Topswara.com -- Baru-baru ini publik dikejutkan dengan adanya promosi minuman keras yang menyandingkan nama Muhamad dan Maria.
Sunggu tak patut, bagaimana bisa melakukan promosi minuman keras yang notabene adalah minuman haram, dengan menyandingkan nama agung Muhammad dan Mariam, ini merupakan pelecehan terhadap agama.
Tentu saja hal ini membuat geram umat Islam, karena sudah menodai dan menghina nama Nabi Muhamad dan Bunda Maria (Maryam) perawan suci.
Kritikan serta hujatan mewarnai berbagai media masa, dengan dengan mengatakan bahwa promosi tersebut merupakan penistaan agama dan melanggar SARA. Kejadian ini bukan pertama kali terjadi negeri ini. Pelecehan kitab suci, nama Nabi, dan juga syariat Islam pun kerap kali terulang.
Aksi serupa akan terus terjadi jika tidak ada tindakan tegas dari aparat negara. Jika kita kulik lebih dalam promosi yang dibuat mengandung unsur sentimen terhadap agama. Bagaimana tidak barang haram yang jelas dzatnya di sandingkan dengan nama seorang Nabi akhir zaman dan wanita suci.
Di sisi lain tolerasi terhadap miras di negeri ini terbilang tidak dapat dibenarkan. Sebab dengan adanya kontroversi ini tempat penyedia miras ini dicabut izinya.
Kabar terbaru, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mencabut izin usaha 12 gerai Holywings di Jakarta. Hanya saja, pencabutan izin tersebut ternyata tidak berkaitan dengan penistaan agama, melainkan pihak Holywings belum memenuhi kelengkapan administrasi dan syarat-syarat yang ditetapkan.
Dengan dicabutnya izin tempatnya bukan berarti operasi dan aktivitas didalamnya akan ditutup permanen. Sebab jika izin tersebut di urusi sesuai stadart yang berlaku maka akan tetap buka dan beroperasi seperti semula.
Salah satu aturan mengenai miras adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-Dag/Per/4/2014 tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol.
Dalam peraturan tersebut, ada batasan usia bagi masyarakat yang boleh mengonsumsi miras, yakni 21 tahun. Dalam pasal 14, penjualan miras yang diminum langsung di tempat hanya dapat dijual di hotel dan bar sesuai perundang-undangan, serta tempat yang sudah ditetapkan bupati/wali kota dan gubernur untuk provinsi DKI Jakarta. Sedangkan miras berkadar alkohol 5 persen boleh dijual bebas di supermarket atau minimarket. (Kompas, 25/06/2022).
Dengan begitu masih ada cela untuk memperbolehkan orang untuk mengkonsumsi miras. Jadi seharusnya tidak ada kata tolenrasi terhadap apa saja saja yang melanggar syarak, akan tetapi memang hukum yang di pakai adalah buatan manusia jadi sah sah saja.
Permasalahan miras ini akan terus ada, sebab negara membiarkan peredaran miras di negeri. Hanya memilih pabrik legal saja yang boleh beroperasi sedangkan yang ilegal diberantas. Batasan usia juga diatur padahal semua umur jelas haram mengkonsumsinya.
Ini semua karena sistem sangat mendukung dalam melakukan perbuatan maksiat. Dalam sistem kapitalis yang berocokol di negeri ini, yang mana pemilik modal terbesarlah yang mampu mengendalikan seluruh lini kehidupan. Tak luput peredaran miras pun banyak investor yang bermain dan menyumbang dananya untuk mengambil profit dari aktivitas haram ini. Standart yang dipakai hanya manfaat serta untung rugi, apabila menguntungkan meskipun itu barang haram tetap akan dilancarkan demi mencapai tujuan materi.
Dan dengan sistem ini maka banyak pihak yang sebenarnya dirugikan baik individu masyarakat serta negara karena membawa kemudharatan. Kita tenggok saja pemuda pemudi kita, jika di biarkan mengkomsumsi miras tersebut jelas akan menjadi generasi yang rusak moralnya.
