Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Karhutla Terjadi Lagi, Salah Kapitalisme


Topswara.com -- Karhutla terjadi lagi. Dari tahun ke tahun tanpa menemukan solusi dan masih menjadi PR besar untuk Indonesia. Sejak memasuki 2022, seluruh wilayah di Indonesia memang sudah bersiap menghadapi bencana karhutla. 

Bahkan, lima provinsi di Indonesia, yakni Riau, Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat, sudah menetapkan status siaga darurat karhutla. Baru-baru ini karhutla terjadi di Kalimantan Tengah pada lahan seluas 7,5 Hertare. Selanjutnya juga karhutla terjadi di Aceh Selatan dan petugas mengalami kesulitan memadamkan api. 

Di Bengkayang, Kalimantan Barat, disebutkan oleh Kapolres, AKBP Bayu Suseno, "Data kami menyebutkan penanganan karhutla pada 2022, selama Januari-Agustus sudah terpantai adanya 501 hotspot di sejumlah kecamatan." (Ruai TV, 22 Agustus 2022). Meski demikian, Polres Bengkayang belum menemukan upaya penegakan hukum terhadap kemunculan hotspot itu. Dan masih mengedepankan upaya preventif. 

Terbukti sejak Januari hingga saat ini telah terjadi ratusan kasus karhutla. Kompas (28/07/2022) mencatat, periode Januari—Juni 2022, luas karhutla di tingkat nasional mencapai 59.130 hektare. Padahal, pada periode yang sama tahun 2021, karhutla “hanya” mencapai 52.578 hektare. 

Dari tahun ke tahun luasan hutla yang terbakar meningkat dengan angka yang luar biasa. Pada 2021 saja luasannya mencapai angka 358.867 ha. Jumlah tersebut meningkat 20,85 persen dibanding tahun 2020 yang luasannya sekira 296.942 ha.

Penyebab karhutla memang tidak tunggal. Faktor kekeringan diduga memicu terjadinya karhutla. Kebakaran terutama terjadi di hutan yang dulunya hutan gambut yang kering dan mudah terbakar. 

Alih fungsi hutan menjadi hutan menjadi lahan sawit menjadikan hutan harus diubah untuk jadi lahan siap tanam. Keterbatasan finansial atau lebih tepatnya pilihan paling murah untuk membersihkan lahan secara manual membuat sebagian masyarakat dan perusahaan memilih menggunakan api sebagai solusi. 

Jadi , tidak sedikit karhutla terjadi akibat sengaja dibakar dan termasuk juga terjadi di lahan konsesi hutan. Timbul pertanyaan, apakah yang membakar perusahaan sendiri? Karhutla paling banyak adalah faktor manusia, terutama akibat pembakaran yang disengaja untuk pembukaan lahan oleh industri atau perusahaan. Pembakaran dianggap lebih murah untuk bisa mengubah fungsi hutan menjadi lahan sawit atau lainnya.

Pada 2015, statistik Kementerian LHK mencatat 63 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan hutan. Jumlahnya sekira 120.773.440 ha. Pada masa sebelum itu, Indonesia sempat menjadi wilayah yang hutan tropisnya terluas kedua di dunia setelah Brazil.

Namun akibat pemerintah Indonesia sangat mengakomodasi segala usaha pengolahan hasil hutan dengan berbagai pemberian konsesi pada korporasi. Misalnya, Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan hingga konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Puluhan juta hutan menjadi beralih fungsinya. Hal ini tidak hanya terjadi sekarang tapi sejak zaman orde baru. 

Tidak heran, sejak 1986 hingga sebelum industri hutan limbung pada 1998, ada sekira 600 perusahaan yang diberi hak mengelola hutla dengan luas lebih dari 64 juta hektare. Sementara saat ini, tersisa 201 perusahaan yang mengelola konsesi seluas 19 juta hektare.

Bencana karhutla yang menyebabkan kerusakan lingkungan, bencana alam, perubahan iklim dunia, menganggu keseimbangan ekosistem, bahkan mengakibatkan korban jiwa ini diakibatkan adanya paradigma kapitalisme yang menganggap keuntungan materi lebih penting dibanding hal lain. Karhutla ini juga menjadi penyebab kekurangan air bersih dimana-mana. Selain itu Indonesia pun dikenal sebagai negara mengimpor polusi asap. 

Dampak-dampak luar biasa yang terjadi hanya untuk memenuhi keserakahan oligarki yang ingin membuka lahan untuk keuntungan korporasi mereka. 

Izin usaha pemanfaatan hasil hutan produksi diantaranya berupa kegiatan penebangan, pengangkutan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, pemasaran hasil hutan. Nyatanya yang dilakukan perusahaan hanya penebangan, pengolahan, dan pemasaran. Tentu ini karena mereka ingin mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. 

Tetapi sungguh ironis. Upaya penyelesaiannya hanya pada permukaaan saja. Biasanya yang diproses hukum hanya perorangan saja tanpa menyentuh akar masalah. Pengadilan pelaku kebakaran hanya menyentuh sedikit pelaku. Itu pun tanpa akhir proses hukum yang adil. 

Selain itu tawaran solusi yang ditawarkan hanya sekadar himbauan masyarakat untuk membakar hutan. Padahal kita tahu jika karhutla hanya dilakukan oleh individu petani misalnya, maka lahan yang terbakar tidak akan seluas pada kenyataan sekarang. 

Lahan yang luas dimiliki oleh perusahaan-perusahaan pemilik konsesi lahan. Siapa sangka hampir 83,4 persen lahan gambut di seluruh wilayah Indonesia telah rusak akibat keserakahan korporasi dan para kapitalis yang ingin mengeruk keuntungan kebesar-besarnya dari hutan Indonesia. 

Selain itu, tawaran solusi yang meminta perusahaan pemilik konsensi lahan untuk memiliki peralatan pemadam kebakaran di perusahaan sungguh adalah solusi yang jauh panggang dari api. 

Karena bukan soal memadamkan api tetapi soal larangan membakar hutan yang terbukti menimbulkan kerusakan dan juga soal dilarangnya penguasaan hutan oleh individu, swasta bahkan asing. Karena hutan adalah milik umum yang kemanfaatannya dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat. 

Dalam Islam, hutan termasuk kepemilikan umum yang pengelolaannya hanya ada di tangan negara. Allah menciptakan hutan dengan segala potensinya. Allah juga telah menempatkan hutan sebagai kekayaan milik umum (rakyat). Artinya, hutan tidak boleh diprivatisasi atau dirusak segelintir orang, harus dijaga dan dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. 

Rasulullah SAW. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Berdasarkan hal itu, negara berkewajiban menjaga kelestarian dan keberadaan lahan gambut sesuai dengan fungsinya. Lahan gambut tidak boleh dirusak karena keberadaannya melindungi bumi dari perubahan iklim. 

Negara juga perlu bersikap tegas terhadap para kapitalis, korporasi untuk melindungi rakyatnya. Apabila memang terjadi karhutla karena ulah manusia, akan ditangani dengan baik dan diselesaikan dengan tegas sesuai sistem sanksi Islam yang adil. Hanya sistem Islam saja yang bisa menjaga dan melestarikan hutan ciptaan Allah ini. 

Wallaahu alam bishawab.


Oleh: Salma Shakila
Analis Muslimah Voice
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar