Topswara.com -- Dunia pendidikan terus menjadi sorotan. Terlebih adanya isu radikalisme yang kian meresahkan. Banyak diantara tokoh-tokoh umat menyerukan untuk mengawal adanya penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dengan menjadikan radikalisme sebagai biangnya. Tidak hanya para tokoh yang mengecam, pihak keamanan atas nama pemerintah juga telah turun tangan meningkatkan kewaspadaan.
Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono menyatakan bahwa memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme (humaspolri.go.id)
Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi mengatakan semua kegiatan radikalisme yang kemudian mengarah ke ekstremisme dan terorisme diawali dari sikap-sikap intoleransi. Definisi/arti kata "intoleran" di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna tidak tenggang rasa; tidak toleran.
Dari definisi ini, kita bisa menilai bahwa intoleransi adalah sebuah perilaku tidak menyenangkan, dapat membuat ketidakharmonisan dalam sebuah kebersamaan. Benar memang jika intoleransi adalah perilaku yang tidak sepantasnya dimiliki oleh seseorang. Hanya saja, dewasa ini, banyak kecaman yang selalu mengarahkan intoleransi ini justru kepada umat Muslim.
Contohnya, ketika seorang siswa yang dinasihati oleh gurunya untuk memakai kerudung, justru dinilai sebagai sikap intoleran, bahkan radikal. Padahal faktapun berbicara, banyaknya kasus-kasus kekerasan yang terjadi di kalangan pelajar, bukanlah berasal dari ajaran Islam, bahkan tentu semua agama tidak mengajarkan perilaku kekerasan.
Dalam dunia pendidikan, kurikulum pendidikan tentu menjadi prioritas utama dalam menentukan output anak didik. Maka tak heran di Indonesia bahkan sudah beberapa kali mengganti kurikulum pendidikan. Semua dilakukan untuk memajukan sistem pendidikan yang ada di negeri ini.
Ironisnya, meski beberapa kali berganti kurikulum, kasus-kasus penyimpangan masih saja banyak terjadi di kalangan remaja hingga mahasiswa. Banyaknya kasus narkoba, kekerasan seksual, bullying, pelecehan, dan lainnya.Tidak hanya pada anak didik, para pendidik turut mencederai dunia pendidikan dengan adanya kasus guru yang melakukan pelecehan seksual pada anak didik.
Ini menunjukkan ada yang salah dalam dunia pendidikan kita hari ini. Herannya, kasus-kasus penyimpangan yang terjadi justru dialamatkan pada narasi radikalisme yang berujung pada mengkambinghitamkan ajaran agama, terutama islam.
Sekularisme Biang Masalah
Jika kita menilik banyaknya fakta penyimpangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, sebagian pelakunya adalah para generasi yang seharusnya menjadi tonggak masa depan bangsa. Akan kita dapati, tergerusnya karakter generasi dalam menjaga pribadinya di lingkup kebaikan. Hal ini disebabkan jauhnya Islam dari kehidupan mereka.
Sistem pendidikan di negeri kita hari ini adalah sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga syariat Islam tidak menjadi aturan dalam kehidupannya. Padahal telah jelas bahwa Islam yang datangnya dari Allah SWT maha pencipta, adalah aturan untuk kehidupan manusia. Segala kebaikan ada di dalamnya. Namun mereka justru menjauhi ajaran Islam disebabkan adanya narasi radikalisme yang dituduhkan pada anak didik yang mulai mempelajari Islam secara total (kaffah).
Contohnya seperti lembaga ekstrakurikuler sekolah bernama rohis yang pernah dijadikan tuduhan sebagai sarangnya teroris. Atau bahkan adanya seorang mahasiswa di salah satu kampus di Kendari yang di DO akibat mendakwahkan Islam. Inilah yang disebut memonsterisasi dan mengkriminalkan ajaran Islam. Hal ini menyebabkan para generasi Muslim semakin menjauhi ajaran agamanya.
Menjauhnya generasi dari ajaran Islam (sekularisme) adalah biang dari segala penyimpangan. Misalnya, kasus bullying. Telah jelas di dalam Al-Qur'an, Islam melarang merendahkan martabat manusia (lihat TQS.Al-Hujurat:11), lantas ini dilanggar? Jelas mengantarkan pada penyimpangan yang berujung pada kerusakan.
Saat ini, aturan dari Allah SWT justru dikesampingkan. Diganti dengan aturan yang dibuat oleh manusia. Padahal jelas, bawa manusia adalah makhluk yang penuh keterbatasan, lemah, memiliki kebergantungan pada hal yang lain. Pantaslah jika kerusakan terjadi dimana-mana, sebagaimana firman Allah dalam surah ar-Tuum ayat 41.
Narasi Radikalisme Memuluskan Ide Islam Moderat
Sebenarnya, adanya tuduhan radikalisme dan intoleransi yang disasarkan pada umat Muslim, bukanlah sekadar narasi belaka. Melainkan salah satu cara memuluskan ide Islam moderat. Dimana Islam moderat dianggap sebagai solusi agar tidak menimbulkan permusuhan dengan negeri-negeri Muslim dan menjadi kontraproduktif.
Strategi tersebut dirancang memanfaatkan tangan-tangan umat Islam sendiri. Hal ini sebagaimana direkomendasikan Cheryl Benard–peneliti RAND Corporation—dalam pembukaan Civil Democratic Islam, Partners, Resources, and Strategies (2003).
Pasca peristiwa 11 September 2001 (serangan menara kembar WTC), isu perang melawan terorisme tidak pernah surut, bahkan tetap aktual hingga sekarang. Isu ini sengaja diupdate terus-menerus oleh negara imperialis dan antek-anteknya tidak lain untuk dijadikan alasan umum dalam memerangi pemikiran, organisasi, atau perjuangan yang berusaha melawan ideologi, kepentingan ekonomi-politik, dan imperialisme Barat atas negeri-negeri kaum Muslim.
Dalam pidato Heritage Foundation, 6 Oktober 2005, Sekretaris Dalam Negeri Inggris Charles Clarke menyatakan “....Tidak akan ada negosiasi tentang pembentukkan kembali khilafah, tidak akan ada lagi negosiasi tentang penerapan syariah Islam....” begitulah gambaran ketakutan Barat terhadap bangkitnya Islam.
Dengan kata lain, isu perang melawan terorisme, hingga berganti narasi radikalisme sejatinya dimaksudkan untuk mengukuhkan penjajahan dan dominasi Barat atas negeri-negeri kaum Muslim.
Pelabelan ‘radikalisme’ pada simbol-simbol dan ajaran Islam sengaja dilakukan untuk menahan munculnya kembali kebangkitan Islam.
Maka sudah sepantasnya, kita sebagai umat Muslim menyadari adanya agenda global ini, menyadari bahwa menjauhnya kita dari ajaran Islamlah yang membuat banyaknya penyimpangan, hingga kerusakan, tidak hanya di dunia pendidikan, tetapi juga di seluruh lini kehidupan. Mari kembali pada aturan yang Allah berikan untuk pulih lebih cepat, bangkit lebih kuat.
wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Fitriyani Thamrin Mardhan, S.Pd., M.Si.
(Praktisi Pendidikan)
0 Komentar