Pada 2014, hasil riset Gerakan Nasional Anti-Miras (GeNAM) menunjukkan, jumlah remaja yang mengonsumsi khamar menyentuh angka 23 persen (sekitar 14,4 juta orang) dari total jumlah remaja Indonesia sebanyak 63 juta jiwa.
Data WHO menunjukkan penggunaan khamar berbahaya membunuh hingga tiga juta orang setiap tahun. Terhitung 5 persen dari penyakit global yang membuat orang mati adalah karena mengonsumsi khamar, lebih dari 75 persen adalah pria dan sebagian besarnya berusia muda (15—29 tahun).
Regulasi masalah miras ini begitu sulit ditetapkan karena basis peraturanya tidak jelas. Pada awalnya, pengaturan khamar adalah karena dampaknya yang sangat buruk di masyarakat, seperti kematian, memicu kejahatan pembunuhan, pemerkosaan, kecelakaan dan lainnya.
Akan tetapi semakin ke sini, pertimbangan manfaat ekonomi lebih dominan, bahkan penyumbang pajak terbesar ialah dari pabrik miras dan semisalnya. Jadi dari sini terlihat jelas bahwa toleransi terhadap miras ini kebablasan dan sengaja menampikan hukum agama dengan dalih manfaat berupa materi.
Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap hal ini ?
Dalam kacamata Islam khamar berasal dari kata khamara –yakhmuru atau yakhmiru yang secara etimologi berarti tertutup, terhalang, atau tersembunyi. Sedangkan secara terminologi terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad, khamr adalah minum minuman yang memabukkan baik minuman tersebut dinamakan khamr maupun bukan khamr, baik berasal dari perasan anggur maupun berasal dari bahan-bahan yang lain.
Dalam Islam, miras jelas haram. Rasulullah SAW. bersabda, “Khamar adalah induk berbagai macam kerusakan. Siapa yang meminumnya, salatnya selama 40 hari tidaklah diterima. Jika ia mati dalam keadaan khamar masih di perutnya, berarti ia mati seperti matinya orang jahiliah.” (HR Ath-Thabrani)
Dalam konteks kasus promosi yang diluncurkan oleh Holywings jelas merupakan tindakan penistaan agama. Dimana pelakunya diberikan sanksi yakni pelakunya dinyatakan kafir dan hukumannya adalah hukuman mati.
Mengutip laman Muslimah News (29/10/2020), Al-Qadhi Iyadh menuturkan, telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama dan para imam ahli fatwa, mulai dari generasi sahabat dan seterusnya. Ibn Mundzir menyatakan, mayoritas ahli ilmu sepakat tentang sanksi bagi orang yang menghina Nabi SAW. adalah hukuman mati. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Imam Al-Laits, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq bin Rahawih, dan Imam Asy-Syafii (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428).
Dijelaskan juga bahwa penghina Nabi bahkan bisa langsung dibunuh tanpa perlu diminta bertobat. Juga tidak perlu memberinya tenggat waktu tiga hari untuk kembali ke pangkuan Islam. Ini merupakan pendapat al-Qadhi Abu Fadhal, Abu Hanifah, Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik bin Anas, Abu Musab dan Ibnu Uwais, Ashba dan Abdullah bin Hakam. Bahkan al-Qadhi Iyadh menyatakan ini merupakan kesepakatan para ulama (Lihat: Al-Qadhi Iyadh, Asy-Syifa bi Tarif Huquq al-Musthafa, hlm. 428—430).
Sehingga dalam Islam memang jelas dan tegas terhadap kemaksiatan. Tidak ada kata tolerir terhadap sesuatu yang sudah dilarang dalam hukum syarak. Begitupula bagi pelaku penista agama akan dikenai sanksi yang tegas agar aksi penistaan agama tak terulang kembali. Hal ini hanya bisa terwujud jika negara yang menerapkan hukum syariat Islam.
Wallahualam bishawab.
Oleh: Luluk Ningtyas
Sahabat Topswara
0 Komentar