Topswara.com -- Negeri-negeri Muslim termasuk Indonesia mengalami bonus demografi. Bonus demografi merupakan kondisi saat penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan penduduk usia non produktif.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada tahun 2019 lalu, penduduk Indonesia usia produktif masih mendominasi. Persentase laki-laki dan perempuan di usia produktif (15-64 tahun) sekitar 67,6 persen. Sedangkan penduduk usia belum produktif hanya sekitar 26-27 persen. Artinya hampir 70 persen komposisi penduduk adalah usia produktif. Kondisi mayoritas pemuda ini adalah suatu keuntungan sekaligus tantangan besar bagi umat Islam. Pasalnya pemuda adalah agen perubahan menuju kebangkitan.
Namun seiring tanggung jawab memberdayakan pemuda untuk mewujudkan kebangkitan Islam, negara kafir kapitalis Barat dan para agennya juga menyasar generasi umat untuk mempertahankan dominasi dan jajahannya atas negeri Muslim. Sayangnya penguasa di negeri Muslim justru mengafirmasi dan menjalankan sedemikian rupa proyek Barat terhadap generasi.
Di bidang pendidikan misalnya, standar Programme of International Student Assesment (PISA) menjadi acuan perubahan kurikulum. PISA sendiri sebagai standar mutu dan capaian pendidikan ditetapkan oleh negara-negara OECD, organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan.
Knowledge based economy mendasari framing pendidikan yang berorientasi pada ekonomi. Standar PISA yang menekankan literasi, numerik dan sains menjadi dasar kurikulum saat ini di Indonesia. Depdikbudristek mengambil kebijakan program merdeka belajar dan kampus merdeka (MBKM).
Merdeka belajar diproyeksikan untuk menciptakan suasana belajar yang bahagia tanpa dibebani oleh skor dan nilai tertentu. Dengan konsep dasar tersebut, program kebijakan merdeka belajar ditandai dengan perubahan revolusioner mekanisme ujian dan penilaian capaian siswa. Semua bersandar materi bukan dalam rangka menciptakan anak didik yang berkepribadian Islam dan pemimpin peradaban.
Pendidikan juga diarahkan sebagai ekosistem dimana ada "mutual benefit" dan "link and match" dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Pendidikan vokasional menjadi fokus perhatian penting hingga dibentuk dirjen khusus pendidikan vokasional. Pendidikan vokasional bahkan berkembang hingga perguruan tinggi dan strata-1.
Muncullah pendidikan vokasional S-1 dengan program studi kesejahteraan keluarga, mekatronika, otomotif, seni kuliner, dan desain fashion dan lainnya. Orang tua dan generasi pun sangat berminat terhadap pendidikan vokasional dengan harapan bisa bekerja setelah lulus.
Bagi pemerintah pendidikan vokasional menjawab persoalan pengangguran dan kebutuhan industri dan investasi. Seraya melupakan target output yang berkualitas untuk menjadi pemimpin bangsa kedepannya. Sehingga kedepan sulit mencari sosok pemimpin umat.
Selain arah pendidikan yang sangat materialis dan kapitalis, generasi juga terjebak dengan virus yang sangat berbahaya menjauhkan dari Islam yang merupakan agama mayoritas yang di anut negeri ini.
Pendidikan tersebut beriringan dengan penguatan moderasi beragama. Pendidikan dibawah departemen agama sangat serius menggarap moderasi beragama di lingkungan sekolah umum, madrasah dan pesantren. Berbagai modul untuk guru disusun agar guru bisa menyisipkan muatan moderasi beragama pada mata pelajaran.
Bahkan penggodokan kesadaran moderasi beragama ditarget sejak pendidikan usia dini atau PAUD. Santriwirausahawan dan digitalisasi madrasah juga menjadi program departemen agama. Pesantren dan santri didorong untuk berbisnis. Sedangkan madrasah berlomba untuk menguasai digitalisasi dan berkarya dalam bidang digital dan robotika.
Semua ini menyebabkan orientasi pendidikan yang harusnya menjadi sosok yang kokoh iman dan takwanya berubah menjadi sosok yang individualis, materialis dan liberalis.
Peningkatan mutu pendidikan yang ada juga bagian dari nafas moderasi beragama. Moderasi beragama sendiri akan menggerus identitas keislaman pada generasi. Mereka menjadi pemuja kepribadian barat yang sekuler dan hedonis. Hedonisme menjadi acuan kemakmuran dan kesejahteraan. Toleransi menjadi nilai yang diutamakan. Generasi terasingkan dengan Islam kaffah dan ter-westernisasi bahkan terjangkiti islamofobia.
