Topswara.com -- Masalah demi masalah terus berkembang di bumi pertiwi. Dari kasus polisi tembak polisi, kenaikan harga BBM yang disusul dengan kenaikan-kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya, hingga kasus koruptor yang semakin menjamur dan merambat ke kursi elite politik.
Seperti dalam kasus korupsi yang tidak menemukan titik akhir dalam penyelesaian. Yang menjadi sorotan publik di mana 23 narapidana koruptor kini bebas bersyarat. Masa hukuman para koruptor ini menjadi lebih pendek karena di potong remisi.
Dilansir detiknews.com (31/2/2002) Dalam aturan Permenkumham Nomor 7 Tahun 2022, disebutkan bahwa bagi koruptor yang ingin mendapatkan remisi koruptor sehingga dapat bebas bersyarat harus memenuhi persyaratan. Menkumham mensyaratkan bagi napi koruptor, syarat remisi koruptor adalah wajib sudah membayar denda dan uang pengganti.
Koruptor sering disebut dengan tikus berdasi yang sering melakukan suap menyuap dibawah meja kerja dalam lingkup pemerintahan. Tentu saja hal ini menjadi hal yang dibenci masyarakat karena termasuk mencuri uang rakyat ditambah dengan aturan yang diatas bahwa sudah 23 narapidana dapat remisi tahanan, dan hal ini membuat masyarakat geram.
Ditambah eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal ini memungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg. Beritasatu.com
Tak heran jika penahanan koruptor menjadi ringan, karena sistem yang digunakan di negara ini adalah demokrasi. Dalam demokrasi aturan bisa disesuaikan oleh pesanan tuannya. Bukan sekali aturan dalam demokrasi diotak atik. Beberapa kali kita dapati koruptor dimulai dari pejabat tinggi hingga pegawai rendahan mendapatkan hukuman yang ringan.
Sistem kapitalisme yang asasnya sekularisme pemisahan agama dari kehidupan yang menjadikan Al-Khaliq (pencipta) hanya disembah pada saat ibadah saja. Hukum Allah tidak dijalankan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam sistem kapitalisme menjadikan pemimpin yang seharusnya pelayan bagi rakyat malah menjadi penjilat rakyat. Mereka berkuasa bebas melakukan apa saja jika hal tersebut memberi manfaat kepada dia walaupun dengan mencuri atau melaksanakan keharaman.
Lalu bagaimana Islam memandang korupsi?
Dalam fikh Islam, memang tidak ada istilah khusus untuk korupsi. Modus korupsi bisa berupa penggelapan atau penyelewengan uang negara yang dapat dikategorikan perbuatan khianat, orangnya disebut khaa’in. (abdurrahman al-maliki, nizhamul uqubat, hlm.31). Semua modus korupsi tersebut adalah hukumnya haram dalam Islam karena diperoleh melalui jalan yang tidak syariat (ghairu al-masyru’) (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hlm.117-119)
Sungguh Allah ta’ala melarang keras memakan harta dengan cara yang batil tersebut. Allah berfirman dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahuinya,” (QS Al-Baqarah: 188)
Demikian pula, Rasulullah SAW. Melaknat perilaku yang demikian. Dari sahabat Abu Hurairah ra., beliau mengatakan, “Rasulullah melaknat penyuap dan yang menerima suap,” (HR Tarmidzi dan Ahmad). Sanksi (uqubat) untuk khaa’in bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri (qath’ul yad) sebagaimana diamanatkan dalam QS Al-Maidah:38, melainkan takzir yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim.
Islam sangan memperhatikan kasus korupsi sebagai kejahatan yang besar. Islam memberikan pencegahan agar tidak terjadi kasus korupsi. Pertama, membangun ketakwaan individu dan masuk dalam tanggungjawab negara untuk melakukan pembinaannya. Kedua, pemberian gaji dan fasilitas yang layak bagi pejabat publik oleh negara dan secara berkala negara menghitung kekayaan mereka.
Ketiga, membangun budaya anti suap yang tercermin pula dalam diri pemimpin. Keempat, penegakan hukum yang tegas bagi koruptor. Disis lain, bersikap sederhana dalam kehidupan menjadi sebuah pemandangan yang biasa dilihat oleh masyarakat akan keseharian para pejabat negara. Mereka tidak terbebani harta dan tidak takut ditinggalkan harta dunia. Mereka pun merasa tenang dan aman saat berlaku amanah dengan harta rakyat.
Pemimpin mulia, pejabat mulia, masyarakat mulia, hanya akan lahir dari sistem yang mulia pula, yakni sistem Islam yang hari ini tengah kita upayakan kembali dalam kancah kehidupan.
Oleh: Nurul Saharani
Sahabat Topswara
0 Komentar