Topswara.com -- Pemerintah melalui Mendikbudristek Nadiem Makarim telah mengajukan naskah terbaru Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang menggabungkan tiga UU sekaligus yaitu UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, termasuk UU Perguruan Tinggi kepada DPR.
Namun, draf terbaru RUU Sisdiknas faktanya menjadi polemik karena banyak menuai kritik dari berbagai kalangan. Bahkan, sejumlah fraksi di DPR mengaku menolak RUU Sisdiknas masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) perubahan tahun 2022 dikarenakan masih terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversi. Salah satunya terkait tunjangan guru atau Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Selain itu, sejumlah pasal dalam RUU Sisdiknas dinilai tidak menjawab berbagai masalah pendidikan. RUU tersebut menghapus pasal-pasal penting dalam tiga undang-undang lama terkait pendidikan antara lain UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Hal ini tentu menuai penolakan dari sejumlah komunitas guru yang menyayangkan hilangnya pasal dalam RUU Sisdiknas terkait TPG. Diantaranya dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menyebut hal tersebut sebagai mimpi buruk bagi guru.
Selain itu, Koordinator Nasional P2G yakni Satriwan Salim menyampaikan dalam keterangan tertulisnya kepada Beritasatu.com (04/09/2022) bahwa RUU Sisdiknas yang menghapus pasal TPG seperti mimpi buruk bagi jutaan guru, calon guru, dan keluarga mereka. Dihilangkannya pasal TPG ini sedang jadi perbincangan serius di internal organisasi guru dan WhatsApp Group Guru.
Ketidakjelasan Status Guru dalam Kapitalisme
Tunjangan merupakan bentuk pengakuan dan penghargaan akan keprofesian guru dan dosen. Terlebih sudah menjadi rahasia umum jika masih banyaknya guru dan dosen di sekolah ataupun kampus swasta yang belum mendapatkan gaji memadai. Sehingga pengapusan tunjangan guru jelas mengganggu rasa keadilan terhadap profesi guru.
Belum lagi, pada faktanya gaji PNS dipotong dengan berbagai iuran. Inilah dampak dari kebijakan yang mengedepankan kepentingan dan egoisme kekuasaan. Kebijakan ini lahir dari sistem kapitalisme yang minim rasa keadilan, empati, dan peduli terhadap dunia pendidikan. Anggaran pendidikan sering dipotong demi alasan efisiensi.
Dalam sistem kapitalisme, penghormatan terhadap ilmu dan guru memang hanya dihitung secara materialistik. Karena itu saat tunjangan profesi dihilangkan maka sama saja dengan menghapus secara sempurna kesejahteraan guru. Akibatnya banyak para guru yang tidak optimal dalam mengajar karena harus mencari uang tambahan.
Status Pengajar dalam Islam
Kondisi yang terjadi saat ini sangat berbeda dengan sistem Islam dalam mengurus pembiayaan tenaga pendidik. Tata kelola negara dalam sistem Islam bukan hanya dapat menyelesaikan soal tunjangan guru.
Namun, mampu mengantarkan guru pada tujuannya sebagai pencetak generasi yang unggul. Khilafah akan berupaya memberikan tenaga pendidik yang terbaik dan memastikan setiap per individu tenaga pendidik mendapat kesejahteraan mereka, diantaranya kesejahteraan ini terwujud dalam pemberiaan gaji yang begitu besar.
Selain itu, birokrasi dalam khilafah mampu melayani urusan masyarakat termasuk di dalamnya guru. Hal ini dikarenakan dikelola berdasarkan pada kesederhanaan aturan, kecepatan pelayanan, dan profesionalitas orang yang menjalankannya. Selain itu, pemberian gaji yang layak pada guru ini tidak memandang status apakah pegawai negeri ataupun bukan, besertifikasi atau bukan.
Melainkan, semua yang berprofesi sebagai guru akan diberi hak yang sama. Inilah gambaran khilafah dalam mewujudkan kesejahteraan para guru yang tentu hal ini tidak akan bisa diwujudkan oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Maka dari itu, pentingnya untuk membuang sistem kufur kapitalisme sekuler dan menggantinya menjadi sistem Islam sebagai solusi hakiki yang mampu merealisasikan kesejahteraan guru dan masyarakat pada umumnya. Waallahu a’lam bishshwab.
Oleh: Asih Lestiani
Sahabat Topswara
0 Komentar