Topswara.com -- Kasus stunting termasuk problem yang belum dapat diatasi dengan tuntas oleh pemerintah Indonesia. Hampir di setiap daerah provinsi mengalaminya. Bahkan angka penderita stunting makin meningkat setiap tahunnya.
Pemerintah pada dasarnya bukan tidak memiliki program untuk menunjukkan perhatian terhadap stunting. Hanya saja, program-program yang diharapkan jadi solusi untuk mengatasinya belum menyentuh akar masalah, sehingga stunting bukannya hilang, justru kian bertambah.
Baru-baru ini, terdengar kabar bahwa pemerintah Indonesia melalui BKKBN sedang manggalakkan program atasi stunting bekerjasama dengan asing. Seperti dilansir dari harian Republike.co.id (Rabu,28 September 2022) bahwa Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) berkomitmen untuk menurunkan angka stunting di Indonesia.
BKKBN menjajaki peluang untuk pengembangan program Pembangunan Keluarga, Kependudukan dan Keluarga Berencana (Bangga Kencana) serta upaya menekan tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia.
Menurut Deputi Bidang Pelatihan, Penelitian dan Pengembangan BKKBN, Prof. Rizal M. Damanik, salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan rutin mengundang duta besar dari berbagai negara yang dinilai cukup berhasil dalam menangani kasus stunting di negaranya.
Prof. Rizal Damanik menyatakan bahwa sejak tahun 2021, BKKBN rutin menyelenggarakan acara diskusi Ambassador Talks, dengan mengundang para Duta Besar dari beberapa Negara untuk sharing pengalaman dan strategi dari negara-negara yang telah berhasil mengatasi stunting.
Kemudian dari sharing pengalaman tersebut selanjutnya BKKBN bakal menggali peluang kolaborasi guna mempercepat penurunan jumlah kasus stunting di Indonesia. Tak hanya itu, BKKBN juga menggalang kemitraan dan dukungan asing sekaligus mensosialisasikan program Bangga Kencana hingga ke level internasional.
Adapun mitra Kedutaan Besar negara-negara yang dimaksud yaitu Australia, Belanda, Jepang, Kanada, Filipina, Mozambik, dan Seychelles serta lembaga-lembaga donor internasional, yaitu UNFPA dan WHO. Dengan Filipina melalui Commission on Population and Development atau Popcom. Serta bersama Seychelles dalam pembentukan Center of Excellent on Family Welfare.
Di sisi lain, upaya mengatasi stunting oleh BKKBN juga dikaitkan dengan kampanye program-program KB. Masih dari sumber yang sama, yaitu republika.co.id merilis bahwa BKKBN juga mengkolaborasi cegah stunting dengan program jaga kesehatan reproduksi perempuan. (Senin 26 Sep 2022).
Hal tersebut terungkap melalui penuturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. Dalam peringatan Hari Kontrasepsi Dunia (World Contraception Day), ia menyatakan bahwa BKKBN melakukan kolaborasi pelayanan KB terpadu dengan beberapa mitra kerja guna meningkatkan keikutsertaan ber-KB dan percepatan penurunan stunting serta kesehatan kaum perempuan.
Relasi program KB seperti kehamilan yang direncanakan atau penekanan angka kelahiran menurutnya sangat penting bagikaum perempuan. Terlebih dalam persoalan kasus stunting. Serta termasuk dalam menekan angka kematian ibu dan bayi serta meningkatkan kualitas hidup bayi agar terhindar dari stunting.
Akar Permasalahan Stunting di Indonesia
Tepat tidaknya program-program yang diharapkan jadi jalan penyelesaian stunting oleh pemerintah melalui BKKBN terlebih dahulu harus diketahui dengan jelas akar permasalahannya. Agar bisa melakukan analisis demi mencari solusi yang shahih.
Poin pertama yang perlu diketahui adalah mengetahui tingkat stuntingnya. Ternyata data menunjukkan bahwa Indonesia berada di urutan ke-5 tertinggi di dunia untuk kasus stunting. Peringkat ke-2 untuk tingkat Kawasan Asia. (humbanghasundutankab.go.id). Data tersebut berdasarkan hasil studi status gizi Indonesia (SSG) kementerian Kesehatan, prevalensi balita stunting sebesar 24,4 persen pada tahun 2021.
Meskipun data tersebut menurun dibandingkan tahun 2020, yaitu 26,9 persen, tetap saja angkanya di atas 24 persen untuk balita. Dengan kata lain seperempat dari jumlah 100 persen balita yang ada mengalami stunting. Bahkan tahun 2018, data Riskesdes menunjukkan sebesar 30,8 persen (satu dari tiga balita di Indonesia mengalami stunting). Sungguh miris bukan?
Kedua, bicara tentang stunting alias gizi buruk atau kurang gizi tidak bisa lepas dari kondisi real masyarakat di negeri ini yang masih tinggi jumlahnya di bawah garis kemiskinan. Bahkan, dimata beberapa penduduk negara-negara lain, Indonesia adalah negara surganya angka kemiskinan (poverthy). Mengalahkan trending kemiskinan India atau Bangladesh untuk Kawasan Asia.
Berdasarkan laporan BPS per Maret tahun 2022, jumlah penduduk miskin mencapai 26,16 juta orang. Meskipun dikabarkan menurun sebesar 0,17 persen dari kondisi pandemik sebelumnya, namun menurut kapala BPS Margo Yuwono angka tersebut belum sepenuhnya membaik.
