Topswara.com -- “Tidak ada balasan untuk kebaikan kecuali kebaikan (pula).”(TQS. Ar-Rahman: 60)
Seseorang dalam hidupnya pasti pernah menerima kebaikan dari orang lain. Bisa berupa sikap ramah, pertolongan ketika tertimpa musibah, pemberian hadiah, ucapan selamat, dan masih banyak lainnya. Bisa dari keluarga, teman, atau bahkan orang yang tidak dikenal. Lalu bagaimana cara membalas semua kebaikan tersebut?
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa diperlakukan dengan baik (oleh seseorang), hendaklah ia membalasnya. Apabila dia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaklah ia memujinya. Jika ia memujinya, ia telah berterima kasih kepadanya. Namun, jika ia menyembunyikannya (tidak berterima kasih ataupun memujinya), berarti ia telah mengingkari (kebaikan)nya.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad).
Pun, Rasulullah SAW telah mencontohkannya. Aisyah ra berkata, “Dahulu, Rasulullah SAW biasa menerima hadiah (pemberian selain shadaqah) dan membalasnya.” (HR. Shahih al-Bukhari, no. 2585)
Dari Ibnu ‘Umar ra dari Rasulullah , beliau bersabda, “…Dan barang siapa yang berbuat baik kepada kalian maka balaslah (kebaikan tersebut). Jika kalian tidak sanggup membalas kebaikan tersebut maka doakanlah dia.” (HR. Imam Baihaqi 4/299)
Demikianlah, firman Allah maupun hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa Islam menganjurkan umat Muslim agar membalas kebaikan dengan kebaikan pula. Baik berupa sikap serupa atau memujinya atau mendoakannya. Dan sesungguhnya, membalas kebaikan tersebut merupakan wujud terimakasih.
Akan tetapi, di antara semua pihak yang memberikan kebaikan, siapakah yang paling berhak menerima balasan kebaikan?
Pemberi Kebaikan Terbaik
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an surat an-Nahl ayat 18, “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang. Begitu banyak nikmat dan karunia yang Allah anugerahkan kepada kalian, baik di langit, darat, air, maupun dalam diri manusia; semua demi kemaslahatan dan kebaikan manusia.”
Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, seorang mudarris tafsir di Masjid Nabawi, menyatakan bahwa pelajaran dari ayat tersebut di atas bahwa di antara bentuk bersyukur adalah menggunakan nikmat untuk memperoleh kembali nikmat Allah ta’ala.
Sebenarnya, wajar jika Allah menuntut manusia agar membalas kebaika-Nya. Dan wajar pula Dia menuntut manusia berterimakasih kepada-Nya. Sebab, jika kebaikan orang lain saja dianjurkan untuk membalasnya, meskipun hanya pujian dan doa, maka Allah SWT paling layak mendapatkan balasan kebaikan.
Allah pun berfirman dalam surat Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu kufr/ mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”
Ayat ini menyebutkan bahwa syukur terhadap nikmat berlawanan dengan kufr. Jika kufr artinya mengingkari atau menolak perintah dan larangan Allah, maka bukti bersyukur adalah sebaliknya, yakni taat kepada Allah. Sehingga, bersyukur adalah membalas kebaikan dengan menggunakan kebaikan yang Allah berikan untuk mencari ridha Allah.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surat az-Zariyyah ayat 59. Yakni, Allah menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya.
Terlebih lagi, bagi orang-orang yang beriman sejatinya Allah telah membeli harta dan jiwanya dengan surga. Sebagaimana surat at-Taubat ayat 11.
“ Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka... "
Sistem Kehidupan
Pada masa Rasulullah, para sahabat dan generasi awal Islam, umat muslim membalas kebaikan Allah dengan menampakkan Islam sebagai tujuan hidupnya. Misalnya Abu Bakar rela bersama Rasulullah dikejar-kejar ketika hijrah, hendak dibunuh oleh kaum kafir Quraisy; Usman bin Affan menyumbangkan hartanya 1000 ekor unta, 70 ekor kuda dan 1000 dirham untuk kepentingan dalam perang membela Islam.
Bahkan Ikrimah bin Abu Jahal pernah berkata, "Demi Allah, ya Rasulullah. Tak satu sen pun dana yang telah saya keluarkan untuk memberantas agama Allah di masa lalu, melainkan mulai saat ini akan saya tebus dengan dengan mengorbankan hartaku berlipat ganda untuk menegakkan agama Allah. Dan tak seorang pun kaum Muslim yang telah gugur di tanganku, melainkan akan kutebus dengan membunuh kaum musyrik berlipat ganda, demi untuk menegakkan agama Allah." Dan masih banyak lainnya. MasyaAllah!
Tetapi, kondisi umat Islam saat ini justru sebailknya. Kehidupan mereka tidak lagi fokus membalas kebaikan yang telah Allah curahkan kepadanya. Pun, tujuan hidup mereka tidak lagi taat untuk beribadah kepada Allah. Mereka juga tidak mengingat bahwa harta dan jiwanya telah dibeli oleh Allah.
Ternyata penyebab utama bergesernya gaya hidup umat Islam saat ini adalah mereka meninggalkan akidah dan syariat Islam dalam kehidupannya. Mereka menggantinya dengan sekularisme. Hal ini membuat umat Islam tidak lagi mengkaitkan setiap perbuatannya dengan agamanya. Akibatnya, nampak dalam kehidupannya, mereka hanya mencari kesenangan materi. Mereka terlena dengan gemerlap dunia fana dan melupakan kehidupan akhirat nan abadi.
Oleh sebab itu, jika ingin umat Islam kembali seperti dulu, maka perlu mengingatkan mereka kembali akan hakikat kehidupan. Mengajak mereka mengkaji ulang persoalan aqidah dan syariat. Agar tumbuh kembali keimanan yang kokoh dan rasa syukur. Kemudian, mereka kembali menjadikan Islam satu-satunya tujuan hidup.
Juga kembali menjadikan Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan, menggantikan sekularisme. Semua ini , sebagai bentuk membalas kebaikan yang telah Allah berikan kepada seluruh makhluk-Nya. Wallahu a’lam.
Oleh: Sitha Soehaimi
(Aktivis Muslimah Bogor)
0 Komentar