Topswara.com -- Menanggapi maraknya pemuda yang menunda dan enggan menikah karena merasa kurang mapan, Direktur Siyasah Institute, Ustaz Iwan Januar membeberkan ada perbedaan standar kemapanan antara Islam dan sistem yang diterapkan saat ini.
"Nah, fenomena ini muncul di mana-mana. Tidak hanya di tanah air saja, tapi muncul di beberapa negara terutama di negara-negara yang menganut paham sekularisme seperti Korsel dan Jepang," ujarnya di kanal YouTube Cinta Qur'an TV: Apa Sih Batas Hidup Mapan? Senin (25/07/22).
Beliau menambahkan, standar kemapanan yang dijadikan tolok ukur itu ternyata berubah-ubah dan berbeda-beda. Contohnya, dahulu standar mapan itu ketika seseorang sudah memiliki penghasilan terlepas apakah penghasilan itu berapa, yang penting punya pekerjaan.
"Tapi seiring dengan bergesernya waktu ditambah masuknya budaya-budaya yang mengedepankan hedonisme atau materi yang masuk dalam kehidupan kaum Muslim sehingga standar mapan itu lebih tinggi lagi," bebernya.
Kemudian Ustaz Iwan melanjutkan, dua hal terkait bagaimana Islam memandang kemapanan, pertama, yang harus dipahami bahwa kaum laki-laki mempunyai kewajiban untuk mencari nafkah. Dalam Surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya: "Dan kewajiban bapak memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf."
"Arti makruf itu adalah sesuatu yang lazim di tengah-tengah masyarakat. Jadi kalau misal seorang suami yang tinggal di suatu daerah yang kebiasaan makannya tiga kali sehari dan suami itu mampu memberikan makan sebanyak tiga kali, maka suami itu bisa dikatakan sudah mapan. Jadi standar kemapanan dalam Islam adalah kebutuhan pokok," terangnya.
Kemudian yang kedua menurut Ustaz Iwan adalah kemampuan dalam memberikan nafkah. Jadi ketika Nabi mengatakan: "Barangsiapa di antara kalian yang sudah sanggup menikah dan memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan biologis dan nafkah." Maka standarnya adalah berikan istrimu makan seperti yang kamu makan.
"Maka bagi laki-laki kewajiban mencari nafkah ini harus diperhatikan jangan sampai ketika mau menikah berpikir mapannya itu berlebihan dan tidak ada aturannya dalam agama," tegasnya.
Lebih lanjut beliau menekan bahwa ketika kondisi seperti saat ini di mana tidak setiap orang memiliki kemampuan, maka ada kewajiban negara untuk membantu kehidupan masyarakat termasuk dalam memberi tempat tinggal yang layak, juga masalah pekerjaan.
"Sehingga tidak akan muncul lagi fenomena laki-laki yang tidak mau menikah karena merasa tidak mapan. Karena dalam Islam tidak hanya laki-laki saja yang wajib mencari nafkah, tapi ada negara yang berkewajiban mencukupi warga masyarakat," tutupnya. [] Emmy
0 Komentar