Topswara.com -- Menteri Koordinator Bidang Kementerian dan Investasi (Menko Mearves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui bahwa utang Indonesia berbilang besar.
Namun, menurutnya Indonesia mampu membayar utang tersebut. “Orang bilang kita ini utang banyak betul Rp 7000 triliun. Tapi kita berbanding itu hanya 41 persen dari produk domestik bruto (PDB) kita,” ujar dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) . Tahun 2022, disentul Internasional Convention Center di Bogor, sebagaimana disiarkan YouTube PPAD TNI, Jumat (5/8/2022)
“Dan angka itu jumlahnya dibayar oleh proyek proyek yang bagus, bukan uang yang hilang. Semua dibayar pembangunan,” tegasnya. Jakarta, Kompas.com
Sudah banyak diketahui bahwa utang luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang sangat signifikan bagi negara berkembang termasuk Indonesia, namun demikian dampak utang terhadap pembangunan ekonomi menunjukkan bahwa utang luar negri justru telah menimbulkan perlambatan pertumbuhan ekonomi bagi negara penghutang.
Banyak negara sedang berkembang (NSB) yang kini telah termasuk telah masuk dalam perangkap utang dan akhirnya hanyut dalam lingkaran ketergantungan utang.
Kondisi ini diperparah oleh budaya gemar berutang dan termanis istilah utang luar negeri dengan sebutan bantuan luar negeri. Celakanya utang luar negeri atau bantuan luar negeri dari negara-negara donor dan lembaga lembaga keuangan internasional seperti IMF dan bank dunia banyak dikorupsi orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini karena sistem ekonomi yang diterapkan adalah ekonomi kapitalisme. Yang mana setiap pembangunan yang dijalankan selalu mengandalkan utang luar negeri dan tentunya berbasis riba.
Pandangan Islam terkait Utang Luar Negeri
Secara bahasa al qardh berarti al qoth’ (terputus). Harta yang diutangkan kepada pihak lain dinamakan qardh karena ia terputus dari pemiliknya. Adapun yang dimaksud dengan utang piutang adalah memberi sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian di akan membayar yang sama dengan itu.
Pengertian sesuatu dari definisi di atas mempunyai makna yang luas selain dapat berbentuk uang ataupun berbentuk barang, asalkan barang tersebut habis karena pemakaian.
Transaksi utang diperbolehkan oleh para ulama berdasarkan hadis riwayat Ibnu Majah dan ijma ulama. Sesungguhnya demikian Allah SWT mengajarkan kepada kita agar meminjam sesuatu bagi agama Allah SWT sebagaimana Firman Allah dalam QS Al-Hadid (57) :11 sebagai berikut
منْ ذَا الَّذِيْ يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضٰعِفَهٗ لَهٗ وَلَهٗٓ اَجْرٌ كَرِيْمٌ
Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia.
Setiap Piutang yang Mendatangkan Manfaat Adalah Riba
Kalau dilihat ada berapa hal menjadikan utang luar negeri menjadi batil pertama, utang luar negeri tidak dapat dilepaskan dari riba padahal Islam tegas telah mengharamkan riba sebagaimana Allah sebat Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah (2) : 275
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبّطه الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengaramkan riba
Utang yang terkait dengan individu hukumnya mudah untuk itu setiap berutang kepada siapa saja yang dikendaki berapa yang diinginkan yang lebih baik kepada sesama rakyat maupun kepada orang asing.
Dalam Islam pembangunan ekonomi yang kuat dan mensejahterakan adalah sesuatu yang harus disandarkan kepada ekonomi sektor riil. Jumlah uang, produksi barang dan jasa mengalir secara sehat tidak ada namanya pengelolaan bunga. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang cenderung berbasis non riil, negara akan melarang setiap transaksi non riil yang berbasis riba dan spekulasi.
Negara Akan mendorong menciptakan ekonomi yang sehat dan menggerakkan sektor riil dan akan membuka industri baik bentuk barang dan jasa yang jelas tidak bertentangan dengan hukum syarak.
Negara harus memastikan bahwa uang yang beredar di masyarakat tak ada hambatan laju ekonomi barang dan jasa, dalam konteks Islam kedaulatan ekonomi yang dimaksud adalah mewujudkan ekonomi yang mandiri dan jauh dari intervensi dan ketergantungan terhadap asing.
Islam menjamin kebutuhan pokok setiap individu. Pada dasarnya memandang bahwa manusia memiliki kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi, jika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi maka bisa dipastikan akan menimbulkan masalah dalam kehidupan.
Islam memandang negara adalah pihak yang berkewajiban dalam menjaga dan memastikan setiap individu masyarakat untuk bisa mengakses kebutuhan dasar tersebut baik berupa bahan pokok berupa barang seperti sandang, pangan dan papan maupun dalam bidang jasa seperti pendidikan dan kesehatan.
Kemudian keuangan berdasarkan dinar dan dirham karena sistem mata uang mas lebih stabil dibandingkan dengan fiat money (uang kertas), kesamaan antara nilai instrinsik dan nominal yang membuat mata uang sulit untuk dimonopoli oleh negara tertentu, sebaiknya dalam menggunakan mata uang kertas ada fruktuasi dan ketidakstabilan dengan sistem bunga.
Untuk membiayai semua pengeluaran, negara Islam memandang penting untuk mengoptimalkan semua potensi sumber-sumber pendapatan negara. Islam memandang sumber-sumber ekonomi sangat luas seperti sektor perdagangan pertanian kepemilikan umum dan lain lain
Berbeda halnya dengan sistem kapitalis yang hanya berpatokan secara digit pada pajak dan utang. Pajak dijadikan sebagai pendapatan atau dana anggaran, dan utang kepada negara negara asing sebagai modal untuk pembangunan negara.
Islam mendorong potensi dari sumber-sumber ekonomi. Jika dikelola dengan baik memiliki potensi pendapatan yang sangat besar. Pendapatan yang diperoleh negara akan dikumpulkan di baitul mal, lalu dikelola disebutkan untuk keberlangsungan dan kemaslahatan negara.
Ini semua dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam melakukan pengurusan rakyat. Negara yang mampu menjalankan hal ini ada ialah hanya isu negara kuat dan berdaulat. Dan berdasarkan sejarah hanya institusi khilaffah yang mampu menerapkan sistem ekonomi Islam secara kaffah.
Wallahu ‘alam bi ashawwab
Oleh: Kania Kurniaty
Aktivis Muslimah Ashabul Abrar Kayumanis Bogor
0 Komentar