Sangat sinkron dan berbanding lurus bukan? Antara angka kemiskinan dengan stunting yang terjadi di Indonesia. Logikanya sederhana untuk meyakini hal demikian. Saat satu keluarga berada dalam kondisi kemiskinan, tentu akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup, khususnya pangan.
Jangankan untuk standar gizi yang baik sesuai anjuran para pakar kesehatan, sekedar memenuhi rasa lapar untuk berdiri saja mampu, rasanya sudah lebih dari cukup. Kerja pagi untuk makan siang atau sore. Begitu seterusnya.
Padahal, ketika seorang perempuan/ ibu sedang dalam kondisi mengandung (hamil) selayaknya mendapatkan asupan gizi yang mumpuni demi kesehatan dan keselamatan janin yang ada dalam kandungannya. Tidak sekedar makan yang mengenyangkan. Karena pertumbuhan fisik yang maksimal ditopang dengan kecukupan asupan gizi.
Belum lagi untuk meningkatkan pendapatan demi makan harus memiliki pekerjaan yang layak. Sementara peluang kerja yang layak bagi kaum laki-laki sudah sangat minim dan terbatas. Selain kini diberikan kepada asing, rekrutmen terhadap kaum perempuan lebih diutamakan. Sehingga terkadang meskipun bekerja, tetapi kaum Ibu lupa memperhatikan tubunya untuk konsumsi gizi yang cukup karena kesibukan dan merasa tidak punya waktu.
Ketiga, tingginya harga-harga yang ditawarkan di pasar juga menyebabkan daya beli masyarakat minim akibat tadi, penghasilan yang kecil dan tidak mencukupi. Contohnya buah, susu atau makanan suplemen penambah asupan gizi. Orang yang berpenghasilan cukup saja terkadang tidak berkesempatan untuk membelinya karena masih menganggapnya mahal. Apalagi yang tidak mampu.
Keempat, kemudian jika kaitannya dengan tekanan angka kelahiran atau jarak kelahiran dapat mengurangi stunting. Secara hitung-hitungan matematika mungkin iya. Karena jika tidak ada yang lahir, tentu tidak ada angka yang mau diolah selanjutnya. Tetapi akankah mengatasi stunting? Tentu tidak otomatis. Meledak tidaknya demografi di Indonesia, angka stunting akan tetap banyak.
Karena persoalannya bukan pada angka kelahiran. Melainkan rendahnya angka kesehatan akibat sulitnya memenuhi kebutuhan pangan yang bergizi dan berkualitas. Dan hal tersebut akarnya disebabkan oleh kemiskinan yang dilahirkan sistem kapitalisme.
Kapitalisme yang menjadikan negeri ini miskin secara sistemik. Jumlah angka kemiskinan yang terdata adalah jutaan bukan hitungan jari. Artinya, terjadi hampir merata di setiap provinsi atau wilayah negeri ini.
Penerapan ekonomi kapitalistik yang menjarah sumber daya alam dan masuknya para pekerja asing adalah penyebab utama dan akar masalah kemsikinan. Kebijakan investasi dan Kerjasama utang mejadikan negeri ini tergadaikan. Banyak proyek dijadikan tetapi bukan untuk kepentingan rakyat atau kemakmuran negeri.
Melainkan bentuk cengkraman asing demi menancapkan hegemoni dan penjajahannya secara politik ekonomi. Melalui undang-undang mereka masuk dengan lempang, hingga masyarakat mengalami kesulitan hidup yang pada akhirnya membawa kesmikinan yang sistemik.
Solusi Tuntas Atasi Stunting Bersama Asing, Matching Atau Sinting?
Program Kerjasama penanganan penyelesaian stunting oleh BKKBN yang bekerjasama dengan beberapa negara asing sepertinya sulit diterima akal sehat akan mampu menyelesaikannya. Ibarat pepatah mengatakan jauh panggang dari api.
Sebab persoalan dasar stunting tadi sudah dijelaskan adalah kemiskinan, yaitu hasil penerapan sistem kapitalisme yang menjajah secara ekonomi. Bukan karena tidak adanya kerjasama dengan asing atau ketidakmampuan Indonesia untuk mengatasinya.
Secara pontensi intelektual maupun kekayaan alam dan ketersediaan barang maupun jasa untuk mengatasi kasus stunting, Indonesia lebih dari cukup. Persoalannya adalah mau atau tidak? Ngototnya pemerintah untuk melakukan kerjasama asing juga bisa diartikan sebagai lepas tangan atau tanggungjawab pemerintah untuk mengurusi urusan rakyatnya yang seharusnya adalah kewajiban penguasa bukan asing.
Jalinan kerjasama dengan asosiasi maupun negara asing tentunya tidak akan free begitu saja. Hal tersebut akan menjadi pintu masuk program-program asing lagi ke negeri ini. Misalnya pencucian otak (brain washing) dengan ide-ide sekuler-kapitalis dan menjauhkan kaum Muslim yang ada di Indonesia dari Islam.
Oleh karena itu, mengatasi kasus stunting tentulah harus menyentuh akar penyebabnya. Agar solusi yang ditawarkann tidak tambal sulam apalagi justu memperparah kerusakan kondisi masyarakat khususnya generasi Muslim secara pemikiran. Atasi stunting ala pemerintan melalui BKKBN dengan melibatkan asing sungguh tidak nyambung alias tidak matching dan justru terkesan sinting. Sebab tidak ada korelasinya sama sekali menyentuh akar permasalahannya. Allahu a’alam bissawab.
Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Analis Mutiara Umat
0 Komentar