Topswara.com -- Orang tua saat ini, atau istilah kerennya ortu zaman now, menghadapi situasi yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Mereka juga tidak pernah dididik untuk bersiap diri menghadapi era millenial terlebih menguasai bagaimana mendidik anak-anak mereka di era ini.
Era sekarang adalah era disrupsi. Kemajuan teknologi membawa perubahan yang menyentak. Sehingga tidak sedikit orang menjadi gagap dan bingung.
Teknologi digital membuat hubungan dan komunikasi terealisasi secara intensif melalui genggaman. Era sharing, jurnalisme independen dan broadcast yourself, siarkan dirimu. Teknologi hadir memudahkan pertukaran informasi. Selain komunikasi, belajar dan hiburan, begitu banyak aktivitas yang dilakukan dengan sentuhan jari mulai dari bermain, bekerja, hingga mencari jodoh.
Ibarat pisau bermata dua, pengaruh positif dan negatif ditawarkan teknologi. Ketiadaan kedaulatan digital, membuat media dipenuhi muatan tidak berfaedah bahkan merusak.
Orang tua perlu kekuatan ekstra membimbing anak-anak mereka sehingga anak-anak tetap berada di jalur harapan dan cita-cita, memiliki keimanan yang kokoh dan ketaatan pada syariat agama serta mandiri dengan keterampilan.
Orang tua harus sukses membentuk pola pikir dan sikap anak sehingga mereka bisa menangkal pengaruh negatif dan bisa mengontrol penggunaan gawai. Agama memberi arah terbaik dan jelas untuk pembentukan diri manusia dan kehidupannya. Agama Islam memberi nilai baku dan absolut. Individu Muslim tidak terombang ambing dalam kegalauan dan relativisme nilai dan pemikiran yang begitu massif.
Madrasah dan Pesantren, Harapan Generasi
Memformat anak-anak melalui sistem pendidikan adalah upaya andalan. Generasi terbekali dengan tsaqofah, ilmu-ilmu agama. Mereka diharap menjadi faqih fiddin, generasi yang memahami agama Islam. Madrasah dan pesantren menjadi tujuan karena desain pendidikan yang diselenggarakan pemerintah melalui Mendikbud Ristek adalah pendidikan berorientasi materialis dan sekuler. Ini diindikasikan dengan lulusan diharapkan mampu menciptakan pekerjaan, atau menjadi tenaga kerja yang mumpuni.
Madrasah dan pesantren bisa dikatakan mengadopsi model sistem pendidikan Islam, meski tidak 100 persen. Persekolahan dalam Islam tidak memisahkan tsaqofah Islam, ilmu umum dan habit (pembiasaan).
Pesantren berdiri swadaya oleh ulama atau kiai untuk mengkaji dan memperdalam turats, yaitu warisan tsaqofah Islam dalam kitab kuning/gundul.
Pesantren diselenggarakan secara mandiri dengan wakaf dan infak. Pesantren tidak hanya merealisasi harapan para orang tua tetapi juga harapan umat untuk regenerasi dan kaderisasi ulama yang dibutuhkan umat.
Namun independensi pesantren berkurang dengan mandat UU no. 18 tentang pesantren yang disahkan pada tahun 2019 lalu. UU pesantren mendiktekan arah pembelajaran agama dengan prinsip moderasi beragama.
Sebelumnya pesantren diarahkan untuk tidak sekedar menjadi lembaga pendidikan namun juga mengembangkan unit ekonomi dan usaha dengan alasan kemandirian pesantren. Santripreneur dan pesantrenpreneur dengan UMKM diprogramkan oleh kemenag.
Sejumlah pesantren di Jawa Barat dan Jawa Timur menjadi percontohan. Rencananya pemerintah provinsi Kalimantan Selatan dan Ikatan Pesantren Indonesia meluncurkan program one pesantren one product (OPOP) di Kalsel (Antara Kalsel, 19/062022).
Pemberdayaan ekonomi pesantern melalui penggalakan UMKM dan OPOP bisa dikatakan selaras dengan paradigma moderasi beragama.
Tentu arus moderasi di lembaga pendidikan ini harus dikritisi. Paradigma Islam moderat tersurat pada pasal-pasal UU tentang Pesantren. Pasal 3 UU Pesantren menyebut: Pesantren diselenggarakan dengan tujuan:
Pertama, membentuk individu yang unggul di berbagai bidang yang memahami dan mengamalkan nilai ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, berilmu, mandiri, tolong-menolong, seimbang, dan moderat;
Kedua, membentuk pemahaman agama dan keberagamaan yang moderat dan cinta tanah air serta membentuk perilaku yang mendorong terciptanya kerukunan hidup beragama.
Kata moderat diulang pada pasal tentang dakwah pesantren. Lantas apa yang dimaksud dengan moderasi beragama?
"Moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara,” jelas Prof. Dr. Ali Ramdhani, S.TP., M.T., yang kini menjabat sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam di Kementerian Agama RI.
Tambahnya, indikator moderasi beragama meliputi toleransi, anti kekerasan, penerimaan terhadap tradisi dan komitmen kebangsaan.
Pembelajaran Islam dengan paradigma moderasi beragama menekankan pada toleransi dan anti kekerasan. Ekspresi agama mengutamakan substansi dan nilai-nilai. Namun apakah implikasi dari penekanan ini pada Islam dan umat Islam? Toleransi ditekankan untuk bersikap inklusif, tidak fanatik dan eksklusif. Toleransi menolak truth claim monopoly, monopoli klaim kebenaran. Di sini letak masalahnya.
Titik kritisnya adalah fanatisme terhadap akidah Islam yang secara bulat diimani sebagai the ultimate truth dianggap sumber masalah. Demikian pula hukum dan aturan formal agama.
Padahal monopoli klaim kebenaran adalah realitas yang tidak hanya pada Islam dan umat Islam, tapi juga pada semua agama. Klaim kebenaran akan membuat perpecahan? Ini tuduhan yang tidak berdasar. Konsep toleransi yang memaksakan toleransi yang kebablasan ini merongrong akidah umat dan menjerumuskan umat pada akidah lain, yaitu semua agama benar dan baik, hanya caranya yang beda.
Tentu ini tidak dikenal dalam Islam. Padahal kedudukan iman sangat mendasar bagi bangunan berpikir dan bersikap dan perilaku manusia. Karena fondasi semua itu adalah keimanan. Seorang akan menjauhi hal yang diharamkan karena motivasi iman. Bukankah ini sesuatu yang sangat positif dan berdaya guna bagi negara.
Penggagas moderasi beragama menyangkal pendangkalan akidah. Mereka berdalih moderasi beragama berbeda dari moderasi agama. Jika moderasi beragama adalah sikap dan praktik seorang Muslim, sedang moderasi agama berarti memangkas dan mengurangi agama, dan menurut mereka tidak ada pengurangan agama sedikitpun.
Namun kenyataan mengkonfirmasi realita penggerusan akidah dan serangan pada Islam kaffah. Makna toleransi yang digaungkan adalah sinkritisme, pluralisme dan anti Islam kaffah dan anti Islam politik. Sebagai contoh, provinsi Aceh dinilai sebagai provinsi paling intoleran. Ucapan selamat pada perayaan hari besar agama lain mengintervensi akidah dan tuntunan toleransi dalam Islam.
Tanpa sadar, moderasi beragama menjelma sebagai klaim kebenaran sendiri seraya memajukan kapitalisme sekuler sebagai kebenaran mutlak. Tidak heran jika yang diserukan adalah substansi dan nilai pada agama, bukan aturan formal yang digariskan agama. Lantas aturan dan hukum apa yang diterapkan dan menjadi acuan? Tidak lain aturan dan hukum hasil kompromi dan kesepakatan manusia.
Di sisi lain, Islam menuntut selarasnya iman dan sikap dan perbuatan serta telah merinci panduan beramal dan berperilaku seorang Muslim. Dengan tuntunan Islam, umat Islam dapat hidup berdampingan dengan non muslim secara harmonis. Dengan akidah umat punya pegangan mana yang benar, salah, baik, buruk, terpuji dan tercela.
Moderasi beragama juga mengandung tuduhan bahwa ada sebagian ajaran Islam (formal) yang negatif dan ada yang positif. Padahal semua hukum syariat Islam adalah ahkamus syarifah, hukum-hukum yang mulia.
Proyek Barat
Sekularisasi total dengan moderasi beragama pada dasarnya adalah proyek Barat. Rand Corporation, sebuah lembaga think tank Amerika Serikat yang memberi rekomendasi kepada pemerintah AS untuk menjalankan proyek penguatan jaringan muslim moderat.
Rekomendasi tersebut tertuang dalam laporan berjudul Building Moderate Muslim Networks pada tahun 2007. Intinya, pemerintah AS harus membangun dan menguatkan jaringan Muslim moderat di Indonesia. Adapun muslim moderat berkarakter terbuka dan menerima sekulerisme dan kapitalisme yang menjadi kepentingan AS.
Moderasi beragama adalah kepentingan Barat seraya memojokkan kelompok Islam politik dan menuduhnya adalah biang persoalan padahal kelompok Islam semata berdakwah dan bersikap kritis. Pada gilirannya umat akan abai terhadap kerusakan nyata sistem kapitalisme yang menjajah dan menjerat negara dengan utang luar negeri, penguasaan kekayaan, aset strategis.
Umat harus mewaspadai pembelokan misi dan visi mulia pesantren melalui paradigma moderasi beragama.
Wallahu alam bis shawab.
Oleh: Haritsa Amina
Sahabat Topswara
0 Komentar