Topswara.com -- Hujan lebat dan banjir yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya berakibat munculnya korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 19, Jakarta Selatan meninggal usai tembok sekolah mereka rubuh diterjang banjir.
Banjir terjadi karena luapan air saluran penghubung Pinang Kalijati yang berada di belakang sekolah. Kejadian tersebut terjadi pada Kamis (6/10) pukul 14.50 WIB. "Kami berduka dengan wafatnya tiga orang anak di Madrasah Negeri Pondok Labu," kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat melayat rumah duka korban bernama Dendis Al Latif di Jagakarsa, Jakarta, Kamis (6/10) dikutip dari Antara.
Sedangkan dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI, sebanyak 270 warga di Jakarta Selatan terpaksa diungsikan ke tempat aman. Ini karena 41 rukun tetangga (RT) terendam banjir. "Ada 17 ruas jalan dan 41 RT yang terendam. Sedikitnya ada 270 jiwa diungsikan ke Masjid Al Mustaghfirin, Kelurahan Kalibata, Jakarta Selatan," kata Kepala Pelaksana BPBD DKI Isnawa Adji. Sebanyak 41 RT meliputi Kelurahan Pejaten Barat, Ragunan, Jati Padang, Kalibata, Pancoran, Pondok Labu, Cipete Utara, dan Tegal Parang (Katadata.co.id, 07/10/2022).
Mengenai permasalahan banjir yang berulang di negeri ini, terlihat pemerintah tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Mereka malah sibuk memperkaya diri sendiri, dan menyerahkan pengelolaan SDA kepada asing. Ketika pengelolan diserahkan kepada asing tentu mereka hanya mengambil keuntungannya saja. Tidak peduli lingkungan akan rusak. Sehingga rakyat yang akan merasakan dampaknya.
Saat bencana itu terjadi, bantuan kemanusiaan sangat lambat, masih banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan logistik, pakaian, makanan dan tempat tinggal. Kalau pun ada bantuan untuk mendapatkannya dipersulit. Ini bentuk abainya pemerintah terhadap rakyatnya.
Dalam Islam terjadinya kerusakan di darat dan di laut ini dijelaskan dalam surat Ar-Rum: 41 "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Marilah kita membuka mata, hati dan pikiran kita bahwa Islam yang merupakan rahmat untuk seluruh alam mempunyai solusi yang bisa mengatasi banjir dan genangan. Islam dalam naungan negara yaitu khilafah tentu memiliki kebijakan efektif dan efisien.
Kebijakan tersebut mencakup sebelum, ketika, dan pasca banjir sebagaimana di bawah ini:
Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, dan lain sebagainya.
Kedua, negara Islam membuat kebijakan tentang master plan, di mana dalam kebijakan tersebut ditetapkan sebuah kebijakan yaitu pembukaan pemukiman, atau kawasan baru, harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, penggunaan tanah berdasarkan karakteristik tanah dan topografinya, dengan memperhatikan konsep kepemilikan individu, umum dan swasta.
Ketiga, khilafah akan membentuk badan khusus yang menangani bencana-bencana alam yang dilengkapi dengan peralatan-peralatan berat, evakuasi, pengobatan, dan alat-alat yang dibutuhkan untuk menanggulangi bencana.
Keempat, khilafah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai daerah cagar alam yang harus dilindungi. Khilafah juga menetapkan kawasan hutan lindung, dan kawasan buffer yang tidak boleh dimanfaatkan kecuali dengan izin. Khilafah menetapkan sanksi berat bagi siapa saja yang merusak lingkungan hidup tanpa pernah pandang bulu.
Kelima, khilafah terus menerus menyosialisasikan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, serta kewajiban memelihara lingkungan dari kerusakan.
Keenam, dalam menangani korban-korban bencana alam, khilafah akan segera bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah bencana. Khilafah menyediakan tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban bencana alam tidak menderita kesakitan akibat penyakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang tidak memadai.
Ketujuh, khalifah sebagai kepala negara akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan taushiyyah-taushiyyah bagi korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa mereka, sekaligus menguatkan keimanan mereka agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah SWT.
Itulah kebijakan khilafah islamiyah dalam megatasi masalah banjir. Kita harus paham banjir merupakan qadha (ketetapan dari Allah SWT) tetapi kita harus mengambil pelajaran yang berharga dari bencana yang terjadi.
Pada masa kejayaan Islam, khilafah mampu menghasilkan insinyur yang mampu menangani masalah banjir:
Insinyur Al-Fargani (abad 9 M) telah membangun at yang disebut milimeter untuk mengukur dan mencatat tinggi air sungai Nil di berbagai tempat. Setelah bertahun-tahun mengukur, Al- Fargani berhasil mempresiksi banjir sungai Bil, Al-Fargani berhasil memprediksi banjir sungai Nil baik jangka waktu pendek atau jangka panjang.
Peradaban Islam memiliki jasa yang tidak ternilai dalam mengendalikan debit air. Abu Raihan al-Biruni (973-1048) mengembangkan teknik untuk mengukur beda tinggi antara gunung dan lembah guna merencanakan irigasi. Abu Zaid Abdi Rahman bin Muhammad bin Khaldun Al-Hadrami menuliskan dalam kitab monumental tentang “Muqaddimah” suatu bab khusus tentang berbagai aspek geografi iklim.
Kemampuan peradaban Islam bertahan berabad-abad, bahkan terhadap berbagai bencana alam termasuk kekeringan dan banjir adalah buah sinergi dari keimanan, ketaatan kepada syaikh, dan ketekunan mereka mempelajari sunnatullah sehingga mampu menggunakan teknologi yang tepat dalam mengelola air dan menghadapi banjir. Wallahua’lam.
Oleh: Tri S, S Si
Aktivis Muslimah
0 Komentar