Topswara.com -- Persoalan buruh migran seolah tiada habisnya. Beragam kasus terjadi menimpa mereka yang herannya jumlah pekerja migran dari Indonesia tetap banyak peminatnya. Dengan motivasi tinggi yakni iming-iming gaji wah, pengiriman tenaga kerja baik legal atau ilegal terus mengalami peningkatan.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa ekspor Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjadi sumber penghasilan besar bagi negara (sumber devisa), kondisi ini mampu membantu pemerintah dalam mengatasi masalah kemiskinan dalam negeri akibat banyaknya pengangguran.
Bahkan, Indonesia menjadi negara pengekspor buruh migran terbesar di Asia bahkan dunia setelah Cina dan Filipina. Sulitnya lapangan kerja di dalam negeri akibat minimnya kesempatan kerja dan ketatnya persaingan kerja membuat rakyat terpaksa mencoba peruntungannya.
Mereka rela untuk berjuang dan bersusah payah mengais rezeki di negara orang, jauh dari sanak keluarga, walaupun dengan resiko tinggi. Meskipun mendapat stigma, rasis dan perlakuan yang diskriminatif dari pihak negara lain terhadap PMI masih sering terjadi.
Terutama yang dialami oleh PMI ilegal, mereka tertipu oleh biro penyalur ilegal atau bahkan mereka memaksa pergi tanpa dokumen resmi karena pengangguran dan tak mendapat pekerjaan di negerinya sendiri. Jadilah, keberadaan PMI ini dianggap penting walaupun permasalahan sering menimpanya.
Dengan jumlah yang banyak itu, PMI telah banyak memberikan sumbangan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Kendati begitu, keberadaan mereka masih rentan terhadap berbagai risiko.
Risiko seperti gagal ditempatkan, ancaman pengehentian kontrak, kecelakaan kerja, sakit, cuti tanpa dibayar, rekruitmen ilegal, perdagangan manusia, waktu kerja yang panjang, upah yang rendah, pemerasan dan pelecehan seksual.
Bahkan mereka kerap kali mendapatkan perlakuan tidak manusiawi dari para majikannya. Dan juga tidak sedikit kasus penganiayaan fisik yang menyebabkan cacat dan penganiayaan psikis yang mengakibatkan terganggunya mental dialami para PMI. Adapula setelah dianiaya banyak yang tidak mendapatkan gaji, terjerat utang dan banyak yang hilang bahkan meninggal dunia.
Pada momentum peringatan Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia pada 31 Juli 2022 kemarin, Serikat Buruh Migran Indoensia (SBMI) berharap Pemerintah RI dapat membangun kesadaran kritis masyarakat dan merefleksikan kerentanan Pekerja Migran Indonesia (PMI/TKI) menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), khususnya di masa pandemi Covid-19.
Sebanyak 60 WNI mengalami penyekapan di Kamboja. Hal ini mengindikasikan masih sangat besar dorongan mencari kerja di luar negeri meski risiko keselamatan dan nyawa mengancam. Namun, kasus TPPO/trafiking tidak cukup hanya diselesaikan dengan usaha pembebasan-penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah.
Sistem kapitalisme sekulerisme yang diterapkan di negeri kita saat ini, telah membangun sebuah paradigma bahwa negara adalah fasilitator/regulator, dan bukan sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Khususnya bagi PMI.
Masih banyak berkeliaran jasa penyalur PMI yang illegal atau tidak memiliki izin resmi, sehingga mereka tidak bertanggung jawab akibat sistem pengaturan dan pengawasan yang lemah.
Kurang tegasnya perjanjian kerjasama dengan negara pengimpor PMI, akibatnya PMI kerap kali bermasalah. Seolah-olah hukum dan kebijakan yang komprehensif di negara pengimpor terkait perlindungan PMI tidak ada wujudnya.
Minimnya informasi tentang hak perlindungan, pelayanan, serta hak hukum dan kebijakan di negeri pengimpor jasa PMI. Terlebih lagi dari aspek sulitnya komunikasi menyebabkan persoalan yang belum terselesaikan sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Terkesan negara tak mampu melindungi PMI yang merupakan rakyat Indonesia sendiri. Padahal menurut konstitusi melindungi seluruh rakyat Indonesia adalah kewajiban negara.
Dalam sistem pemerintahan Islam, negara memiliki kewajiban untuk memelihara dan mengatur urusan umat. Rasulullah SAW bersabda : “ Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya. “ (HR. Bukhari dan Muslim).
Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) untuk memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja.
Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan dan menciptakan lapangan kerja bagi setiap laki-laki sebagai kepala keluarga. Inilah bentuk tanggung jawab negara terhadap rakyatnya dalam hal pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat sesuai dengan syariat Islam.
Semua ini telah dipraktekkan oleh para khalifah di masa kejayaan dan kegemilangan penerapan hukum Islam dalam kehidupan. Jika ketersediaan lapangan kerja di dalam negeri cukup, maka rakyat tak perlu mengais rejeki di luar negeri menjadi PMI yang memiliki risiko tinggi sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Terlebih lagi bagi perempuan, dalam pemahaman Islam, seorang perempuan yang bekerja di luar negeri seharusnya tidaklah dilakukan. Karena tugas utamanya sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. Adapun hukum bekerja bagi seorang perempuan adalah mubah/boleh, asal tidak meninggalkan tugas utamanya.
Dalam sistem Islam, negara wajib memberi jaminan perlindungan keamanan bagi rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (Al-Hadis).
Mekanisme jaminan keamanan ini adalah dengan menerapkan aturan yang tegas bagi siapa saja yang menggaggu keamanan jiwa, darah dan harta. Jika rakyat di siksa sampai terbunuh dalam Islam dikenakan sangsi qishash yang merupakan hukuman setimpal bagi pelaku pembunuhan. Dan sanksi berbeda untuk kejahatan lainnya sesuai dengan syariat Islam.
Dijamin setiap orang jera dan takut untuk melakukan kejahatan tersebut. Adanya kasus kejahatan seperti penganiayaan dan segala tindakan yang melanggar hak rakyat termasuk PMI tidak akan terjadi lagi. Negara juga wajib menjamin keamanan dari upah yang menjadi hak para pekerja.
Sehingga tidak akan pernah terjadi upah tidak dibayar oleh majikan. Seperti yang kerap terjadi pada PMI sekarang ini. Serta menjamin keamanan harta pengusaha/majikan berupa asset-assetnya. Perlindungan total ini hanya dapat dilakukan jika pemerintah menyediakan ketersediaan lapangan pekerjaan, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan dasar setiap rakyat sehingga tidak perlu sampai terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri.
Bagi rakyat yang ingin berkarir di luar negeri maka pilihan tersebut harus diiringi tiadanya madharat dan pemberian jaminan perlindungan oleh negara. Sistem Islam telah mewajibkan negara untuk memberikan perlindungan terhadap rakyatnya.
Penerapan syariat Islam secara kaffah menjadikan negara Islam bermarwah dan bermartabat tinggi, memiliki bargaining posisi paling tinggi dari negara lain. Sebagaimana yang telah terjadi selama 13 abad masa kejayaan Islam. Wallahua’lam bish shawab
Oleh: Eva Sanjaya P.
Komunitas Tinta Pelopor
0 Komentar