Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Islamofobia Hingga ke Kurikulum Universitas, Islam Kian Dilibas?


Topswara.com -- Takut! Benci! Anti-Islam. Kata-kata tersebut tidaklah berlebihan jika disematkan kepada rezim India dan pengikutnya. Sebab, aksi kekerasan akibat kebencian terhadap Islam dan kaum Muslim masih terus terjadi. 

Tidak henti-hentinya, para aktivis pembenci Islam garis Hindu-Ekstrem selalu mencari cara untuk mendiskreditkan dan memarginalkan Islam dan kaum Muslim di India. Baik dengan cara yang halus melalui kampanye kebencian film-film Bollywood hingga aksi nyata kekerasan fisik. 

Segala celah dicari untuk menanamkan penyakit Islamofobia di sana. Bahkan hingga ke ranah pendidikan tinggi. Konon, pendidikan tinggi adalah tempat lahirnya orang-orang intelektual dan anti tekanan otoritas manapun. Sebab pendidikan tinggi idealnya memberikan output yang berbeda dari sekedar orang-orang yang mudah terprovokasi.

Namun ternyata tidak demikian faktanya. Apalagi jika pendidikan tinggi tidak memiliki idealisme yang jelas. Karena sejatinya pendidikan tetap berada di bawah naungan institusi suatu negara. Kebijakan penguasa tertinggi masih mampu memberikan tekanan terhadap pendidikan khususnya universitas dan sejenisnya untuk mengukuhkan program-program pemerintahannya. 

Seperti yang dilansir dari India Today.com (Selasa, 02/08/2022) bahwa Universitas Muslim Aligarh (AMU) sebagai universitas Islam yang termasuk masyhur di India bahkan kalangan umat Islam dunia memutuskan akan menghapuskan buku-buku karya ulama besar seperti  Maulana  Abul A'la Al-Maududi dan Sayyed Qutb dari kurikulum pendidikan AMU.

Pasalnya, penghapusan tersebut telah ditetapkan oleh pihak komite pengelola AMU karena menyahuti adanya surat yang dilayangkan oleh beberapa aktivis sosial dan akademisi kepada Narendra Modi, bernama Madhu Kiswar. Meskipun sebagian namanya tidak disebutkan, mereka mengklaim bahwa Al Maududi dan Sayyed Qutb adalah ulama asal Pakistan. 

Pihak Universitas Aligarh seperti tidak berkutik dan memiliki pilihan lain kecuali mengabulkan keinginan penulis surat tersebut. Padahal, ulama-ulama tersebut dan karyanya telah lama menghiasi kurikulum Aligarh khususnya di Departemen Pendidikan Islam. 

Meskipun pihak Departemen Pendidikan Islam, seperti Prof. Muhammad Ismail telah menyatakan bahwa konten buku-buku tersebut tidaklah mengandung kontroversi apapun seperti anti-Hindu dan sebagainya sebagaimana diklaim oleh para pengusung penghapusan itu. 

Ironisnya, seruan itu tidak hanya ditujukan kepada AMU, juga termasuk untuk Universitas Jamia Milia Islamia, dan Universitas Hamdard. Ketiganya merupakan universitas Islam terbesar dan terkenal di India. 

Kasus penghapusan kurikulum yang memuat pemikiran Al Maududi, Sayyed Qutb dan sebagainya adalah bukti bahwa aroma busuk islamofobia di India kian menyengat dan Islam terus dilibas. Bahkan hingga ke perguruan tinggi Islam sekalipun, mereka tidak rela jika ada pemikiran yang diajarkan untuk memahami syariat Islam yang sebenarnya dan seluruhnya. 

Pemikiran Al Maududi dan Sayyed Qutb juga ulama lain di zaman keduanya memang terkenal sangat islami. Artinya, kedua ulama tersebut begitu kental menyuarakan Islam, syariat, penegakan syariat Islam, dan seruan untuk kesatuan umat Islam sedunia dalam ukhuwah tanpa batas wilayah. Itulah yang diajarkan dalam Islam sebagai bagian dari kewajiban kaum Muslimin di manapun berada. 

Tentu saja hal tersebut sangat menakutkan bagi pembenci Islam seperti kelompok Hindu garis keras yang ada di India. Apalagi saat Partai BJP sekarang berkuasa, kegilaan mereka terhadap gerakan anti-Islam semakin berkembang. Sebab rezim BJP di bawah kepemimpinan Modi sangat mendukung hal itu. 

Di sisi lain, paham nasionalisme atau menanamkan kebencian terhadap Pakistan tentu sangat disukai oleh kelompok Hindu ekstrem. Sebagai pembenci Islam, mereka ingin agar kaum Muslim terpecah belah dan saling membenci atas nama superior kebangsaan. 

Bukankah mereka ingin mengajak umat Islam khususnya mahasiswa yang ada di perguruan tinggi Islam di India membenci umat Islam Pakistan? Hingga sampai ke karya ulamanya pun harus disingkirkan dari kurikulum pendidikan tinggi Islam. Sentimen atas nama nasionalisme dan kecintaan terhadap India, bisa saja menjadi senjata mereka untuk memudahkan kaum Muslim di India mengikuti kehendak kelompok Hindu ekstrem tersebut. 

Kehidupan umat Islam di India semakin hari semakin tertekan dari segala arah. Ditambah jumlah yang bukan mayoritas, membuat kaum Muslim sulit bergerak dan bernafas di sana. Segala sisi dikebiri bahkan hingga penggunaan kurikulum di kampus Islam sekalipun. 

Seharusnya, negara India yang selalu menggembar-gemborkan toleransi dan keberagaman tidak perlu ikut campur atas pelaksanaan agama orang lain khususnya Islam. Apalagi sampai mengatur kurikulum pendidikan tinggi Islam. 

Namun, itulah kebenarannya. Ketika umat Islam tidak punya pelindung dan perisai di tengah-tengah mereka, maka serangan musuh akan terus memburu. Baik mengenai fisik, maupun psikis (pemikiran dan perasaan). 

Pendidikan tinggi Islam yang seharusnya mencetak generasi-generasi rabbani, ideologis, politis, kini tidak lagi berkutik. Sebab pendidikan tinggi yang berwajah Islam sekalipun tidak memiliki kekuatan di bawah ideologi sekuler. 

Oleh karena itu, pendidikan tinggi  Islam dan kurikulum di dalamnya hanya akan sesuai dengan syariat Islam jika negara yang menaunginya juga menerapkan ideologi Islam. Hanya dengan penerapan Islam secara kafah, perguruan tinggi Islam di seluruh negeri Muslim akan berfungsi maksimal dan juga jadi institusi yang diberkahi karena mencetak para ulama yang intelek dan taqwa. Allahu a'lam bissawab.



Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Analis Mutiara Umat Institute
Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar