Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Negara Agraris tetapi Harga-Harga Membuat Rakyat Meringis

Topswara.com -- Mie instan adalah salah satu makanan yang sangat digemari banyak orang. Di Indonesia sendiri terutama di kalangan menengah ke bawah sudah dianggap sebanding dengan makanan pokok, bahkan menjadi sumbangan pangan kelima paling besar terhadap penduduk yang berada dalam garis kemiskinan. 

Pada tahun 2018 Indonesia menempati urutan kedua di dunia sebagai pengonsumsi mie, jumlahnya sampai 12,52 miliar bungkus. Hal tersebut mengindikasikan ketergantungan rakyat Indonesia terhadap mie instan begitu besar. Sehingga adanya simpang siur pemberitaan bahwa harga mie instan akan naik hingga tiga kali lipat tentu meresahkan di kalangan masyarakat itu sendiri. (Muslimah news. 19/8/2022)

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kenaikan harga pangan. Selain iklim yang menyebabkan kelangkaan bahan bakunya, konflik Ukraina dan Rusia pun diungkapkan presiden Jokowi sebagai salah satu pemicu kurangnya pasokan bahan baku seperti gandum ke Indonesia. 

Dalam sebuah webinar di YouTube Direktorat Jendral Tanaman Pangan Kementan, menyarankan agar masyarakat lebih baik mengonsumsi singkong hingga sagu ketimbang harus impor gandum yang mahal. (Detik.com, 07/07/2022) 

Ketergantungan masyarakat pada mie yang bisa dijadikan sebagai makanan alternatif yang praktis untuk mengenyangkan perut di saat harga pangan lainnya melonjak. Namun yang ada ungkapan yang tidak pantas keluar dari lisan para pemangku kebijakan ini seringkali terulang. Seperti, melonjak harga minyak goreng masyarakat disarankan merebus. Juga cabe rawit yang ketika itu harganya naik, diperintahkan menanam sendiri. 

Mestinya pemerintah bisa memenuhi setiap kebutuhan dari masyarakat, dengan mencari akar masalah sekaligus memberikan solusi yang tepat dan cepat. Bukan dengan ungkapan yang menyakiti perasaan masyarakat. 

Adapun upaya pemerintah dalam menghadapi kelangkaan dan gejolak harga bahan-bahan pangan yaitu melalui impor. Bahkan ke depan, impor pangan pokok diduga akan terus meningkat. Padahal impor bisa mematikan produksi dalam negeri. 

Tidak hanya bahan pangan, sarana produksi pertanian, seperti alat pertanian dan pupuk pun masih tergantung impor. Selain Tiongkok, Kanada, dan Mesir, Indonesia juga mengimpor pupuk dari Rusia. Maka pantas jika konflik Ukraina dan Rusia dijadikan alasan naiknya harga-harga pangan termasuk bahan baku mie.

Di saat yang sama pemerintah mengunggulkan prestasi swasembada beras sampai mendapat sebuah penghargaan, yang diberikan kepada presiden Jokowi, menjelang hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 77, di Istana Negara. 

Sebagai pengakuan atas sistem pertanian pangan yang tangguh dan swasembada beras tahun 2019 sampai 2021 melalui penggunaan teknologi inovasi padi. Presiden mendapat penghargaan dari Internasional Rice Research Institusi Pada acara tersebut dihadiri pula oleh Menteri Kordinator Perekonomian Airlangga Hartato yang mendampingi langsung ketika menerima penghargaan. (Republik.co.id. Ahad, 14/8/2022)

Momen ini sepatutnya menjadi pendorong kebijakan agar menghasilkan swasembada pangan yang hakiki dengan berbagai bahan yang dibutuhkan. Tidak hanya pada beras saja. Sedangkan bahan pangan lain masih bergantung impor. 

Keberhasilan swasembada beras, tentu tidak lepas dari dukungan pemerintah melalui pembangunan irigasi pertanian. Jika berhasil dalam swasembada beras, sebagai negara agraris tentunya bisa juga dilakukan pada petani pangan lainnya seperti, gandum, gula, terigu dan lain-lainnya yang dibutuhkan masyarakat. 

Apalagi pemerintah menyadari besarnya ketergantungan Indonesia terhadap gandum. Tetapi mengapa pemerintah tidak membuat langkah riil untuk mewujudkan swasembada pangan yang lainnya? Bukan malah mengandalkan impor yang tentu membuat negara agraris namun kondisi harga-harga membuat rakyatnya meringis, tentu ini ironis.

