Topswara.com -- Utang luar negeri Indonesia telah menggunung, kini menjadi Rp 7.000 triliun. Dilansir Republika.co.id (8/8/2022) Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengakui utang Indonesia mencapai Rp 7.000 triliun. Meskipun begitu, Luhut menegaskan utang tersebut merupakan utang produktif.
Ia juga berdalih bahwa utang tersebut terkecil di dunia, sebagaimana yang dilansir detik.com (8/8/2022) utang Indonesia sebesar Rp 7.000 triliun merupakan salah satu yang terkecil di dunia. Ia juga menyebut utang itu digunakan untuk proyek yang mendorong perekonomian negara.
Utang tetaplah utang, apalagi utang luar negeri sudah dipastikan mengandung riba. Sebagaimana yang kita tau dalam Islam riba adalah sesuatu yang haram.
Utang kerap menjadi jebakan ekonomi suatu negara bagi negara lain dan berujung pada efek tidak langsung, pertama, diperbudak investor. Ketika suatu negara berutang, pemerintahnya berharap akan ada pajak yang masuk untuk membayar utang (dicicil dan dilunasi). Di sinilah rakyat menjadi korban, bertambahnya utang rakyat terbebani dengan berbagai macam pajak yang terus mencekik.
Mereka berdalih utang mampu menopang pembangunan negeri, yang ada hanyalah menggerogoti negeri tersebut. Dilansir CNBC Indonesia (3/8/2022) Biaya pembangunan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCKB) membengkak dari rencana awal. Untuk menutupi kekurangan dana tersebut, Indonesia sebagai salah satu pemilik proyek akan mengambil pinjaman.
Kemudian proyek Waduk Jatigede, dilansir dari sindonews.com (23/7/2022) Waduk Jatigede yang mempunyai kapasitas tampungan sebesar 979,5 juta m3 merupakan waduk terbesar kedua setelah Waduk Jatiluhur. Nilai investasinya sebesar Rp4 triliun yang berasal dari APBN, sedangkan 90 persen mendapatkan pinjaman Bank Exim China.
Kedua, utang luar negeri digunakan untuk melemahkan kedaulatan negara terutama di bidang ekonomi. Semua kebijakan akhirnya ditentukan oleh oligarki, baik itu tarif listrik, tarif BBM, biaya kesehatan, pendidikan.
Hari ini, paradigma mengenai utang harus diubah. Utang bukanlah satu-satunya solusi membangun negeri, melainkan alternatif solusi. Itu pun tidak boleh ada intervensi negara lain dalam kerjasama ekonomi. Konsep inilah yang dianut dalam sistem pemerintahan Islam.
Dalam Islam, hukum utang boleh. Namun dalam perjanjian kenegaraan, pemerintah Islam (khilafah) menghindari berbagai bentuk skema utang yang memberikan syarat riba dan menjadi alat penjajahan.
Dalam sistem ekonomi Islam bersifat mandiri, jauh dari intervensi. Artinya khilafah mengerahkan segenap tenaganya untuk menjadi negara yang terdepan, terbebas dari intervensi dari negara lain, berdaulat atas negaranya.
Untuk itu, khilafah memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap, yakni fai, ganimah, anfal, kharaj, dan jizyah. Selain itu, ada pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya dan pemasukan dari hak milik negara berupa usyur, khumus, rikaz, dan tambang.
Dengan mekanisme inilah, khilafah membangun infrastruktur, menggalakkan eksplorasi, menstimulus berbagai inovasi, menjadi negara industri, hingga menjadi negara tangguh dan disegani negara-negara dunia lainnya.
Politik ekonomi khilafah adalah memenuhi semua kebutuhan dasar (primer) rakyatnya, orang per orang seluruhnya. Negara tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan sekunder atau tersier mereka.
Negara akan menjalankan fungsinya seamanah mungkin sehingga muncul kepercayaan di tengah masyarakat. Kepercayaan pada diri rakyat terhadap penguasa akan berefek pada ketaatan rakyat terhadap pemimpin mereka. Imbasnya, hal ini juga dapat memaksimalkan potensi sedekah dan wakaf yang sangat didorong dalam Islam dan bisa menjadi salah satu pintu pemasukan Baitulmal Negara.
Tidakkah kita merindukan negara yang amanah, mampu menjamin kebutuhan pokok setiap individu masyarakatnya, terbebas dari intervensi negara lain?. Sudah saatnya kita mengembalikan peradaban Islam.
Oleh: Alfia Purwanti
Analis Mutiara Umat Institute
0 Komentar