Topswara.com -- Konsultan dan Trainer Keluarga Sakinah Hj. Ir. Dedeh Wahidah Achmad menilai, rasa malu menempati posisi yang tinggi dan mulia, serta menunjukkan orang beriman atau tidak.
“Rasa malu menempati posisi yang tinggi dan mulia, menunjukkan orang beriman atau tidak. Ketika seseorang menghiasi dirinya dengan rasa malu, maka dia menunjukkan salah satu karakter orang beriman,” tuturnya di Kanal YouTube Muslimah Media Center (MMC), Sabtu (17/9/2022).
Menurutnya, ketika dia sudah hilang rasa malunya maka dia sudah kehilangan salah satu sifat orang beriman, bahkan Rasullulah SAW bersabda bahwa malu adalah sebagian dari iman.
الطَّرِيْقِ عَنِ اْلأَذَى إِمَاطَةُ هَا أَدْنَا وَ اللهُ، إِلاَّ إِلهَ لاَ قَوْلُ فَأَفْضَلُهَا شُعْبَةً، وَسِتُّوْنَ بِضْعٌ أَوْ وَسَبْعُوْنَ بِضْعٌ اْلإِيْمَانُ
اْلإِيْمَانُ مِنَ شُعْبَةٌ وَالْحَيَاءُ,
Artinya: ''Iman itu lebih dari 70 (tujuh puluh) atau 60 (enam puluh) cabang, cabang iman yang tertinggi adalah mengucapkan 'laa ilaha illallah', dan cabang iman terendah adalah menghilangkan duri dari jalan, dan rasa malu merupakan cabang dari iman.'' (HR. Bukhari dan Muslim).
Ia menuturkan, penting kita mengetahui, supaya bisa menampakkan rasa malu itu dengan benar, dengan tepat, dan bisa menjaga keberadaannya sehingga rasa malu ini tetap melekat dalam diri kita sebagai mukmin.
“Bagaimana malu itu? apakah ketika ketahuan salah, terlihat jelek, maka berusaha menutupi jerawatnya dan berupaya membuat muka glowing, hidung mancung, kulit putih, maka dia merasa malu,” imbuhnya.
Ia mengatakan, ada juga yang malu ketika tidak bisa mendidik anaknya, malu ketika tidak optimal melayani suaminya, malu ketika tidak membina di dalam perjuangan menegakkan Islam.
“Artinya rasa malu itu dimiliki oleh setiap orang, cuma pemicunya yang berbeda-beda. Karena malu adalah gharizah yang dimiliki manusia yaitu naluri mempertahankan diri, penampakannya berupa karakter naluri tersebut dan tergantung pemikiran dan rangsangan,” tegasnya.
Ia menegaskankan, ketika orang memiliki pemikiran, tubuh kurang tinggi, wajah ada jerawat dan tidak glowing itu adalah sesuatu yang buruk maka wajar pemikirannya merasa malu. Tetapi sebaliknya, ketika orang melihat atau mempunyai pemikiran bahwa penampakan fisik itu bukan keburukan karena itu adakah qadha dari Allah, sikap terhadap qadha adalah menerima dan bersyukur.
”Banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan, tidak punya kaki dan tangan, kita masih memiliki alhamdulillah, bahkan saudara kita di Palestina setiap hari dibombardir oleh Israel. Mereka sudah kehilangan untuk nyaman itu, jadi tidak selayaknya kita malu dengan tubuh kita sebagai karunia dari Allah. Justru kita akan mensyukurinya dan rasa syukur itu akan mendorong kita untuk berupaya menjaga karunia Allah itu. Bukan menutupinya dengan operasi plastik yang akhirnya terjerumus pada tabarruj dan pemikirannya yang harus diluruskan,” ujarnya.
Ia mengatakan, Islam mengajarkan kita bukan kecantikan tubuh yang harus diandalkan, tetapi Islam mengajarkan sesungguhnya manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa, sesuai QS. Al-Hujurat ayat 13.
"Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti."
“Yang harus dilakukan bagaimana merangsang pemikiran yang benar, dan tidak boleh sering memberi rangsangan pada sesuatu yang bersifat fisik atau materi, tetapi rangsang dengan banyak membaca kisah Rasullulah dan para sahabat,” terangnya.
Ia menanyakan, sekarang banyak Muslimah terbiasa membuka aurat, mereka terbiasa berlenggang-lenggok dan sengaja mempertontonkan auratnya, dan mereka bangga dengan aurat itu sebagai modal mendapatkan penghasilan, mereka tidak merasa malu. Mengapa?
“Karena pemikirannya bukan mencari ridha Allah dan mendapatkan pahala dari Allah dan ketika mati akan masuk surga. Tetapi pemikiran mereka sekuler menjauhkan agama dari kehidupan dan kapitalistik, standar baik buruk bukan halal haram tetapi materi,” imbuhnya.
Menurutnya, maka kita harus meluruskan pemikiran mereka, bahwa malu yang benar itu adalah malu ketika kita tidak bisa terlibat dengan hukum syara, malu ketika kita tidak bisa berjuang untuk tegaknya syariah Islam secara kaffah, malu ketika seorang ibu tidak bisa mendidik anak-anaknya sesuai dengan contoh Rasullulah, malu ketika seorang istri tidak bisa melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya kepada suami secara optimal, malu sebagai anak tidak bisa birrul walidain.
“Dan kita wajib malu sebagai bagian dari umat tidak bisa menghilangkan kezaliman, malu tidak bisa mengubah kondisi yang dikuasai oleh kapitalis sekuleristik. Dan malu tidak memperjuangkan tidak berjuang untuk tegaknya khilafah Islamiyah,” pungkasnya. []Riana
0 Komentar