Topswara.com -- Founder Kajian Sholihah, Sleman, DIY, Ustazah Puspita Satyawati, berpesan untuk menyiapkan anak-anak menjadi generasi izzah (mulia), Bukan generasi imma'ah (latah, pembebek).
"Persiapkan anak-anak kita menjadi generasi izzah, bukan generasi imma'ah," tuturnya dalam Kajian Spesial Muslimah Rindu Syariah (MRS): Ibu Hebat di Era Fitnah Akhir Zaman, di Aula TK Budi Mulia Dua, Condongcatur, Depok, Sleman, Rabu (27/7/2022).
Mentor Sekolah Online Muslimah Bahagia ini menyitir sabda Rasulullah SAW, "Janganlah salah satu di antara kamu berimma'ah. Yang jika orang lain baik maka engkau baik. Dan jika mereka jelek maka engkau ikut jelek pula. Tetapi hendaklah engkau konsisten terhadap keputusan dirimu. Jika orang-orang baik maka engkau juga baik. Dan jika mereka jelek, hendaklah engkau menjauhi keburukan mereka." (HR. Tirmidzi)
Puspita juga mengajak para bunda agar memiliki karakter atau ciri khas
pendidik generasi akhir zaman yaitu berani melawan arus mainstream.
"Di era globalisasi saat ini arus mainstream nya adalah ajaran sekularisme kapitalistik liberalistik. Yang mengajak orang meninggalkan nilai-nilai Islam. Dan mencukupkan nya sebatas disampaikan di masjid dan khutbah Jumat, bukan di sekolah, kantor, pasar, atau ruang publik lain," bebernya.
Meski akan dicibir aneh, dianggap tampil beda, namun menurutnya, hal itu tak perlu dipedulikan. Karena Rasulullah SAW telah mengabarkan, "Islam mulai berkembang dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali asing pula. Maka beruntunglah orang-orang yang asing (Ghuraba)." (HR. Muslim)
Kiat Mendidik
Lebih lanjut Puspita menyampaikan beberapa kiat mendidik generasi akhir zaman, yaitu pertama, menanamkan iman (tauhid).
"Inilah rahasia Nabi dan salafus shalih mendidik anak. Pun rahasia keunggulan generasi sahabat. Tauhid dipelajari sebelum belajar ilmu agama yang lain. Iman yang telah menjiwai, akan menjaga ananda di mana pun berada, meski jauh dari orang tua," ulasnya.
Kedua, menguatkan emotional bonding antara orang tua dan anak.
"Di zaman penuh fitnah ini, ananda mudah dirusak oleh lingkungannya. Ikatan emosional kuat akan menjadi benteng. Saat anak merasa nyaman dengan orang tua, akan terbuka berbagi cerita, curhat masalahnya," ujarnya.
Ketiga, mengasah daya pikir ananda.
"Banyak firman Allah yang mengajak hamba-Nya untuk berpikir. Ada banyak ayat yang berkalimat: la'allakum tatafakkarun (QS. Al Baqarah: 219, 266), la'allakum ta'qilun (QS. Al Baqarah: 73, 242, Al An'am: 151). Afala tatafakkarun (Al An'am:50). Afala ta'qilun (Al Baqarah: 44, 76, Ali Imran: 65)," ungkapnya.
Ia menerangkan, melatih daya pikir anak agar kelak tak mudah percaya kecuali dari sumber yang benar, dan akibat orang tua yang tidak peka bertanya, muncul gejala thinking shock, tidak kritis.
"Indikasi anak mati daya pikir antara lain sulit/tidak bisa memutuskan suatu hal. Jika ditanya, "Terserah." Juga sulit/tidak bisa mendeskripsikan sesuatu. Jika ditanya, "Ya gitu deh," jelasnya.
Keempat, jangan merampas fase egosentris ananda (usia 3-7 tahun).
Seiring proses pembelajaran memahami orang lain, ia mengingatkan agar anak tetap diperhatikan ciri tumbuh kembangnya.
"Anak yang dirampas fase egonya, misal sedang tidak mau berbagi lantas ortu menyebut 'pelit,' bahkan memaksa agar tetap berbagi, kelak akan tumbuh menjadi pribadi shalih tapi "nggak enakan" dengan bujukan teman. Egoistis bermakna positif adalah modal menjadi pribadi kokoh di akhir zaman," cetusnya.
Kelima, mencarikan komunitas shalih bagi ananda, apalagi di usia remaja, anak cenderung mengidentifikasi dirinya seperti temannya.
Keenam, orang tua mampu memberikan teladan menjadi pribadi tangguh.
Ketujuh, mendoakan ananda agar senantiasa mendapatkan perlindungan-Nya.
"Seiring mendidik ananda, para ibu bersama kaum Muslimin lain, ikut berjuang menolong tegaknya agama Allah SWT. Dengan tegaknya dienullah, maka kemaksiatan akan dienyahkan," pungkasnya. [] Alfia Purwanti
0 Komentar