Topswara.com -- Di tengah hiruk pikuk negeri, masyarakat harus mengahadapi harga telur yang terus melangit hingga pekan ke empat bulan Agustus.
Pada Senin (29/8/2022), harga telur rara-rata nasional dibanderol Rp. 31.500 per kg bahkan di Papua harganya tembus Rp 40.200 per kg. Ini sudah melonjak 7,1 persen dalam sebulan dan hal ini merupakan harga tertinggi dalam sejarah Indonesia (cnbcindonesia.com).
Kenaikan ini sangat berdampak pada masyarakat. Otomatis daya beli masyarakat menurun. Juga pada pengusaha skala kecil, menurun omsetnya. Bahkan berlanjut pada bertambahnya angka pengangguran.
Karena para pelaku usaha omsetnya menurun, otomatis agar tidak bangkrut mereka akan mengurangi pekerjanya. Akhirnya angka kemiskinan meningkat, lalu berdampak pada asupan gizi rakyat. Yang awalnya mengkonsumsi telur sehari 2 butir, akhirnya makan 1 butir saja, atau bahkan tidak sama sekali.
Bagai tikus mati di lumbung padi, begitulah kiranya kondisi negeri. Negara agraris dengan berlimpah karunia hasil tani dan perikanan, namun rakyatnya seolah tak kebagian ‘buahnya’. Bahkan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari untuk mengisi perut rakyat harus merogoh kocek begitu dalam.
Ironisnya, alih-alih bersatu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah justru tampak saling adu argumen belaka. Melansir Kumparan Bisnis (25/08/2022), Mendag Zulkifli Hasan menyebut bahwa kenaikan harga telur ini disebabkan oleh kebijakan Kementerian Sosial (Kemensos) yang merapel bantuan sosial (bansos) selama tiga bulan.
Ia menilai bansos telur menyebabkan lonjakan permintaan terhadap telur meningkat signifikan di saat pasokan turun. Menanggapi hal tersebut, Menteri Sosial Tri Rismaharini membantahnya dan mengatakan kementeriannya tidak memberikan telur sebagai bansos sehingga tingginya harga telur tidak ada kaitannya dengan kebijakan bansos.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo berpendapat lain. Menurutnya, tidak ada masalah dengan pasokan, produktivitas telur nasional masih aman. Jadi, telur mahal bukan karena pasokannya yang kurang. Domain Kementan sendiri hanya produktivitas.
Padahal seharusnya setiap kementerian bisa bahu-membahu menjunjung visi mensejahterakan masyarakat dengan mencari penyebab harga telur naik, lalu menyelesaikannya bersama.
Pada Rapat Pimpinan Provinsi III tahun 2022, hari Sabtu lalu, Kepala Badan Pangan Nasional Arit Prasetyo Adi menyebutkan bahwa kenaikan harga telur karena pemerintah sedang mencari keseimbangan atau ekuilibrium sebagai akibat naiknya beberapa variabel biaya, contohnya pakan. Dikarenakan sebagian besar masih impor, maka ketika terjadi gejolak mata uang harganya juga ikut naik (wartaekonomi.co.id 28/08/2022)
Perlu diketahui bahwa harga pakan memiliki pengaruh sekitar 70 persen pada biaya produksi terhadap hasilnya, baik broiler maupun layer. Sementara itu, bahan baku utama pakan ternak, yaitu jagung, sebagian besarnya diimpor.
Terlebih sebab liberalisasi perdagangan negeri dengan langkah bergabungnya Indonesia dalam World Trade Orgnization (WTO) mengharuskannya membuka akses penghapusan biaya masuk impor dan negara kian diserbu berbagai produk impor termasuk jagung, kedelai dan sebagainya. Tentu harganya bisa dikendalikan importir.
Menkeu Sri Mulyani mengatakan hanya dua perusahaan di Indonesia yang menguasai industri unggas dari hulu ke hilir. Perusahaan integrator itu merupakan perusahaan peternakan unggas besar terintegrasi. Mereka menguasai mulai dari produksi, pakan, daily old chick (DOC), sapronak, budi daya ayam, budi daya telur, sampai produk olahan.
Wajar saja harga bisa dikendalikan dan peternak unggas kecil dirugikan. Seperti yang dikeluhkan para peternak ayam terkait harga pakan yang tinggi. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap harga telur (finance.detik.com).
Inilah alasan dibalik mahalnya harga pakan ternak khususnya ayam, yaitu karena sektor produksi pakan ternak sudah dikuasai korporasi besar yang berasal dari negara asing. Dari sisi modal dan daya saing, korporasi adalah pemain kuat dan besar.
Ini faktor tersebut menjadi bukti bahwa cengkraman kapitalisme dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian internasional seperti WTO hanya menjadikan negeri tidak mandiri dan selalu bergantung pada pihak asing-aseng. Yang kemudian hal ini berpengaruh pada tata kelola sektor peternakan.
Tatanan dalam sistem kapitalisme menjadikan pemerintah lebih berpihak pada korporasi dan mengabaikan hak rakyat. Bahkan lalai akan tanggung jawabnya sebagai pengurus urusan rakyat.
Dalam tatanan kapitalisme neoliberal fungsi negara sebatas regulator dan fasilitator, yaitu pemberi ijin bagi korporasi dan pembuat aturan yang berpihak pada korporasi.
Dimana korporasi sebagai operator, sebagai pelaksana (menguasai) pemenuhan pangan rakyat, yaitu korporasi swasta dan BUMN, yaitu produksi dan impor. Disamping itu Lembaga pangan (Bulog dan BUMN) berubah menjadi entitas bisnis layaknya korporasi (berbentuk PT, Persero, dan lain-lain) yang bertujuan bisnis/untung
Karena itulah meninggalkan penerapan sistem kapitalisme dan beralih menghadirkan tatanan yang shahih adalah hal yang kita butuhkan. Sebuah sistem shahih berlandaskan Wahyu ini pernah berjalan selama hampir 13 abad, yaitu sistem Islam Kaffah di bawah institusi Khilafah Islamiyah.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda "Imam atau khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya" (HR. Muslim dan Ahmad).
Khilafah sebagai institusi pemerintahan yang menerapkan Islam akan melahirkan sejumlah kebijakan yang bervisi mensejahterakan masyarakat dan menjemput keberkahan dunia dan akhirat.
Dilaksanakannya politik ekonomi Islam guna mewujudkan pemenuhan pangan rakyat. Dalam sektor perdagangan, negara akan mengambil dengan menyediakan infrastruktur jalan, pasar, dan sarana transportasi untuk mengangkut hasil pertanian dan industri pertanian secara cepat dan murah.
Disamping itu negara akan menjamin agar mekanisme harga dapat berjalan secara transparan, tanpa manipulasi. Negara akan menerapkan kebijakan anggaran berbasis baitul mal untuk menyelenggarakan semua urusan berkaitan dengan pemenuhan pangan (memberikan subsidi petani/ peternak, membangun infrastruktur, memberikan bantuan sosial bagi rakyat yang tidak mampu, dan lain-lain).
Negara akan mengawal dan menegakkan sanksi yang berefek jera kepada pelaku kejahatan pangan (penipu, penimbun, kartel), dengan mengangkat qadhi hisbah. Hal ini tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, apalagi pada korporasi meskipun dengan dalih korporasi yang mempunyai teknologi dan mata rantai distribusi yang lebih terperinci. Wallahua’lam bissawab.
Oleh: Agustin Pratiwi
Sahabat Topswara
0 Komentar