Seperti diilansir dari kendariinfo.com, (5/7/2022), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 180.026 warga Sulawesi Tenggara (Sultra) yang mengutang melalui jasa pinjaman online (pinjol) pada periode Januari – Mei 2022. Hal itu disampaikan oleh Kepala Bagian Pengawasan Jasa Keuangan OJK Sultra, Maulana Yusuf.
Ia mengatakan, angka tersebut meningkat dari tahun lalu pada periode yang sama. Dia menyebut, Januari – Mei 2021, hanya ada 18.866 orang yang mengutang lewat pinjol atau naik 51,45 persen pada 2022.
Meningkatnya pinjol tidak lepas dari sistem hari ini yakni sistem kapitalisme sekular. Saat ini, para pemilik modallah yang menguasai kancah perekonomian dari segala penjuru. Di saat yang sama pemerintah memberikan ruang serta melegalkan utang ribawi. Sehingga wajar di dalam ekonomi kapitalisme, uang bisa diperdagangkan dan diperjualbelikan. Sehingga muncullah konsep riba di dalam pemberian pinjaman modal. Akhirnya dengan kondisi ekonomi rakyat yang sedang anjlok, para pemilik modal atau lembaga berbondong-bondong memberikan pinjaman secara online untuk memberikan modal usaha.
Dengan demikian maka wajar pinjaman online ini menjamur karena bagian dari konsep riba adalah memudahkan peminjamnya dalam hal administrasi. Ditambah pula paradigma berpikir rakyat yang memandang kebahagiaan yang hakiki adalah ketika mereka mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Bahkan mereka berpendapat bahwa utang ribawi solusi untuk menyelamatkan perekonomian yang lagi terpuruk.
Namun satu hal yang perlu diketahui bahwa pinjol atau utang ribawi bukanlah solusi mengatasi persoalan ekonomi rakyat. Namun justru menjerumuskan mereka ke dalam persoalan baru bak lingkaran setan, disebabkan karena terlilit bunga pinjaman.
Oleh karena itu, di dalam sistem Islam, riba jela diharamkan. Sebagaimana digambarkan dalam Al Qur'an tentang para pemakan riba:
"Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (TQS- Al Baqarah [2]: 275).
Sehingga pinjaman ribawi tidak akan pernah diterapkan kepada rakyat ketika diberikan pinjaman modal oleh negara.
Negara akan mengatur mekanisme utang piutang untuk modal usaha, dimana tidak akan memberatkan rakyat, malah justru menguntungkan. Karena tugas negara bukanlah berbisnis dengan rakyat yang harus mengambil keuntungan ketika memberikan pinjaman. Namun sebagai periayah yang melindungi dan memastikan kesejahteraan rakyatnya.
Bahkan negara Islam akan memberikan modal usaha tanpa meminjamkan, ketika anggaran baitul maal mencukupinya. Namun, bisa juga menetapkan anggunan/jaminan kepada peminjam dengan jangka waktu tertentu. Ini semua tergantung dari kebijakan Khalifah dalam hal memberikan modal usaha kepada rakyat.
Jadi, hanya dengan sistem Islam rakyat aman dari pinjaman ribawi. Sistem Islam tidak akan memberikan celah sedikitpun dalam kemaksiatan. Masyarakat akan terjaga dari dosa. Namun tidak akan terwujud semua itu, kecuali dalam penerapan sistem Islam secara kaffah.
Wallahu’alam bishawab
Oleh: Siti Aminah, S. Pd.
(Pegiat Opini Konsel)
0 Komentar