Tidak hanya itu, Muslimah pun menjadi sasaran pembajakan potensi. Kesetaraan gender adalah isu strategis dan medan pertempuran yang ingin dimenangkan barat atas kaum muslimin.
Indonesia sebagai negara yang tunduk dengan berbagai keputusan PBB terkait pemberdayaan perempuan, juga mendorong perempuan muda untuk berdaya, baik dalam kepemimpinan maupun ekonomi. Menteri Pemberdayaan Perempuan menyatakan, “Saya optimis perempuan Indonesia bisa maju, bisa hebat, dan berdaya ke depannya, khususnya bagi perempuan-perempuan muda yang punya kesempatan yang luar biasa di depan mata.”
Berbagai kesempatan di bidang ekonomi di antaranya program bernama Strategi Nasional Inklusi Keuangan Perempuan, menyediakan dukungan untuk mengakses permodalan, peningkatan kapasitas usaha, dan literasi keuangan. Bahkan, ada pula pelatihan wirausaha pemula yang diberikan oleh Kementerian Koperasi dan UMKM yang dapat dimanfaatkan oleh perempuan.
Mewujudkan perempuan muda berdaya kepemimpinan dan ekonomi juga menjadi roh dari kurikulum pendidikan Merdeka Belajar-Kampus Merdeka di antaranya dengan "link and match" kampus dan industri.
Dengan pemberdayaan ekonomi terutama di kalangan perempuan muda sebagai usia produktif dan kreatif, diharapkan mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi sebagai solusi krisis di tengah pandemi. Ini betul-betul pembajakan potensi muslimah ke arah kapitalis liberal.
Revitalisasi dan Reposisi Potensi Generasi
Umat Islam adalah khairu ummah, sebaik-baiknya umat yang dilahirkan Allah SWT dimuka bumi. Tentu tidak layak umat ini menjadi obyek jajahan negara kapitalis. Umat ini harusnya menjadi pemimpin yang mengemban kepemimpinan berpikir Islam. Generasi pemuda dengan jumlah mayoritas dari umat ini haruslah yang terdepan menggerakkan perubahan, menjadi agent of change dalam kebangkitanIslam.
Generasi muda Muslim tidak seharusnya mengenyam pendidikan hanya untuk menjadi tenaga murah dan penggerak mesin industri kapitalis, apalagi terkena racun mematikan moderasi beragama yang sangat membenci Islam.
Muslimah pun tidak layak disibukkan dengan UMKM untuk mengejar kesetaraan gender dan emansipasi. Padahal kemuliaan dengan peran dan aktivitas perempuan sudah sangat jelas dalam Islam. Muslimah tidak perlu silau dengan standar wanita ala kapitalis.
Genderang perang yang ditabuh Barat haruslah berbalik arah membangkitkan semangat perlawanan dan perjuangan demi kemenangan Islam dan kaum muslimin. Generasi muda harusnya berkontribusi menyadarkan umat untuk kembali pada pangkuan Islam. Berjuang sungguh-sungguh menegakkan institusi Islam yang mampu menerapkan syariat Islam secara kaffah yaitu tegaknya khilafah Islam.
Hanya dengan khilafah potensi generasi Muslim akan diberdayakan demi kebaikan di dunia maupun akhirat. Pemuda yang berkepribadian Islam, mampu menguasai berbagai macam teknologi untuk kemaslahatan umat manusia bukan hanya muslim namun juga non Muslim. Bukan hanya rahmat bagi manusia tetapi juga rahmat bagi seluruh alam.
Sebagaimana Islam yang dibawa oleh baginda Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam merupakan rahmat bagi semesta alam. Hal ini sebagaimana firman-Nya :
ÙˆَÙ…َآ اَرْسَÙ„ْÙ†ٰÙƒَ اِÙ„َّا رَØْÙ…َØ©ً Ù„ِّÙ„ْعٰÙ„َÙ…ِÙŠْÙ†َ
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam. (TQS Al Ambiya : 107)
Profil dan identitas Muslim harus dikembalikan pada setiap pemuda sehingga mendorong pemberdayaan potensi yang optimal. Dari sini bonus demografi usia muda akan menjadi potensi luar biasa bagi kemajuan bangsa dan pemuda akan memposisikan diri mereka sebagai penolong agama Allah dan menjadi penjaga Islam dan umatnya bukan malah menentangnya. Wallahu alam bis shawab.
Oleh: Diana Wijayanti
Sahabat Topswara
0 Komentar