Topswara.com -- Berbagai daerah di negara Indonesia sedang ramai untuk memperoleh predikat Kota Layak Anak (KLA). Hal ini merupakan program besar agar pada tahun 2030, Indonesia dapat mencapai predikat IDOLA (Indonesia Layak Anak). Namun, dibalik upaya daerah untuk mendapatkan predikat KLA, sejumlah fakta menunjukkan bahwa tindak kekerasan dan ekploitasi terhadap anak cukup tinggi.
Di Jakarta, Polda Metro Jaya pada senin lalu 19 September 2022 melakukan penyelidikan terhadap kasus penyekapan sekaligus eksploitasi seksual anak dibawah umur. Hal ini dialami oleh remaja putri NAT yang berusia 15 tahun. NAT mengaku telah dijadikan pekerja seks komersial selama satu setengah tahun (republika.co.id, 19/09/2022).
Tak hanya itu. Sebelumnya, juga terjadi 32 kasus tindak kekerasan yang menimpa sejumlah anak di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebuah lembaga kemanusian “Save the Childrean” yang mendampingi kasus ini menjelaskan bahwa kasus kekerasan yang menimpa anak di daerah tersebut cukup tinggi (tempo.co, 13/09/2022).
Meskipun jumlah daerah yang mendapatkan predikat Kota Layak Anak (KLA) semakin banyak, namun hal ini tidak menutup kejadian tindak kekerasan dan eksploitasi anak yang terus terjadi. Padahal, dalam sistem hukum di Indonesia, Indonesia memiliki seperangkat Undang-undang khusus untuk melindungi dan menjamin hak anak. Terlebih lagi, definisi dari Kota Layak Anak (KLA) adalah kota yang dapat membuat anak tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini dilakukan dengan cara merencanakan, menetapkan dan menjalankan program-program pembangunan yang berorientasi kepada hak dan kewajiban anak.
Jika dalam sebuah daerah yang menyandang predikat KLA masih ditemukan sejumlah tindak kekerasan terhadap anak, layakkah kota tersebut tetap menyandangnya? Mengapa tindak kekerasan terhadap anak tetap ada? Adakah solusi lain untuk menyelamatkan anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi?
Pada dasarnya, tindakan kekerasan dan ekploitasi yang terjadi terhadap anak memiliki beragam faktor. Baik dari faktor ekonomi, sosial, keluarga atau yang lainnya. Namun, bagi kota dengan predikat KLA, angka tindak kekerasan terhadap yang cukup tinggi menunjukkan bahwa keberadaan KLA tidak menjamin anak bebas dari tindak kekerasan.
Bahkan tidak menjamin pula anak mendapatkan haknya. Predikat KLA bisa jadi hanyalah sebuah predikat yang dinyatakan dalam sebuah penghargaan. Dimana kota tersebut telah memenuhi syarat prosedural sebagai KLA. Lantas, apa penyebab utama tindakan kekerasan dan ekploitasi anak tetap terjadi?
Harus dipahami, bahwa masyarakat dalam menjalani kehidupan tidak lepas dari aturan yang dibuat secara sistemik oleh sebuah negara. Di Indonesia sendiri, sistem yang digunakan sebagai pengikat aturan dalam negara adalah sistem sekular.
Segala aturan dalam sistem sekular dibuat oleh manusia tanpa memperhatikan aturan agama. Akibatnya sistem ini rawan berubah dan dikuasai oleh orang-orang yang memiliki kepentingan tertentu. Sebab sistem sekular lahir dari ideologi kapitalis dimana materi menjadi standar dalam kehidupan.
Alhasil, seperangkat aturan yang lahir dari ideologi kapitalis sarat akan munculnya perbedaan, pertentangan, perselisihan, bahkan menimbulkan kesengsaraan hidup bagi manusia. Lihat saja, ketika sistem ekonomi negara bertumpu kepada sistem ekonomi kapitalis. Sumber daya alam (SDA) yang seharusnya menjadi kepemilikan umum (rakyat) kini dikuasai oleh para oligarki.
Akibatnya, rakyat tak dapat menikmatinya sehingga harus berjuang sendiri untuk dapat mendapatkan dan memenuhi kebutuhannya. Sistem ekonomi yang kian merosot ditambah ketidakpedulian para pejabat negara akan nasib rakyat membuat rakyat tak sedikit yang melakukan tindak kriminalitas. Bahkan anak pun menjadi korbannya.
Dalam sistem pendidikan, kurikulum pendidikan yang tidak didasarkan kepada agama membuat rakyat menjadi tak tahu batasan apa yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Terlebih lagi di dalam sistem sosial, negara sekuler justru mengagungkan kebebasan berperilaku bagi setiap warganya. Sehingga membuat masyarakat tak segan berbuat semaunya. Akibatnya anak yang seharusnya mendapatkan teladan yang baik, harus melihat kerusakan moral yang terjadi di tengah kehidupan mereka.
Sungguh, tindakan kekerasan dan eksploitasi anak merupakan permasalahan sistemik yang membutuhkan solusi sistematis pula. Solusi itu ada di dalam Islam. Sebab Islam merupakan akidah ruhiyah sekaligus akidah siyasiyah.
Akidah ruhiyah merupakan dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan akhirat. Termasuk perkara keimanan. Sedangkan akidah siyasiyah merupakan dasar pembahasan tentang pemeliharaan urusan-urusan dunia. Akidah siyasiyah mencakup bagaimana Islam mengatur semua aspek kehidupan. Baik dalam aspek ekonomi, sosial, hukum, politik, pemerintahan, dan yang lainnya.
Dalam pandangan Islam, anak merupakan amanah dan aset bangsa. Anak merupakan generasi penerus untuk memimpin bangsa. Adalah sebuah kewajiban bagi keluarga, masyarakat dan juga negara untuk mengurus anak. Menciptakan kondisi yang kondusif agar anak dapat tumbuh kembang dengan baik.
Mendidik sesuai akidah Islam juga memberikan pemaham tentang syariat Islam. Agar semua itu dapat terlaksana maka membutuhkan penerapan Islam secara keseluruhan yang berada dalam sebuah naungan negara Islam.
Oleh: Firda Umayah
(Aktivis Muslimah Nganjuk)
0 Komentar