menjelaskan bahwa pengiriman duta terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah diakhiri tahun ke-6 Hijriyah dan awal tahun ketujuh hijrah.
“Rasulullah SAW mengutus duta-duta untuk mengirimkan surat ke berbagai kepala negara, kepala suku di berbagai wilayah,” jelasnya.
Dua belas, fungsi syura sebagai tempat untuk bermusyawarah. Ia mengatakan, Nabi Muhammad SAW sering bermusyawarah dengan para sahabat untuk meminta saran dan pandangan dari orang yang dipandang Nabi memiliki kematangan dan ketakwaan dari kalangan Anshar dan Muhajirin.
“Dari fakta-fakta tidak terbantahkan bahwa Nabi Muhammad SAW bukan hanya seorang Nabi dan Rasul, tapi juga sebagai kepala negara. Maka jika ingin mencontoh Rasul, jangan mencontoh aspek pribadinya saja, tapi juga Mencontoh Rasul SAW sebagai kepala negara,” pungkasnya.[] Mustaqfiroh
0 Komentar