Topswara.com -- Ketika menjelaskan alasan penamaan Iman Path, Ustaz Faris BQ mengingatkan agar di kalangan Muslim jangan sampai ada gap antara teks agama dengan konteks kekinian.
"Jadi, jangan sampai ada gap antara teks agama itu dengan konteks kekinian, " tutur pendiri Iman Path tersebut di rubrik Kata UFK, bertajuk 'Inilah Cara Menguatkan Iman di Kalangan Muslim Urban Ala Iman Path' di kanal YouTube Cinta Qur'an TV, Senin (8/8/2022).
Menurutnya, pendirian Iman Path sebenarnya untuk menjawab tantangan dalam diri sendiri, apakah benar Islam dapat menjadi solusi bagi manusia.
"Gerakan pembaharuan di Barat itu karena mereka merasa gagal untuk menghubungkan antara teks-teks agama mereka itu dengan tuntutan zaman. Kita khawatir juga kalau kemudian sifat atau sikap apatis kepada agama itu, merebak di kalangan Muslim. Sementara agama ini telah didesain sejak awal, cocok untuk seluruh zaman sampai hari kiamat," ujarnya.
Ustaz Faris menerangkan, keinginannya untuk membuat path (jembatan), agar tidak ada gap antara teks-teks agama dengan persoalan yang dihadapi manusia. Hal itulah yang menjadi alasan penamaan Iman Path.
"Jadi ini cita-cita, bagaimana keimanan
itu menjadi jembatan seseorang mendapatkan solusi dari agama, pada
apa pun persoalan dalam hidup dia," tuturnya.
Ia membeberkan bahwa bagi kalangan urban, mereka yang rasional, merasa melakukan, mereka dilahirkan dalam keadaan Muslim, hidup di tengah masyarakat Muslim, tanpa agama bisa hidup. Mereka menilai Islam tidak memberikan jawaban bagi persoalan mereka di meja-meja kerja mereka, di meeting-meeting bisnis mereka, di persoalan dalam rumah tangga mereka.
Repackaging
"Nah, kita ingin, kita ini hanya membangun jembatan. Karena itu jembatan antara teks dengan konteks, juga sangat dipengaruhi dengan pengemasan. Saya fokus ke sini. Pertama, saya percaya repackaging itu suatu kekuatan," terangnya.
Ia mencontohkan, Swiss sebagai negara paling terkenal penghasil coklat, itu enggak ada satu pun tanaman coklatnya. Tapi Swiss memiliki kekuatan repackaging.
" Mereka beli coklat dari Brazil, dari Afrika, kemudian mereka olah dibuat bentuk love, bentuk bintang, dan bentuk-bentuk lainnya, lalu dijual keluar. Made by Swiss. Jadi itu kekuatan pengemasan," ulasnya.
"Jadi saya hanya berusaha mengemas gitu. Kita coba kekuatan mengemas ulang itu. Mengemas ulang itu kan berarti tidak ada konten yang berubah. Secara konten tidak ada yang berubah. Tapi cara kita menyajikan saja yang berubah," paparnya.
Menurutnya, sekarang ada fenomena di masyarakat, yakni curiga dengan agama sendiri. Siapa yang lebih teguh beragama, dianggap berbahaya, radikal.
"Ini kan satu problem yang mendasar banget. Kita ingin perlihatkan kepada orang-orang, betapa asiknya ketika kita itu lebih dekat kepada nilai-nilai agama. Betapa menenangkan, betapa damai, " ulasnya.
Masyarakat Urban
Ustaz Faris BQ menerangkan bahwa untuk mewujudkan misi tersebut harus dipelajari realita masyarakat urban. Harus dilakukan riset tentang kehidupan urban.
"Kenapa urban? Pertama, tenaga kita terbatas, tim kita terbatas, dana kita terbatas. Maka, kita cari segmen yang lebih khusus dulu, kita nggak bisa jangkau lebih banyak. Maka, kita coba dululah kalangan urban," ulasnya.
Ustaz Faris melanjutkan penjelasan, kenapa masyarakat urban menjadi target dakwahnya. "Kedua, di era komunikasi seperti sekarang, mudah sekali apa yang dilakukan oleh orang urban menjadi lifestyle bagi orang-orang di daerah," ungkapnya.
Menurutnya, sekarang hampir tidak ada jarak antara Jakarta dengan kota-kota lain di luar Jawa. Jadi, ketika mereka melihat begitu antusiasnya orang-orang urban ini mengaji dan merasakan kedamaian dengan Islam, begitu juga yang lain. Itulah yang terjadi di kota-kota lain seperti Makassar, Surabaya, Malang, Riau, Medan.
"Kita kan sering diundang ke luar daerah. Kita melihat anak-anak muda ini, kenapa mereka kemudian menganggap keren diri mereka ketika mereka ikut ngaji. Sebab, mereka melihat apa yang ada di Bandung dan yang ada di Jakarta. Artinya kita melakukan ini sebagai bentuk cara kita memberikan teladan, untuk bisa diduplikasikan kepada tempat lain," jelasnya.
Ketiga, besarnya perkembangan kelas menengah di masyarakat urban. Ia mengungkapkan, bagaimana uang beredar hampir 70 persen di segitiga emas Jakarta. Banyak sekali orang yang secara ekonomi income per capita mereka tinggi sekali. Berdasarkan riset , semakin tinggi income per capita seseorang, semakin jauh dari agama. Agama hanya hadir di ruang-ruang formalitas keagamaan, ketika nikah, sunatan, meninggal dunia. Cuma itu.
"Kecuali ada satu negara, di mana ketika income per capita naik, tingkat religiusitasnya juga naik. Dan itu adalah Indonesia," ungkapnya.
Menurut Faris BQ, kalau fenomena tersebut tidak ditangkap, mereka mengaji hanya sebatas wisata spiritual. Baru mau ikut beberapa kali pengajian, mereka akan merasa begitu-begitu saja, lalu terjadi arus balik hijrah. Tentu hal tersebut sangat mengerikan.
"Maka kita coba tawarkan, bagaimana menjadikan Islam ini sebagai solusi dalam kehidupan. Tapi ada syaratnya, kamu ngaji ini bukan sebagai hiburan," pungkasnya. [] Binti Muzayyanah
0 Komentar