Di sisi lain perhatian pemerintah terhadap cikal bakal generasi emas ini telah memprioritaskan pada bidang pendidikan anak di masa keemasannya. Salah satu kebijakan yang menopangnya adalah dengan dikeluarkannya Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 63 Tahun 2022, tentang pelaksanaan wajib PAUDsatu tahun.
Melalui Perbup ini diharapkan menjadi standar kemajuan bangsa dalam bidang pendidikan jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), baik formal maupun informal. “Dengan Perbup tersebut, kita harapkan semua anak usia dini di Kabupaten Subang, dapat terlayani oleh paud,” ujar Kang Jimat sapaan akrab untuk Bupati Subang Ruhimat. (m.rri.co.id, 17/7/2022).
Sosialisasi Perbup ini pun telah dilakukan pula oleh Kemenag Subang dan organisasi Ikatan Guru Raudhatul Athfal / IGRA kepada jajaran kepala sekolah dan guru-guru RA Se-kabupaten Subang, tanggal 13-Juli-2022 dilingkungan kantor Kemenag Kab. Subang. Dalam acara tersebut hadir pula ketua Himpaudi kabupaten Subang, Ade Ahmad Ghozali, S.Pd.I. dan Bunda Yoyoh Sopiah Ruhimat.
Keduanya, memberikan rekomendasi bahwa dengan keberadaan Perbup ini, akan mampu mencetak dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkarakter, bermartabat dan berakhlak mulia. Melalui pendidikan usia dini yang sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak. Namun, semua itu memerlukan keterlibatan semua pihak, baik keluarga, sekolah, masyarakat dan negara secara umum.
Miris, pada faktanya saat ini pendidikan terhadap anak dialihkan kepada pihak ketiga (baca: lembaga/sekolah). Hingga terciptalah konsep pemikiran bahwa, anak yang mampu calistung (baca, tulis dan hitung) adalah sebuah keberhasilan dari orangtua atau sekolahnya. Keluarga Muslim pun latah dan membiarkan tumbuh kembang buah hatinya dengan apa adanya. Mereka tidak menjadikan Islam sebagai rujukan utama mendidik anak-anak.
Alih-alih mencetak generasi unggul, keluarga Muslim yang menyandarkan segala sesuatu pada materi dan manfaat saja. Virus-virus liberal (baca: kebebasan) ini melahirkan generasi yang melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya, tidak memperdulikan halal-haram ataupun surga-neraka. Inilah buah dari gempuran virus liberalisme dan sekularisme ini tidak dapat dibendung.
Perlu dipahami ide sekularisme ini memandang bahwa agama tidak perlu ikut campur dalam permasalahan kehidupan, baik urusan keluarga, masyarakat dan negara. Walhasil mereka itu akan hidup sesuai dengan hawa nafsunya, baik itu yang disukai ataupun sebaliknya. Mereka pun mengingkari fungsi keluarga sebenarnya dalam Islam, yang sebagai basis pendidikan pertama anak.
Atas nama liberalisasi, para orang tua yang tidak memahami cara pengasuhan yang benar. Anak-anak ini tidak menerima pendidikan dari dalam rumah tersebab ayah dan ibu sibuk bekerja demi memenuhi pundi-pundi rupiah. Sehingga demi memenuhi kebutuhan fisik dan finansial yang tinggi adalah standar kebahagiaan. Padahal, sepatutnya rumah ini menjadi tempat menyemai kasih sayang dan penancapan ilmu bagi anak untuk bisa mengarungi kehidupannya.
Saat para keluarga Muslim ini menyerahkan tanggung jawab pada lembaga atau sekolah, yang pada faktanya sistem pendidikan saat ini tak luput dari serangan pemikiran liberal dan sekuler. Para ibu lebih bangga kepada anak balitanya yang berlenggak-lenggok bak model catwalk dengan memakai baju yang lucu seksi dengan memperlihatkan auratnya. Tapi, Islam telah memerintahkan kepada para Muslimah untuk menutup aurat secara sempurna dengan balutan jilbab dan uluran khimar.
Dengan demikian perlu adanya perubahan konsep pemikiran tentang pendidikan anak usia dini dan perubahan signifikan keluarga Muslim agar mampu melahirkan generasi unggul dan berakhlak mulia, hal ini bisa dilakukan dengan beberapa tahap.
Pertama, paham tentang fungsi sebuah keluarga. Terlepas nantinya akan diserahkan kepada lembaga atau sekolah. Namun, konsep awal tentang pembinaan pendidikan dalam keluarga dan ibu menjadi guru pertama adalah utama.
Kedua, menanamkan keimanan yang kuat dalam diri anak-anak. Disadari pula dalam benaknya bahwa hidup adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukan mengikuti hawa nafsunya, hingga saat berada dalam posisi yang diinginkannya itu ia akan menyandarkan segalanya kepada syari’at dan niat karena Allah semata.
Perlu dipahami juga bahwasanya ketaatan adalah representasi dari iman yang kokoh. Jadi bukan hanya sekadar ibadah mahdah saja, tapi segalanya disandarkan pada hukum syara dan perbuatannya terikat oleh aturan-aturan Allah. Atas dasar inilah keluarga atau orang tua adalah pendamping anak saat terjadi pelanggaran, maka jangan dibiarkan saat fungsi kontrol, nasihat, amar makruf nahi mungkar ini terkikis.
Orangtua perlu memberikan reward dan punishment itu kepada anak. Hingga, tidak boleh menolerirnya saat ia bermaksiat kepada Allah. Harapannya semoga generasi saat ini terhindar dari sekularisme. Menjadi generasi muslim yang unggul dan berakhlak mulia dalam keimanan, taat dalam perilaku, serta senantiasa berhadap rida Allah.
Wallahu a'lam bishawwab
Oleh: Siti Aisah, S. Pd.
Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang
0 Komentar