Ketimpangan kebijakan pemerintah neoliberal makin meminggirkan para petani. Padahal, petani adalah pelaku utama untuk mendukung terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan. Banyak aspek pertanian yang tidak terurus ikut menyumbang angka kemiskinan di Indonesia. 

Mulai dari kebijakan pemerintah dalam pertanian, pengelolaan tanah, penemuan inovasi sampai industri yang seharusnya ditopang oleh pemerintah. Namun faktanya justru aksi industrialisasi dan pengembangan wilayah yang masif dilakukan. Tentu ini berdampak pada menyempitnya lahan tanah pertanian. 

Negara seolah tutup mata terhadap berbagai kesulitan para petani yang sejatinya menjadi korban sistem ini. Tuntutan para petani agar ada keberpihakan terhadap mereka dianggap angin lalu tanpa ada respons signifikan. 

Sebaliknya kepada para korporasi negara begitu mudah memberikan izin untuk menguasai ribuan hingga jutaan hektar lahan walaupun harus membuka hutan dan lahan milik umum lainnya. 

Padahal, sebagian besar korporasi pertanian tersebut menanaminya dengan komoditas perkebunan untuk tujuan ekspor, bukan tanaman pangan dalam rangka membangun ketahanan pangan rakyat.

Demikian negara dalam sistem kapitalis sekuler ini tetap tunduk pada mereka dan mengesampingkan rakyat, kesulitan yang dihadapi rakyat dialihkan dengan kebijakan yang justru kontraproduktif, seperti pelonggaran impor, kenaikan PPN 11 persen terhadap 41 komoditas pertanian dan hasil hutan, dan sebagainya. Di atasi oleh negara cukup dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT), atau subsidi produksi, bantuan modal, dan sebagainya. Perhatian ini hanyalah sesaat dan tidak dapat mengakhiri akar persoalan sebenarnya, belum lagi tidak tepat sasaran. Berapa pun besaran subsidi yang dikeluarkan, terbukti tidak memperbaiki nasib masyarakat kecil.

Bandingkan dengan pemerintahan Islam dalam mewujudkan swasembada dan kedaulatan pangan di seluruh jenis pangan. Negara menggunakan politik pertanian dengan dua strategi yaitu; salah satu upaya meningkatkan hasil pertanian dengan memperluas lahan pertanian. 

Pertama, peningkatan produktivitas pertanian yang meliputi pengadaan benih unggul, pupuk berkualitas, inovasi berbasis teknik modern dan dukungan yang lainnya untuk mengembangkan sektor pertanian.

Kedua, dengan menambah luas area tanah yang akan ditanami. Di dalam Islam, negara berhak mengambil tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Tanah tersebut akan diambil pemerintah lalu diberikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

“Siapa saja yang memiliki sebidang tanah, hendaknya ia menanaminya atau hendaklah ia berikan pada saudaranya. Apabila ia mengabaikannya, maka hendaknya tanahnya diambil.” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Dengan demikian, aspek produktivitas pertanian akan dapat terkontrol. Di sisi lain pemerintah dapat mengerahkan pegawai negeri yang dari departemen pertanian untuk mengawasi tanah-tanah yang rakyat miliki. Melalui pengawasan pada tanah kondusif ini, akan tercipta atmosfer dan semangat kerja yang produktif pada para petani. 

Dengan upaya ini, maka pertanian yang memadai akan menjadi penopang terwujudnya swasembada pangan. Selain itu kebijakan politik pertanian harus diiringi dengan politik industri yang menjadikan negara mandiri dalam menyediakan sarana dan prasarana alat dan mesin pertanian. 

Jadi kepemimpinan yang menerapkan sistem pemerintahan dalam Islam, tidak akan bergantung pada negara lain seperti hari ini. Seluruh masyarakat akan terpenuhi segala kebutuhan pangannya dengan murah dan mudah.

Untuk itu, sudah saatnya kita kembalikan setiap urusan hanya pada aturan Islam yang terbukti mampu mensejahterakan rakyatnya. Hal ini bisa terwujud jika kita berada dalam naungan negara yang menerapkan seluruh aturan Islam yaitu sebuah kepemimpinan yang mengikuti metode Rasulullah SAW.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Oleh: Oom Rohmawati
Aktivis Dakwah 




Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar